[Cerma] Semangkuk Bakso Hangat

[Cerma] Semangkuk Bakso Hangat

“Kita harus bagaimana, Dam? Ini deadline-nya nanti malam. Apa keburu ya kita kirimnya?” Keluh Tiara yang sejak pagi tadi gusar.

“Pasti bisa, Ra. Ini baru jam tiga sore kok. Tenggat waktunya pukul dua belas malam, masih lama. Lebih baik kita kerjakan sekarang, pelan-pelan. Toh tinggal membetulkan poin-poin yang ditandai Bu Rina,” Damar mencoba menenangkan.

Keduanya kembali serius berdiskusi untuk menyempurnakan karya tulis mereka. Apabila menang, tentu akan membuat ekskul KIR yang jarang diminati ini bisa lebih dilirik. Pasalnya, sejak masuk, ekskul ini tak banyak anggotanya. Bahkan Tiara dan Damar yang notabene masih kelas sepuluh, diminta untuk menjadi ketua dan wakil ketua. Masih lekat dalam ingatan, drama penunjukkannya yang tak terduga.

“Ra, kami para senior sibuk dengan persiapan praktik kerja lapangan di semester dua besok. Sedangkan yang kelas dua belas repot dengan ujian nasional,” kata Frida, siswi kelas sebelas yang sebelumnya menjabat sebagai ketua KIR. “Kita tinggal menunggu tanggal pelantikannya saja. Sekarang semuanya ada di tanganmu. Tenang saja, amanah nggak pernah salah memilih pundak.”

Waktu itu, Tiara mendengkus mendengarnya, tetapi langsung mengangguk patuh. Kakak kelasnya itu memberikan petuah seolah sudah menjadi orang paling bijak saja. Padahal, mereka sendiri melimpahkan beban berat pada anak baru yang tak tahu apa-apa. Amanah tak pernah salah memilih pundak? Semua tentu bisa keliru! Buktinya, amanah sudah salah memilih pundaknya untuk mengemban jabatan ketua ekskul paling tidak populer di sekolah.

Tiara cemberut sebagai bentuk protes. Namun, Frida tak menggubris. Keputusan sudah final. Frida dengan semangat memberikan gambaran tugas yang harus dilakukan sebagai ketua. Nada suaranya begitu riang, seolah bahagia karena terlepas dari belenggu kejamnya dunia.

Awalnya, Tiara dan Damar cukup terbebani hingga hampir putus asa dengan keputusan sepihak kakak kelas. Namun, hidup tetap harus berjalan. Meskipun sering mengeluh, keduanya tetap menjalankan tanggung jawab yang sudah diemban. Bahkan mereka berencana membuat ekskul ini lebih berkelas dengan mengikuti berbagai lomba menulis, mencoba mengumpulkan sedikit demi sedikit prestasi.

“Selesai juga, Dam,” kata Tiara sambil mengembuskan napas lega. Ia lirik jam sudah menunjukan pukul tujuh malam. “Semoga usaha kita ini bisa berhasil ya. Supaya kita di sini nggak berdua saja. Mana ada ekskul yang anggotanya cuma dua? Jadi ketua sama wakil pula!”

“Semoga kita dapat hasil terbaik deh, Ra. Yuk, pulang! Aku antar. Kamu bawa helm kan?” Tanya Damar sambil memasukkan buku ke dalam tas.

***

Hari berganti hari, tak terasa waktu pengumuman sudah tiba. Sambil menunggu hasil, mereka menyibukkan diri dengan mengikuti lomba lainnya. Tiara dan Damar tak main-main saat mengatakan akan membuat ekskul KIR naik kelas. Perjuangannya tak mudah, tapi keduanya tak pernah menyerah.

“Bagaimana hasilnya, Ra?” Tanya Bu Rina saat bertemu dengan Tiara di ruang guru.

“Kami belum melihat pengumumannya, Bu. Tapi ….”

“Selamat siang, Bu Rina,” Damar yang baru saja datang, tampak terengah-engah.

“Ada apa, Dam? Kok kamu ngos-ngosan begitu?” Tanya Tiara.

“Hasilnya sudah keluar.”

“Lalu bagaimana? Kita menang kan?” Tanya Tiara lagi penuh harap.

Namun, Damar menggeleng pelan, “belum. Kita kalah,” katanya sambil menunjukan raut kecewa. Tiara menunjukan ekspresi serupa. Dia sedih dan kecewa, tetapi berusaha menutupinya.

Bu Rina tersenyum melihat kedua muridnya. Guru pembimbing ekskul KIR itu berkata, “nggak masalah kalau kalah. Toh ini percobaan pertama kan? Thomas Alva Edison saja membutuhkan 999 kali kegagalan untuk menciptakan sebuah bohlam lampu.” Nasihatnya dengan lembut, “kegagalan adalah hal lumrah, karena itu fase yang mesti dilewati, yang artinya kalian semakin dekat dengan keberhasilan. Wah, kita harus merayakannya!”

Kedua murid kelas sepuluh itu terdiam. Ekspektasi yang terlalu tinggi, membuat rasa kecewa keduanya lebih dalam. Namun, saat mendengar ucapan gurunya, kedua anak itu mengernyitkan dahi. Bagaimana bisa kegagalan harus dirayakan?

“Maafkan kami, Bu,” Tiara akhirnya buka suara, meskipun terdengar agak parau. Dia menangkap ucapan gurunya sebagai sindiran yang menusuk hatinya.

“Kenapa minta maaf?” Bu Rina tampak tak setuju. “Sudah! Ayo kita ke kantin. Kita harus merayakannya. Ibu akan traktir kalian bakso, biar kalian semakin semangat untuk menulis. Jarang-jarang remaja seperti kalian gemar menulis.”

Ketiganya merayakan kegagalan dengan menyantap bakso. Berharap semangkuk bakso hangat itu akan menghangatkan kembali hati yang baru saja patah karena kalah.

SELESAI

Baca juga: [Cerpen] Harap

Cerma ini telah dimuat di koran Minggu Pagi pada hari Kamis, 6 Mei 2021

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: