[Cerpen] Vonis

[Cerpen] Vonis

“Saya tidak terima Bapak menjewer anak saya!”

Seketika suasana ruang kepala sekolah menjadi tegang. Aku tak berani membuka mulut. Ibu kepala sekolah yang sangat ditakuti para murid, hanya membisu. Sejak lima menit yang lalu, Anton, orang tua Dimas, salah satu murid di kelas yang aku ampu, bersikeras menuntut pertanggungjawaban sekolah yang menurutnya sudah membuat pengalaman traumatis pada anaknya. Aku yang hanya guru honorer, baru mengajar enam bulan pula, harap-harap cemas menanti kemungkinan vonis terberat.

“Saya lihat memang kuping dia merah dan ada bekas luka seperti terkena kuku,” teriak si orang tua siswa penuh amarah.

“Maaf, Pak Anton. Namun, saya pikir bahwa guru di SD ini memiliki alasan untuk melakukan itu,” Bu Kepala Sekolah mencoba menahan emosinya.

“Alasan apa? Dia itu anak saya satu-satunya. Enak saja, saya membesarkannya dengan sepenuh hati, tapi diperlakukan seperti ini!”

Aku meremas kedua tanganku gelisah. Pikiranku sudah berkelana. Aku sudah berimajinasi tentang kemungkinan-kemungkinan terburuk. Jika aku dipecat, harus kerja apa nanti? Apakah tetap menjadi pendidik atau beralih profesi? Orang tuaku di rumah harus makan apa?

“Mohon maaf bila Bapak kurang berkenan dengan cara saya mendidik dan mengajar. Tapi memang begitu adanya. Terlebih bila murid sudah melewati batas toleransi, saya akan mendisiplinkan mereka, dengan cara saya tentunya.”

“Sepertinya bukan mendisiplinkan, tetapi kekerasan. Sekolah hampir tiga tahun di sini, anak saya tidak pernah mengeluh dikasari guru sebelumnya. Lah, ini tiba-tiba dia cerita. Ternyata, guru yang dimaksud masih honorer. Pantas saja. Sama sekali tidak profesional,” serobot Anton tanpa basa basi.

Aku tersenyum miris. Tebersit satu kesadaran bahwa apa pun yang kukatakan pasti akan dianggap angin lalu olehnya. Bagi pria itu, aku salah besar karena menghukum fisik anaknya dan patut mendapat ganjaran.

Diam mungkin dapat menjadi solusi permasalahanku saat ini. Karena dilihat dari kacamata manapun, posisiku sudah salah. Sikapku yang sudah menjewer siswa memang tidak dapat dibenarkan. Pemerintah pun melarang. Berani-beraninya guru honorer sepertiku melanggar. Memang cari mati. Tapi, mau bagaimana lagi? Anak itu sudah keterlaluan dan aku kurang bisa mengontrol emosi.

Diskusi panjang dan alot terjadi. Kepala sekolah berkali-kali membela, tapi dimentahkan begitu saja oleh Anton. Beliau sangat keras kepala, seolah keputusan akhir sudah dibawanya sejak dari rumah. Bahwa menghukum siswa dengan hukuman fisik adalah sesuatu yang terlarang, apa pun alasannya.

Bila dipikir sekali lagi, permasahan ini terjadi karena kurang komunikasi antara sekolah dan keluarga. Orang tua Dimas itu tak pernah tahu bagaimana sikap putranya saat di sekolah. Bisa jadi sikapnya itu berbeda, karena beliau bersikeras membantah cerita tentang sikap anaknya di sekolah. Yang paling penting, beliau tidak tahu tentang hal yang sedang dirasakan anaknya.

Pikiranku berputar pada kejadian yang membuatnya duduk di ruang ini, menjadi terdakwa yang tinggal menanti vonis terberat, yaitu dipecat. Kejadian kemarin menyadarkannya, apakah ia tetap harus menjadi guru atau beralih ke profesi lain?

***

“Dimas! Berhenti main hape dan kerjakan tugasmu.”

Aku berteriak marah karena sejak tadi dilihatnya Dimas terus berkutat dengan hape. Sudah berulang kali ku peringatkan dengan halus, tapi tidak jua digubris. Yang diteriaki hanya melihat sebentar, lalu melanjutkan game yang telah dimulai. Siswa kelas tiga SD itu tampak tak peduli. Seolah ia menganggap bahwa teriakan tadi adalah suara nyamuk yang sesekali mendesing di kuping.

Aku mengembuskan napas pelan, merasa tak diacuhkan. Namun, kucoba untuk bersabar. Sejak memutuskan untuk menjadi guru sekolah dasar, pelan-pelan mulai kutumbuhkan rasa sabar. Padahal, dulu aku sangat mudah marah. Semenjak kuliah, bibit kesabaran mulai ditanam dan pupuk dengan teratur. Hasilnya mulai kutuai sekarang. Saat menghadapi anak-anak yang cukup ‘sulit’ diatur seperti Dimas dan kawan-kawannya, aku tak mudah terpancing untuk marah.

Sebenarnya anak itu cukup unik. Dibalik diam dan betapa sulitnya ia diatur, aku percaya bahwa ia pasti memendam sesuatu yang begitu besar. Sesuatu yang sulit untuk dipendam sendiri hingga dilampiaskan pada anak yang lain. Pada dasarnya ia cerdas. Nilai-nilainya sangat memuaskan. Permasalahannya adalah anak itu enggan mengerjakan tugas. Ketika ia mau mengerjakan, hasilnya sangat memuaskan. Tak ayal bila sejak kelas satu, anak berumur sembilan tahun itu menjadi juara umum. Hal itu berbanding balik dengan keadaan sekarang.

Aku kembali mencurahkan perhatian pada lembar jawaban ujian tengah semester anak didikku. Nilainya cukup memuaskan. Sejak tadi ia menorehkan angka tujuh, delapan, dan sembilan. Berarti mereka sudah paham dengan penjelasanku.

“Pak Rizki!” Lengking suara anak laki-laki kecil disertai dengan kursi kayu yang didorong paksa hingga jatuh terdengar nyaring.

Aku mendongak, lantas mendapati Dimas sedang menarik kerah Tomi, teman sebangkunya. Matanya menyala marah, dahinya mengerut emosi. Otot di tangan kecilnya tercetak jelas. Dari mulutnya, keluar berbagai umpatan yang tak semestinya, sedangkan siswa lainnya menjauhi kedua anak itu dengan takut.

“Dimas, lepaskan tanganmu dari kerah Toni!” pekikku sambil tergopoh-gopoh menuju bangku mereka.

Aku mencoba melepaskan tangan Dimas yang kaku dari kerah seragam Toni. Tampak jelas jika Dimas masih marah besar. Nafasnya masih cepat dan matanya memicing tajam. Toni melangkahkan kaki, menjauhi Dimas sejauh mungkin. Ia tampak takut dengan reaksi Dimas yang di luar dugaannya.

“Sekarang jelaskan pada Bapak. Kalian ini kenapa? Bukankah tadi masih baik-baik saja?” Tanyaku setelah meminta mereka duduk di kursi semula. Murid yang lain mengelilingi kami penuh rasa ingin tahu.

“Tanya saja padanya. Dasar tak tahu diri,” desis Dimas yang masih marah.

“Kenapa, Ton? Bisa kamu jelaskan pada Bapak?”

“Aku mau pinjam hapenya Dimas, Pak. Tapi tidak dikasih. Aku marah. Kenapa dia pelit sekali? Padahal aku hanya ingin meminjam, bukan mencurinya.”

Masalah ini tampak sangat sepele. Namun, dibalik sederhananya masalah ini, ada beberapa hal dasar yang menarik perhatianku. Dimas. Di balik tubuh kecilnya, ia pasti menyimpan berbagai masalah. Ledakan emosi yang cukup besar tadi menyadarkanku.

“Dimas, Toni, sekarang kalian minta maaf satu sama lain. Kalian tahu kan kalau yang kalian lakukan tadi salah?”

“Dimas tidak mau! Pokoknya tidak mau!” Anak itu berdiri sambil menghentakkan kakinya keras-keras.

“Dimas! Minta maaf sekarang!”

“Tidak mau, Pak!” Pekiknya sembari mengambil tempat pensilnya yang terbuat dari besi, lalu melemparkannya pada Toni. Terdengar keras bunyi bedebam yang diikuti isak tangis Toni ketakutan. Beruntung tempat pensil itu tidak mengenai bagian tubuh Toni.

“Setan! Kamu itu kerjaannya cuma menggangguku main saja! Mati saja sana!” tambah Dimas.

“Sekarang kamu ikut Bapak ke ruang agama!”

Perintah itu diabaikan oleh Dimas. Anak itu tetap berdiri kaku di tempatnya. Aku yang sudah tidak sabar, mendengus pelan lalu kembali ke kelas serta menjewer telinga bocah itu agar mengikutiku. Sepanjang jalan menuju ruang agama, sudah kebas telinganya karena dijewer.

“Duduk!” pekikku dengan suara keras, “kenapa kamu berkelahi dengan Toni? Kamu juga melempar tempat pensil ke arahnya. Kamu tahu tidak kalau itu berbahaya? Mau jadi jagoan kamu? Masih kelas tiga sudah mau berkelahi.”

Segala perasaan yang kupendam sejak tadi ditumpahkan saat itu juga. Sebagai guru muda yang minim pengalaman, aku tak sempat menyaring segala ucapan karena sangat emosi. Setelah lima menit memarahi anak itu, aku mulai sadar sambil mengusap wajah, berharap akal sehatku kembali dan tidak lagi dikungkung emosi. Guru macam apa yang lepas kendali sepertiku tadi? Aku sangat menyesal.

Dimas sekarang duduk menunduk. Kedua tangannya ia tautkan dan diletakan di antara kedua kakinya. Punggungnya bergetar, hingga terdengar suara isak kecil memenuhi ruang itu. Senakal apa pun ia tetap anak kecil dengan segala kepolosan dan keluguannya.

“Maafkan, Pak Rizki ya, karena sudah memarahimu,” kataku sambil duduk di sampingnya. Kutepuk punggung bocah itu agar merasa lebih baik. Bukannya mereda, isaknya malah semakin menjadi. Kutarik anak itu ke dalam pelukan, lalu kuelus punggung dan rambutnya. Butuh waktu sepuluh menit agar Dimas bisa berhenti menangis. Itu pun karena disela oleh bel tanda istirahat pertama berbunyi.

“Dimas mau cerita sama Bapak? Kenapa Dimas berkelahi dengan Toni?”

Anak itu menggeleng. Air matanya kembali menetes lewat sudut mata. Tangan kecilnya mengelap ingus yang banyak keluar dari hidungnya.

“Dimas mau ikut pelajaran?” ia menggeleng.

“Dimas mau pulang saja?” anak itu mengangguk. Benar. Mana bisa anak yang emosinya sedang tak menentu seperti ini belajar? Kalau pun ia meneruskan belajar di kelas, mungkin sudah sulit ia konsentrasi.

***

Setelah lebih dari sepuluh menit perjalanan menggunakan sepeda motor, sampailah mereka di sebuah rumah yang tampak cukup usang. Bila dilihat dari luar, rumah ini seperti rumah kosong yang sudah tak dihuni bertahun-tahun. Catnya yang berwarna putih sudah kusam dan mengelupas. Banyak pula ditemukan sarang laba-laba yang menempel di dinding.

Di depan rumah itu membentang halaman yang luas, penuh dengan pohon rindang. Sayangnya, tampak jelas kalau rumah itu tak diurus dengan baik. Daun-daun kering berserakan di sana, seperti tak pernah disapu sekian lama. Kursi kayu yang ada di bawah salah satu pohon pun kelihatan rapuh tergerus hujan dan dimakan rayap.

“Ini… rumah kamu, Nak?” Rizki bertanya ragu. Tentu saja ragu! Siapa yang akan mengira kalau rumah seperti itu ada yang menghuninya? Bahkan lebih cocok bila rumah itu menjadi rumah hantu!

“Iya, Pak. Ini rumah Dimas,” jawaban itu semakin menciutkan nyaliku.

“Orang tua kamu ada di rumah?”

“Tidak, Pak. Kalau jam segini, ayah masih kerja.”

“Ibu?”

“Bunda sudah pisah sama ayah, Pak.”

Rizki mangut-mangut seolah paham. Perceraian orang tua Dimas bisa jadi menjadi sebab anak itu menjadi pendiam dan memendam emosi sekian banyak. Hal itu juga bisa menjadi alasan Dimas selalu berkutat dengan hapenya. Karena hape mau menemaninya kapan pun dan di mana pun, tidak seperti kedua orang tuanya yang memilih berpisah dan pergi meninggalkannya.

“Kamu sendiri di rumah?”

“Iya, Pak. Biasanya ayah pulang sebelum magrib.”

“Apa kegiatanmu sepulang sekolah sampai sebelum magrib?”

“Aku main hape di kamar. Kalau main hape, nanti tau-tau bisa magrib, Pak.”

“Kamu tidak bermain dengan teman-temanmu?”

“Aku tidak punya teman. Lagi pula, aku lebih senang main sendiri, Pak. Jadi tidak mendengar ejekan mereka.”

Aku tersenyum miris, bingung ingin merespon seperti apa. Sebenarnya ada apa dengan anak itu? Kenapa dibalik sikap diamnya di sekolah, dia menyimpan banyak rahasia?

Kejadian ini menyadarkanku bahwa menjadi seorang guru tidak semata-mata cukup dengan mendidik dan mengajar di sekolah saja. Seorang guru hendaknya mengenal lebih dalam muridnya. Ternyata setelah enam bulan mengajar di sekolah, ia masih belum tahu apa-apa. Orientasinya selama ini hanya untuk materi dan status saja.

***

Palu sudah diketuk. Bersamaan dengan itu, pekerjaan pertamaku setelah lulus kuliah resmi hilang. Senyum kecut terpaksa ditampilkan di depan ayah Dimas dan kepala sekolah. Sesungguhnya, kepala sekolah sangat sulit memutuskannya. Namun, demi nama baik sekolah, sebisa mungkin semua masalah diselesaikan dengan jalan damai.

Walaupun sudah mencapai keputusan akhir, suasana bukannya mencair, malah menjadi canggung. Mereka berdiri dengan kaku, kemudian saling berjabat tangan. Anton pamit undur diri dengan senyum puas.

Menyadari punggung ayah muda yang sudah tidak terlihat, aku merasa ada yang mengganjal. Hal yang kudapati kemarin saat mengantar Dimas pulang harus disampaikan. Nurani memaksaku agar anak itu tidak menjadi seorang yang pendiam dan menutup diri seumur hidup.

Selepas mengantar Dimas kemarin, aku tergopoh-gopoh menemui wali kelas yang dulu mengampu Dimas. Penjelasan guru itu sangat mengejutkan. Ia bilang bahwa Dimas adalah siswa yang cerdas, aktif, dan ramah dengan temannya. Ia juga sangat menghormati guru. Kontrasnya sikap Dimas menjadi sebuah tanda tanya. Kini aku bisa menebak jawaban pertanyaan itu.

“Maaf, Pak Anton,” teriakku sambil berlari. Yang dipanggil menoleh, dahinya mengerut.

“Bisa bicara sebentar, Pak?”

Kami memilih berbincang di kantin sekolah. Di meja, sudah ada dua gelas es teh yang diharapkan dapat mendinginkan tensi pembicaraan mereka yang cukup tinggi. Setelah aku menceritakan detail kejadian kemarin, Anton merasa tidak terima. Bahkan tadi sempat menggebrak meja.

“Anda pikir saya tidak becus mendidik anak? Memang benar saya dan istri saya sudah cerai. Tapi saya masih sanggup mendidik anak saya dengan baik. Mana mungkin sikapnya di sekolah berbanding terbalik 180 derajat?”

“Hal itulah yang membuat saya bingung, Pak. Sedikit pun saya tidak pernah meragukan kemampuan Bapak dalam mendidik Dimas. Hanya saja, saya ingin menjelaskan duduk permasalahan yang sebenarnya.”

“Teknologi secanggih apa pun, tidak akan mampu menggantikan peran Bapak untuk Dimas. Semoga telinga Dimas segera membaik ya, Pak. Maaf kalau Bapak kurang berkenan dengan cara saya mendidik putra Anda.”

Anton tampak termenung. Entah merenungkan ucapanku atau menambah bensin dalam api amarahnya. Tetiba ia berdiri dan melangkah pergi tanpa mengucap satu patah kata pun.

Ini adalah akhir dari perjuangan selama enam bulan mengajar. Meskipun pengalaman pertamanya tidak menyenangkan, setidaknya keputusanku sudah benar. Hari terakhirku di sekolah ini benar-benar buruk. Semoga kesialanku tak memperkeruh masa depanku yang masih panjang.

Guru honorer dan dipecat dengan tidak hormat, enam bulan selepas lulus. Kesialan apa yang lebih buruk dari ini?

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: