[Cerita Remaja] Zona Nyaman
Selepas makan, Dimas kembali mengurung diri di kamarnya. Ia selimuti diri dengan kesepian, membuatnya tampak merana. Biasanya anak muda gemar bermain dengan kawannya, tetapi dia justru menarik diri dalam palung yang membuatnya merasakan kenyamanan semu.
Pandemi membuat semuanya bertambah parah. Sekolah secara daring, pun enggan bertemu dengan orang, hanya di dalam kamar ditemani sebuah smartphone yang ia beli dengan uang tabungannya sendiri. Dimas menjadi makhluk yang tak tersentuh. Bahkan ayah bunda bingung dengan sikapnya. Meskipun dalam zona nyaman, raut wajahnya selalu muram, tak ada senyuman, malah sering marah-marah.
Remaja 16 tahun itu terlalu takut menghadapi pertanyaan yang tak ingin ia dengar dan jawab. Teman yang mencoba mengajaknya keluar menghirup udara segar, tak ditanggapi dengan ramah. Mereka mundur satu per satu. Namun, Tuhan masih menyayangi Dimas. Ada satu teman kecilnya yang pantang menyerah atas segala penolakan siswa kelas sepuluh itu.
“Dim, kamu nggak bosan ya di kamar terus?”
Ninda masuk ke kamar Dimas setelah mengetuk pintu tiga kali. Keduanya begitu karib, sehingga sudah biasa keluar masuk kamar pribadi. Dimas yang baru saja selesai bermain game berdecak kesal. Suara berisik itu adalah pengganggu nomor satu yang ingin ia lenyapkan. Dunianya tak lagi damai saat Ninda datang.
“Kamu ngapain ke sini? Pergi sana! Mengganggu saja!” Seru Dimas dengan ketus.
“Bisa nggak sih kamu berhenti mengusirku? Aku di sini nggak ganggu kok,” protes Ninda pura-pura kesal. Dia sudah kebal mendengar kata-kata pedas temannya itu.
“Aku ingin sendiri, Nin. Kamu itu budek ya? Nggak paham bahasa manusia?”
Tak memedulikan ucapan Dimas, Ninda lantas bercerita tentang banyak hal. Sambil mengoceh, dia membereskan kamar cowok itu yang berantakan. Sementara itu, Dimas hanya diam sambil mengamati Ninda yang selalu meramaikan kamarnya. Kenapa Ninda sangat keras kepala?
***
Hari berikutnya, Ninda datang lagi. Kali ini dia membawa sekotak pizza dan dua gelas minuman soda. Sambil menggerutu, cowok itu duduk menyantap panganan di depannya. Kamar itu senyap selama beberapa menit. Kesunyian yang rasanya begitu aneh karena ada Ninda di sana.
“Kenapa?” Dimas yang mencium sesuatu yang tidak beres.
Perempuan itu mendongak lalu meletakkan pizza yang sudah ia makan separuh di kotak. Dia mengembuskan napas berat.
“Dim, yuk jadi seperti dulu lagi. Main bareng, keliling kota cari kado untuk bunda, bakar ikan di teras rumah. Kamu nggak kangen?”
“Oh, ini sogokan?” Dimas mendengus menatap pizza di hadapannya, “aku nggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa? Kita cuma main, senang-senang, bukannya diminta melakukan misi pendaratan ke Mars,” pertanyaan yang bercokol lama dalam benak Ninda, tak tahan ia lontarkan. Sedangkan Dimas sekuat tenaga menahan tawa mendengarnya.
“Nin, aku juga ingin keluar dan main seperti yang lainnya. Tapi aku nggak bisa,” kata Dimas setelah mengontrol raut wajahnya menjadi serius.
“Kenapa nggak bisa? Bahkan dulu bunda sampai telfon berkali-kali saking kamu nggak mau pulang karena keasyikan main. Kenapa semenjak kelulusan beberapa bulan lalu kamu berubah jadi penyendiri dan pendiam?”
Dimas memandang Ninda sinis. “Kamu tahu sendiri, bagaimana ekspektasi ayah bunda ke aku kan? Pun ekspektasi guru dan teman-teman. Aku merasa bodoh banget karena nggak bisa memenuhinya. Seorang Dimas yang selalu juara umum, gagal masuk SMA 1,” raut kecewa yang ia sembunyikan beberapa bulan ini mulai tersingkap. Sorot percaya diri yang selalu melekat pada Dimas telah hilang.
Sebelumnya, ia tak pernah membayangkan akan mengalami kegagalan. Selama ini semuanya selalu berjalan sesuai dengan rencana. Dia pikir dirinya hebat. Namun, kenyataan membuktikan bahwa ia tak secemerlang itu.
“Dim, aku percaya bahwa nggak semua hal yang kita rencanakan akan menjadi kenyataan. Tuhan lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Toh SMA 2 nggak kalah bagusnya dengan SMA 1.”
“Itu karena kamu berhasil masuk sana, sedangkan aku enggak,” Dimas teringat nilai ASPD-nya yang tak memuaskan.
“Kadang aku berpikir kamu sesekali memang harus kesandung. Selama ini hidupmu terlalu on track,” Dimas melotot mendengarnya. “Kamu harus merasakan jatuh, gagal, dan kecewa. Jadi kamu bisa belajar cara menghadapinya,” ujar Ninda, “tapi kamu sekarang malah menyerah dan mengurung diri seperti ini.”
“Dim, SMA 2 bukanlah sekolah yang buruk. Banyak yang ingin masuk ke sana tapi nggak bisa. Bersyukurlah, karena banyak yang menginginkan tempatmu saat ini,” lanjutnya.
Senyum getir Ninda sedikit banyak membuat Dimas mulai sadar bahwa ia sudah membuang waktu beberapa bulan ini hanya untuk merenungi nasib. Padahal masa depannya ditentukan oleh dirinya sendiri. Lalu masa depan seperti apa yang diharapkan dari seseorang yang kegiatannya hanya bertekur meratapi kegagalan masuk SMA impian?
“Yuk, move on,” Ninda menarik paksa tangan Dimas agar berdiri, beranjak dari kasur yang membuatnya terlena kenyamanan, keluar menuju dunia yang indah dan penuh kejutan.
Baca juga: Semangkuk Bakso Hangat
Cerma ini telah dimuat di koran Minggu Pagi pada hari Kamis, 19 Agustus 2021
1 comment found