[Review] Ikan Harapan – Dyah Yuukita: Mencipta Senyum dari Seekor Ikan
Kehidupan anak jalanan di kota besar menarik untuk diulik. Mereka sering dijumpai, tapi kita tak pernah benar-benar tahu tentang kisah yang sesungguhnya. Di balik senyum saat mengais rejeki, tentu mereka memiliki harapan tersembunyi.
Premis itulah yang coba dihadirkan Dyah Yuukita lewat cerpen Ikan Harapan. Cerpen ini ditulis saat Dyah teringat dengan wajah lelah anak penjual tisu di jembatan penyebrangan orang (JPO) Stasiun Tanjung Barat.
Mereka tersenyum pada orang-orang yang lewat sambil menawarkan tisu. Kilasan memori itu dipadukan dengan momen saat saudaranya mengatakan sesuatu tentang ikan, yang kemudian dibuat menjadi benang merah cerpen ini.
Tak ayal bila ilustrasi cerpen yang digambar Dymar Mahafa ini lekat dengan hewan bersirip itu. Namun, yang membuat tanda tanya adalah dominasi warna yang digunakan. Warna merah darah memenuhi hampir separuh gambar. Nyatanya ilustrasi tersebut sangat merepresentasikan isi cerita yang berakhir tak terduga.
Aku yang Penyayang
Cerpen yang bertema pengorbanan ini diceritakan dari sudut pandang orang pertama yang sekaligus sebagai tokoh utama, yakni aku. Sosok aku adalah penjual tisu di JPO yang mengais rejeki bersama sang adik sejak pagi hingga sore. Kadang ada tisu yang laku, tapi tak jarang mereka gagal menjual barang satu pun.
Penulis menggambarkan sosok aku sebagai seorang yang kuat, tegar, rela berkorban, dan penyayang. Ia rela melakukan apa pun demi adiknya yang masih kecil dan polos. Setelah ibunya meninggal, tanggung jawab sebagai kepala keluarga berada di pundaknya. Dirinya bertekad akan menjaga satu-satunya keluarga yang tersisa itu dengan sebaik-baiknya.
Misalnya, ketika mendapat hukuman dari Om Gendut yang marah karena mereka gagal menjual tisu. Dia ikhlas tangannya dipukul agar si adik tak merasakan hal serupa.
Pun saat adik sangat menyukai ikan dan ingin memeliharanya, dia berusaha keras untuk menabung sedikit demi sedikit dari upah menjual tisu. Ia rela hanya makan dengan nasi garam agar bisa mewujudkan keinginan tersebut dan melihat senyum adiknya.
Terbawa Suasana
Penulis mengurai kisah sosok penjual tisu itu dengan gaya bercerita yang mengalir, runtut, sehingga alur maju yang digunakannya mudah untuk dipahami. Deskripsi tempat dan suasana juga cukup detail, membuat pembaca bisa membayangkan kejadiannya.
Seperti ketika sosok aku sedang menjual tisu di JPO, penulis menceritakannya dengan deskriptif disertai perumpamaan yang sesuai. Tentang suasana, orang-orang yang melewatinya begitu saja, serta sang adik yang tertidur pulas di bahunya.
Nuansa sedih karena dagangan tidak laku, ketika dihukum Om Gendut, dan adegan menjelang akhir cerita, sangat mengena. Perasaan yang ingin disampaikan cerpen ini sampai ke pembaca. Apalagi ketika mendapati akhir cerita yang demikian, membuat saya mengelus dada, “mengapa ada orang yang bernasib seperti mereka?”
Rela Berkorban
Cerita yang berlatar di kota besar, lebih spesifiknya adalah JPO dan rumah kardus ini menyiratkan pesan penting, yakni tentang kasih sayang, pengorbanan, dan kepekaan sosial. Rasa kasih sayang dan pengorbanan ditujukan dengan jelas oleh sosok aku pada adiknya. Apalagi mereka hanya tinggal berdua, harus rukun dan selayaknya saling menjaga.
Tak hanya itu, cerpen juga menyoroti tentang kepekaan sosial yang kini mulai luntur. Bahwa banyak orang yang kurang beruntung di luar sana dan menunggu uluran tangan kita. Sebagai manusia yang diberi rejeki lebih oleh Tuhan, hendaknya kita berbagi dengan orang yang membutuhkan. Dalam cerpen ini contohnya adalah penjual tisu, tapi kita bisa berbuat baik pada orang lain secara lebih luas.
Aku yang Misterius
Tak ada gading yang tak retak, pun dengan cerpen ini. Ada beberapa hal yang membuat saya bertanya-tanya. Pertama adalah tentang jenis kelamin dan kisaran umur tokoh utama. Sampai terakhir membaca, saya belum bisa menyimpulkan siapa sebenarnya sosok aku ini. Sungguh misterius. Dari panggilan si adik juga tak bisa dijadikan rujukan, karena panggilannya adalah ‘kak’ dan itu universal.
Dalam cerpen ini, masing-masing tokoh diberi ciri khusus. Misalnya Om Gendut yang memiliki codet di pipi kirinya, adik yang giginya bolong, atau pria galak berhidung bangir dan perut buncit. Namun, karakteristik itu tak diperlihatkan oleh tokoh utama.
Yah, kemungkinan itu karena cerpen ini ditulis dari sudut pandang orang pertama. Akan tetapi, saya pikir penting untuk menunjukan sedikit identitas tokoh utama, sekalipun itu hanya dari dialog atau narasi singkat saja. Agar pembaca dapat membayangkannya dan memahami setiap sikap yang diambil oleh tokoh tersebut.
Pada akhirnya, saya hanya menduga-duga kalau kemungkinan si aku ini adalah seorang perempuan yang umurnya tidak bisa saya tebak berapa.
Kedua, tentang penulisan kata berbahasa asing yang tidak dimiringkan, yakni kata bodyguard yang tetap ditulis tegak. Padahal kalau mau menggunakan terjemahannya dalam bahasa Indonesia juga sudah ada, yaitu pengawal.
Saya pikir itu saja ulasan untuk cerpen Ikan Harapan. Untuk kamu yang penasaran dengan cerpennya bisa dibaca di sini.
Alhamdulillah, tugas pekan keenam sudah selesai. Ini adalah kali pertama saya mengulas cerpen, ternyata seru juga ya, hehee. Sampai jumpa di postingan selanjutnya.
#OneDayOnePost
#ODOP
#ODOPChallenge6
9 comments found