Cerpen – Terbang ke Jepang

Cerpen – Terbang ke Jepang

Pernahkah kamu berjuang sebegitu kerasnya untuk meraih mimpi? Ah, atau saat ini kamu sedang berada di fase ini? Tetap semangat untuk meraihnya yaa. Mungkin kisah Gita juga menggambarkan betapa kamu berusaha. Yuk, baca bareng.

Terbang ke Jepang

Gita melempar ponsel pintarnya ke kasur dengan kesal. Matanya bolak-balik melihat jam dinding yang menunjukan waktu semakin larut, sedangkan telinganya tetap waspada apabila terdengar dering telepon. Kakinya berjalan ke sana ke mari tak tenang.

Ting!

Ia bergegas mengambil ponsel pintarnya, lantas membuka kolom pesan. Senyumnya terbit, matanya berbinar. Dengan cepat ia membalas pesan itu, berharap akan segera dijawab. Tiba-tiba teleponnya berdering. Ia geser ikon jawab dengan tergesa.

“Nico! Aku sudah nunggu kamu lama lho. Di sana sudah pukul dua belas. Kamu nggak ngantuk kita ngobrol jam segini?”

Di ujung sana, suara berat laki-laki menjawab Gita dengan lembut. Sederhana, tetapi membuat senyum perempuan itu terbit dan lupa bagaimana cara mengakhirinya. Rindu yang membuncah tak mampu ditahannya. Mereka bertukar sapa, kabar, dan kisah hari ini. Sebuah rutinitas yang mulai keduanya lakukan setahun lalu.

“Lekas tidur. Besok kamu ada lomba pidato kan? Semoga mimpi indah, Gita,” kata Nico.

Tak terasa kini sudah pukul sebelas malam. Setelah satu jam mengobrol, panggilan pun diakhiri. Namun, rasa bahagia bercampur rindu rasanya tak ikut berakhir. Mengingat obrolannya dengan Nico dan betapa perhatian pacarnya itu terhadap hal-hal kecil membuatnya bahagia.

Tak pernah ia bayangkan sebelumnya bahwa jatuh cinta akan semenyenangkan ini! Karena itu, besok ia tak boleh gagal. Gadis itu harus memenangkan lomba pidato itu agar bisa menyusul Nico ke Jepang.

***

Kedua tangan Gita yang terasa dingin saling bertaut. Jantungnya berdegub kencang. Perutnya tiba-tiba terasa mulas. Rasanya ia ingin pingsan saja atau kalau perlu ditelan bumi.

“Atur napasmu, Git,” kata Bu Ambar, guru bahasa Jepangnya.

Hari ini, Gita menjadi perwakilan SMA-nya untuk lomba pidato Bahasa Jepang. Untuk mengikuti lomba ini, dia sudah mempersiapkan semuanya sejak empat bulan yang lalu. Ia tak boleh gagal, sebab hadiah utamanya adalah hal yang sangat ia idamkan, yakni liburan ke Jepang.

Sesaat kemudian namanya dipanggil. Gita menarik napas lalu mengembuskannya perlahan, berharap irama jantungnya lebih normal. Ia naik ke pangung dengan menampilkan senyum percaya diri, mencoba menyamarkan kegugupannya. Dia memulai pidatonya dengan lugas dan berani. Sesekali tangannya menunjukkan gesture yang menambah apik penampilannya.

Tak terasa lima menit sudah berlalu. Meskipun awalnya gugup, Gita bisa menampilkan yang terbaik. Seluruh bebannya seolah luruh setelah ia mengucapkan kalimat penutup. Ia peluk Bu Ambar erat, berbagi kelegaan yang melingkupi dadanya.

“Kamu sudah melakukan yang terbaik, Git,” kata Bu Ambar.

“Doakan saya, Sensei,” balasnya.

Satu per satu peserta tampil. Namun, semakin banyak yang unjuk gigi justru membuat rasa percaya diri Gita perlahan luntur. Ia baru menyadari bahwa tak hanya dirinya yang bekerja keras menyiapkan penampilan terbaik, tetapi juga ratusan saingannya. Semua peserta tampak luar biasa.

Diam-diam Gita menurunkan ekspektasinya. Satu hal yang baru ia sadari bahwa selama ini dirinya hanya menyiapkan diri untuk menang. Perempuan itu tak pernah membayangkan bagaimana jadinya kalau dia kalah dan harapannya tak terwujud.

“Aku pasti akan ke Jepang dan bertemu dengan Nico,” ucapnya dalam hati. Gita harus yakin dengan dirinya sendiri. Kalau ia tak yakin, bagaimana Tuhan yakin padanya?

Sambil melihat penampilan peserta yang lain, ia mulai merapal doa-doa berharap dewi fortuna berpihak padanya.

Menit berganti menit, sampailah pada pengumuman pemenang. Mulut gadis itu masih komat-kamit. Tangan kanannya digenggam oleh Bu Ambar yang tengah merasakan ketegangan serupa. Semoga saja namanya disebut oleh pembawa acara.

***

Telepon itu sudah terhubung, tetapi tak ada sedikit pun suara dari keduanya. Gita masih sibuk dengan pikirannya, sedangkan Nico sabar menunggu pacarnya itu buka suara.

“Maaf, Nic. Aku gagal. Mungkin aku bisa susul kamu ke Jepang tahun depan. Semoga saat itu rezekiku menang,” ucap Gita lirih. Rasa kecewa masih bercokol dalam dadanya. Angannya yang begitu tinggi, ditambah dengan penampilan yang sudah baik, melambungkan ekspektasinya akan hasil akhir. Ia lupa bahwa lomba tak hanya tentang dirinya saja, tetapi juga peserta yang lain.

Nico malah tersenyum lalu berkata, “kamu nggak gagal, Git. Kamu sudah melakukan yang terbaik. Hari ini hanya bukan waktumu saja. Gagal itu kalau kamu menyerah dan nggak mau mencoba lagi. Tapi kamu enggak. Walaupun masih kelihatan kecewa, kamu sudah berusaha bangkit.”

Wajah Gita memerah. Ia lantas mengucapkan sesuatu yang terlintas begitu saja dalam benaknya, “Nic, aku ingin kuliah di Jepang sepertimu. Pegang ucapanku, dua tahun lagi aku akan terbang ke Jepang, kuliah, dan akan menjadi adik kelasmu.”

Ucapan adalah doa. Semoga saja banyak malaikat yang lewat dan mengaminkan kata-kata Gita.

Cerpen ini telah dimuat di Harian Indonesia Baru pada hari Minggu tanggal 27 November 2022

Baca juga: Cerpen – Perempuan yang Hidup dalam Sesal

1 comment found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: