Cerpen – Perempuan yang Hidup Dalam Sesal

Cerpen – Perempuan yang Hidup Dalam Sesal

Pernahkah kamu menyesali keputusan yang pernah kamu ambil? Mungkin rasanya akan sama seperti yang dirasakan oleh Ratna dalam cerpen di bawah. Yuk, bisa dibaca!

Perempuan yang Hidup dalam Sesal

Rumah kecil bercat biru itu selalu riuh setiap pagi. Teriakan perempuan yang nyaring menjadi latar suara, melengkapi penampakan rumah yang bak kapal pecah. Dia sibuk sendiri dengan kegiatan rumah tangga. Memasak, mencuci piring, mencuci baju, dan menyapu.

Perempuan itu kerap mengeluh pada Tuhan bahwa dia sudah lelah dengan semua ini. Contohnya saja sekarang, ia berkeluh kesah sambil mencuci piring. Ia gosok perkakas kotor itu sepenuh hati seraya menahan kesal akan semua nasib buruk yang dialami.

“Semua laki-laki di rumah ini tak ada gunanya! Sudah seperti bos saja lagaknya. Makan, tidur, makan, tidur. Tapi tak bisa menghasilkan apa-apa,” katanya sambil bersungut-sungut.

Selama dua puluh tahun pernikahan, perempuan itu sampai lupa rasanya diberi nafkah. Satu-satunya yang diingat adalah dia berperan ganda, yakni sebagai ibu rumah tangga sekaligus pencari nafkah utama. Tubuhnya yang sudah kurus, semakin bertambah kering. Pikiran dan tenaganya habis untuk merasakan hal-hal buruk di keluarganya. Wajah sang bunga desa, kini terlalu cepat menua, keriput di mana-mana.

“Mana nasinya? Aku sudah lapar!” sebuah teriakan yang membuat perempuan itu kesal mulai terdengar. Namun, ia mengabaikannya. Dia tak peduli suaminya itu lapar atau tidak. Mau mati juga dia tak peduli!

“Kamu tuli? Aku tanya, mana nasinya, Ratna!”

Pria itu mendatangi Ratna dengan langkah tergesa. Ia mencengkram tangan wanita yang penuh dengan busa itu. Matanya yang baru bangun tidur masih merah, rambutnya awut-awutan, bau minuman keras yang ditenggaknya tadi malam tercium pekat.

“Sudah berani melawan suami? Jangan mentang-mentang kamu yang cari uang, kamu bisa seenaknya! Tak sudi aku memberikan surga untukmu, kalau sikapmu saja kurang ajar seperti ini!” sentaknya dengan nada tinggi.

Tak seperti dugaannya, Ratna justru terkekeh. Semakin lama, tawanya semakin kencang seolah mengejek suaminya.

“Kamu bilang apa barusan? Surga? Surga mana yang kamu bicarakan?” tanyanya tajam setelah tawa sarkasnya berhenti, “mana ada surga dalam rumah tangga kita! Bahkan surga pasti tidak mau ada kamu di dalamnya!”

“Setiap hari aku bangun pagi buta. Memasak, membereskan rumah, dan mencuci bajumu yang hanya kamu pakai tidur itu! Setelahnya aku bekerja hingga larut, sedangkan apa peranmu?”

“Kamu benar-benar sudah kurang ajar!” Pria itu sudah kehabisan kata-kata. Ia tak terima harga dirinya diinjak-injak.

“Kamu yang kurang ajar! Berani-beraninya menyebut diri sebagai kepala keluarga tapi tak pernah memberikan nafkah! Aku capek begini terus,” isak Ratna mulai terdengar sendu. Terlebih ia memikirkan putra semata wayangnya yang arahnya seperti akan mengikuti jejak sang ayah menjadi pengangguran tanpa ada niat mencari pekerjaan. Ia memang membenci suaminya, tapi bagaimana bisa membenci darah dagingnya sendiri?

Ratna mengakhiri percakapan melelahkan itu lalu berangkat ke pabrik. Semua kedongkolan yang dirasakan, ia telan bulat-bulat. Seperti inilah suasana rumah setiap pagi. Tensinya selalu tinggi, tak pernah mereda. Rasanya ia ingin mati saja agar semua kesialan ini bisa berakhir secepatnya.

Namun, Tuhan tak membuat semuanya mudah. Ia tetap hidup sehat, seolah semua kegiatan dan amarahnya setiap hari adalah sebuah olahraga agar dia tetap bugar.

Di tengah perjalanan, ingatannya kembali ke masa lalu saat-saat dirinya menjadi seorang mahasiswi. Mimpinya begitu tinggi, semangatnya tiada yang menandingi. Sayangnya, takdir justru memerangkapnya dalam jerat seorang lelaki tampan yang dulu berpenampilan klimis dan menjanjikan. Ia merasa terjamin dan aman. Dalam sekejap, masa depannya tampak cerah sekali. Tak perlu berpikir dua kali untuk menerima pinangannya.

Nyatanya, bayangan masa muda memang selalu indah. Kenyataan hidup saja yang sulit dan pahit. Kesalahannya dalam mengambil keputusan, kini ia tuai hasilnya. Baru kini ia sadari bahwa sesuatu yang indah, tak selamanya akan indah. Bisa jadi itu adalah kelir atas sesuatu tak terduga di baliknya.

Seandainya lebih berhati-hati, Ratna tak akan bernasib semalang ini. Ia tak harus banting tulang demi menghidupi sang putra semata wayang dan lelaki tak berguna yang ia sebut suami.

Berbah, Oktober 2022

Wening Niki Yuntari, seorang guru sekolah dasar yang lahir pada bulan Juni. Menulis cerpen, puisi, dan resensi. Tulisannya telah dimuat di media cetak dan daring.

Cerpen ini telah dimuat di Kedaulatan Rakyat pada hari Jumat, 18 November 2022

Baca juga: Cerpen – Terjebak

1 comment found

  1. Terima kasih banget atas infonya yang super bermanfaat! Gak pernah kecewa sama beritanya yang selalu update dan relevan di situs ini. Nah, buat kalian yang suka mendekin link, saran gue nih, cobain deh V.af! Udah gue pake, rasanya efisiensinya juara banget. Plus, desainnya keren abis! Langsung aja cek di V.af ya. Terima kasih lagi buat konten keren di situs ini, semangat terus! ??

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: