[Cerpen] Kapan Engkau Menjemputku?

[Cerpen] Kapan Engkau Menjemputku?

Warga kampung berbondong-bondong menuju rumah Mbah Harjo. Baru saja, ia berpulang setelah menderita sakit selama beberapa bulan belakangan. Awalnya, tak ada yang menyadari kematian kakek berusia 86 tahun itu. Pasalnya dia hanya tinggal sendiri di gubuk kecil yang bisa sewaktu-waktu rubuh oleh sapuan lembut angin dari persawahan. Kalau saja Andi tak berkunjung, entah kapan kematian kakek itu diketahui.

“Besok siapa lagi ya, Sur? Makam Mbah Djumat saja masih basah, eh, ini sudah ada yang nyusul,” seru Andi sambil mengguyur keranda dengan air. Para pemuda desa ditugaskan untuk membersihkan keranda agar siap dipakai untuk pemakaman nanti.

“Ngawur kamu, Ndi! Ini memang sudah waktunya. Takdirnya Gusti,” balas Suryo tak setuju. “Eh, tapi kamu sadar ndak? Tiga orang yang meninggal sebelum Mbah Harjo ini sudah sepuh semua?”

“Iya, Sur. Rasanya kok seperti sudah janjian sebelumnya,” kata Andi penuh keraguan. “Sur, jangan-jangan memang kampung kita ini sudah ditunggui Malaikat Izrail! Daftar namanya sudah ada, tinggal tunggu giliran saja!”

“Sembarangan!” sahut Suryo tak setuju. “Heh, memangnya kamu ndak takut, ya? Peluang namamu, namaku, atau anggota keluarga kita ada di daftar itu sama rata,” lanjutnya sambil cengengesan. Andi menggerutu lalu cemberut mendengarnya, sadar memiliki seorang simbah kakung yang lama sakit.

Selesai mencuci keranda, mereka menyusul ke rumah duka. Tenda sudah dipasang, kaset tilawah sudah disetel, pun dengan kursi-kursi yang rapi tertata. Para pelayat telah memadati lokasi, tak memedulikan langit yang begitu bersih, membuat terik matahari menyengat kulit. Pun dengan sekelompok ibu-ibu di sudut barat yang sibuk berbisik-bisik, membahas ketidakhadiran anak-anak Mbah Harjo.

“Wajar, Yu. Dulu Mbah Harjo suka mukuli anaknya. Mungkin saja anaknya masih sakit hati dengan perilaku bapaknya,” terka wanita paruh baya berjilbab merah.

“Ya, tapi Mbah Harjo itu bapaknya sendiri, Dik. Tega sekali kalau pada kesempatan terakhir ini enggan pulang. Apa ya ndak kangen gitu?”

“Apa yang bisa dikangeni dari orang tua yang suka main tangan, Yu? Saya sendiri pernah lihat Mbah Harjo mukuli anak mbarep-nya. Uh, ndak tega saya.”

“Bahkan keponakannya saja juga ndak berani mau mengurus. Pernah diajak tinggal bersama, tapi beliau ndak mau, malah marah-marah. Akhirnya mereka cuma berani menengok setiap pagi dan sore ke rumahnya.”

Ibu-ibu baru berhenti bergosip saat Mbah Harjo mulai masuk liang lahat. Tak ada air mata, pun erangan tak rela. Semua berjalan begitu saja, seolah bumi dan seisinya ikhlas mengantar Mbah Harjo ke tempat istirahat terakhir. Namun, tak ada yang tahu bahwa ada satu orang yang bersedih dari sebuah kamar dengan satu jendela kecil di sudut kiri ranjang.

Dialah Mbah Harso, kakak Mbah Harjo yang sudah delapan tahun hanya bisa terbaring tak berdaya di atas kasur. Meskipun bersaudara, nasib mereka jauh berbeda. Mbah Harso mapan secara finansial, pun memiliki keluarga yang perhatian. Bahkan dalam kondisi yang sudah tak mampu menggerakan anggota tubuh, anak cucu tetap setia merawatnya.

Setetes air mata jatuh dari ekor mata Mbah Harso. Tak disangka bahwa sang adik sudah mendahului bertemu Yang Maha Kuasa. Ingatannya kembali ke masa kanak-kanak mereka yang penuh tawa. Keduanya bak kembar siam, ke mana pun selalu bersama, mulai berangkat sekolah, mandi, makan, mengaji, hingga tidur. Tertawa, sakit, dan bersedih selalu dirasakan berdua. Bahkan Simbok selalu membelikan mereka baju serupa, hanya beda warna.

Mbah Harso mengerang membayangkannya. Kenapa bukan dia dulu yang dijemput Gusti? Kakek tua itu tak tega melihat anak cucunya mengurus dirinya setiap hari. Membantu makan, mandi, ganti pakaian, bahkan buang air. Padahal sudah bertahun-tahun dia begini, tetapi mereka tak pernah mengeluh. Segala omelan dan umpatan atas segala ketidakberdayaannya, hanya ditanggapi dengan bercanda oleh anaknya. Dia memang harusnya bersyukur, memiliki nasib yang lebih baik dari banyak lansia di luar sana. Namun, bila diberi kesempatan untuk memilih, ia akan memilih untuk lekas membebastugaskan putra-putrinya dari kewajibannya ini.

Harapan itu muncul saat teman sepermainannya saat masih muda, satu per satu mulai dipanggil Tuhan. Satu setengah bulan lalu, Sarji. Dua minggu kemudian menyusul Djumat, dan kini adiknya sendiri. Kapan gilirannya? Seolah namanya berada di urutan terakhir antrean.

“Kakung, makan dulu, ya?” kata Andi. “Kali ini pakai nasi hangat dan tempe goreng, kesukaan Kakung kan?”

Mbah Harso tersenyum miris. Bahkan cucunya saja harus ia repotkan di penghujung usia. Kenapa bisa ada manusia sepertinya di dunia ini?

“Ibu ndak bisa ke sini, soalnya baru rewang di tempat Mbah Harjo. Beliau meninggal tadi pagi, Kung.” Andi bercerita panjang lebar mengenai kronologis penemuan mayat Mbah Harjo sambil menyuapinya. Hati Mbah Harso semakin teriris dan sesak. Apakah tidak bisa nasibnya dan sang adik ditukar saja?

Enghh, num,” ucapnya tak jelas. Andi menyendokkan air putih pada simbahnya sedikit demi sedikit, “Kakung semoga panjang umur, ya, biar bisa melihat Andi sukses jadi tentara.”

Seketika risau dalam hati Mbah Harjo tergusur, berganti butir rasa haru yang bercampur sendu.

Baca Juga: Cerma – Semangkuk Bakso Hangat

***

Malam ini, semua orang sudah berlayar ke pulau kapuk, menyisakan dengkuran yang saling bersahut. Hanya tinggal sepasang mata yang masih segar, mengamati langit-langit kamar yang mulai berhias sarang laba-laba. Keheningan menyelimuti sepi yang semakin menjadi-jadi setiap menjelang tengah malam. 

“Apakah kau menanti kehadiranku di sini?”

Sesosok cahaya yang menyilaukan muncul begitu saja menembus pintu kamar. Bentuknya tak terdefinisikan saking silaunya, membuat Mbah Harso hanya bisa menyipitkan mata. Namun, suaranya sangat jelas menggetarkan gendang telinga yang sudah berkurang fungsinya. Suaranya berat, tetapi begitu meneduhkan jiwa. Meskipun begitu, seluruh badan Mbah Harso jadi merinding, berubah dingin.

“Hatimu sudah berulang kali berteriak. Benar, bukan? Tuhan bukannya mau menolak permintaan hamba-Nya. Ia hanya ingin kau tidak menjadi manusia egois. Keduanya harus saling melepaskan untuk menuju kedamaian.”

Enghh,” bibir tua itu ingin sekali menyanggah, tapi tak kuasa.

“Namamu sudah ada dalam daftarku, sejak lama. Sebentar lagi, kau akan bertemu dengan adik dan teman sepermainanmu di kehidupan selanjutnya. Namun, sambil menunggu saat itu tiba, kau harus bersabar. Lapangkan hatimu, menerima cinta dari-Nya. Sesungguhnya Tuhan lebih mengetahui dari apa yang tidak kauketahui.”

Cahaya itu mendadak hilang, mengubah kamar menjadi gelap gulita. Keheningan yang sejak tadi merajai, kini berganti dengan sayup-sayup jerit dan tangis anak cucu Mbah Harso. Awalnya hanya serupa dengungan, tapi setelah beberapa lama berubah menjadi semakin jelas. Hujan air mata mengiringi Nardi, putra sulung Mbah Harjo yang menuntunnya membaca syahadat.

Mata Mbah Harso tetiba terbuka lebar. Nardi tersenyum melihat bapaknya yang kini menatap langit-langit sambil bergumam tak jelas. Seluruh anak cucu yang sudah berlinang air mata hanya bisa termangu. Belum genap dua puluh menit yang lalu, Mbah Harso berteriak kesakitan hingga membangunkan penghuni rumah dari tidur lelap. Membuat seluruh rumah panik, dan langsung memanggil Nardi, karena takut dengan apa yang akan terjadi. Namun, kini kakek tua itu malah bersikap seolah tak terjadi apa-apa.

“Bapak!” Ibu Andi seketika mendekat, memeluk ayahnya sambil menangis. “Semoga saja Bapak panjang umur ya, sehat-sehat terus. Jangan membuat kami kaget seperti ini! Saya rela mengurus Bapak dan akan terus berbakti pada Bapak, demi menebus kesalahan saya saat masih muda. Maafkan saya, Pak. Jangan tinggalkan kami dulu.”

Bibir kering Mbah Harjo tertarik, mencipta senyum kecil. Jawab atas pertanyaannya kontan diberikan, membayar pertanyaan yang terus meraung beberapa tahun belakang. []

Wening Niki Yuntari lahir dan besar di Yogyakarta. Anggota komunitas ODOP angkatan 8. Untuk menghubunginya bisa melalui email: nikiyuntari@yahoo.com, akun instagram @nikiyuntari, atau di blog www.nikiyuntari.com.

Cerpen ini sudah dimuat di website ngodop.com pada tanggal 15 Mei 2021

1 comment found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: