Cerpen – Terjebak
Aku kembali ke pangkuan orang tuaku setelah empat tahun menimba ilmu di pulau seberang. Semua menyambutku dengan suka cita. Pesta tiga hari tiga malam digelar. Mamakku masak besar. Para tetangga datang, bergantian mengucap selamat. Suasana riuh rendah. Satu-satunya warga kampung yang bergelar sarjana sudah tiba.
“Akhirnya kamu kembali, Nak. Seluruh warga kampung sangat menantikan kehadiranmu,” kata salah seorang tetangga padaku sambil berjabat tangan.
Aku tersenyum kecut. Kupandangi lagi orang-orang yang bersenda gurau di sini. Mereka tampak sangat bahagia dan penuh semangat. Kedatanganku bagai sebutir beras pada masa paceklik. Padahal aku bahkan belum melakukan apa-apa. Sejak datang sampai sekarang aku hanya menjabat tangan tetangga sambil pura-pura bahagia.
“Gagah sekali kamu sekarang! Empat tahun tak berjumpa, berubah sekali ya!” aku hanya tersenyum kecut menyadari perubahan besar yang sejatinya aku alami.
***
Pesta sudah usai. Aku mengembuskan napas lega, penderitaan telah selesai. Namun, setelah dipikir-pikir lagi, kemalanganku ini justru baru saja dimulai. Perayaan kemarin seolah menjadi pertanda bahwa aku tak dapat lagi memiliki diriku sendiri. Aku adalah milik bapak, mamak, keluarga, serta kampung halaman tempat kelahiranku.
Aku rebah, pasrah dengan semuanya. Bayang-bayang kebebasan di ibukota membuatku ingin kembali lagi ke sana. Akan tetapi, keputusan untuk pulang kampung berarti meninggalkan diriku yang sejati di sana. Di sini aku adalah Ampong, seorang pria gagah berani yang diharapkan dapat membangun kampung kecil ini.
Sebenarnya aku tak serta merta meninggalkan diriku yang sejati jauh di sana. Aku membawanya ke mari, agar tidak lupa dengan jati diri yang coba kukubur dalam-dalam. Mataku melirik kotak kardus besar di sudut kamar, tempat diriku yang asli disimpan. Pada malam-malam sunyi, aku akan membukanya, kemudian berubah menjadi Ampong yang merdeka.
Itu adalah harapanku. Akan tetapi, kini aku malah tergoda. Dengan tak sabar, aku membukanya. Di dalamnya ada rambut palsu panjang berwarna hitam, baju lekbong, rok mini, serta sepatu hak tinggi yang membuat penampilanku tampak sempurna. Ada pula seperangkat alat rias dengan merk ternama.
Kukenakan semua barang kesayanganku itu dengan penuh haru. Pasalnya, semenjak sampai di kampung, kotak ini terasa haram untuk disentuh. Apalagi memakai barang-barang di dalamnya. Bapak dan mamak terus mengawasiku. Kini, aku bagai pencuri yang anehnya malah mengendap-endap untuk berubah menjadi diri sendiri.
“Panggil aku Amy,” ucapku seraya menatap cermin di hadapanku sambil tersenyum mengamati penampilanku yang cantik paripurna.
Aku tak tiba-tiba menjadi seperti ini. Sejak masih kecil, aku tertarik dengan perempuan di sekitarku. Ingin rasanya menjadi seperti mereka, menggunakan dress dan rok yang cantik, kemudian memakai jepit rambut unik. Akan tetapi, didikan keras ayah membuatku melupakan hasrat yang timbul tenggelam itu.
Saat masih di perantauan, aku bebas ke mana pun dengan penampilan cantik ini. Akan tetapi, sekarang tak semudah itu. Ada ratusan pasang mata yang mengintai, sehingga aku tak bisa sembrono. Apalagi bapak mamak sudah menitipkan harapan besar padaku. Tentu mereka akan kecewa melihatku berubah begini.
“Ampong, keluar! Bapak ingin bicara dengan kau sebentar!” teriak mamak dari luar kamar.
Aku terkesiap, otakku mendadak tak berfungsi. Waktu sudah menunjukan pukul 23.00. Aku pikir bapak dan mamak sudah tidur. Setengah mati aku mencoba menghapus riasan di wajah dengan cepat dan melepas baju cantik yang kukenakan.
“Ampong! Kamu sudah tidur?” tanya mamak sekali lagi sambil membuka pintu kamar. Muncullah mamak yang hanya berdiri terpaku di sana. Anak kebanggaannya yang baru saja menyelesaikan studi di ibukota, terpergok tengah berdandan bak wanita. Ampong yang gagah sudah hilang, berganti dengan Amy yang begitu feminin.
“Ampong, kamu… kenapa…,” mamak tak bisa menyelesaikan ucapannya karena terlalu terkejut. Wanita paruh baya itu berjalan lambat-lambat ke arahku. Mata tuanya meneteskan air mata.
“Kamu kenapa, Nak? Kenapa berpakaian seperti ini? Ini pakaian perempuan,” tanya mamak lirih, takut bapak mendengar. Apabila bapak tahu, sudah habis aku dipukulinya.
Aku hanya berdiri kaku, bingung harus menjawab bagaimana. Kupeluk mamak, sambil membisikkan permohonan maaf. Namun, belum selesai melakukannya, bapak datang dengan kemarahan yang tak tertahan selepas melihatku. Pria itu menghajarku hingga rasanya seluruh tulangku remuk redam. Darahku menetes membasahi lantai. Tubuhku lunglai tak kuasa melawan, pasrah pada takdir.
Mungkin inilah akhir dari Amy. Perempuan yang terjebak dalam tubuh lelaki. Sosok yang seharusnya aku kubur dalam-dalam, tanpa perlu kutarik keluar.
Baca juga: Cerpen – Koneksi
Cerpen ini telah dimuat di Harian Sinar Indonesia Baru (SIB) pada hari Minggu, 15 Mei 2022