[Cerpen] Harap
“Bisa kok, Mbak. Nanti Mbak Wulan tinggal nitip saja.”
Senyum itu kembali terkembang. Senyum lebar yang begitu tampak begitu tulus. Perempuan itu kembali menata berbagai jajanan di kantin kejujuran dengan santai. Ketika sedang sibuk dengan kegiatannya, salah satu temannya muncul, menepuk pundaknya dari belakang untuk mengagetkannya. Matanya terbelalak bersama dengan jeritan kecil dari mulutnya. Ketika berbalik, gadis mungil itu menepuk lengan temannya pelan sambil terkikik.
“Lihatnya biasa aja, Bro,” Brian, teman kelasku sambil terkekeh, “Dia memang cantik. Banyak yang ngefans sama dia. Tapi sayang, waktu pada nembak, pada ditolak semua, hahaha.”
“Beneran? Kamu termasuk salah satunya?” tanyaku tak percaya. Brian ini sangat usil, membuat orang tak mudah percaya pada setiap ucapannya.
“Enggak lah! Aku masih setia sama Vivi. Walaupun dia secantik bidadari pun, hati gue nggak akan berpaling dari Vivi. Titik!” balasnya agak tersingung. Padahal bukan itu maksud pertanyaanku.
“Iya, aku paham. Biasa aja jawabnya. Nggak usah ngegas.”
Aku kembali mengamati kegiatan perempuan itu. Sekarang, dia sedang mengangkat sekardus air mineral yang biasanya memang dijual di kantin yang diurusnya itu. Tubuhnya yang kecil dan kurus, terlihat kuat saat membawanya. Namun tetap saja, aku tak akan membiarkan perempuan yang kusayangi membawa kardus air mineral seperti itu. Aku ingin menawarkannya bantuan, tapi logikaku berkata untuk tidak melakukannya. Dia pasti akan merasa canggung dan curiga melihat orang asing menawarkan bantuan.
Pertama kali aku tertarik padanya adalah ketika dia membantu menata lapak jualan di samping lapaknya. Barang-barang di sana berantakan karena ada mahasiswa yang tengah bermain voli di lapangan. Tak sengaja, bola itu terbang hingga menabrak meja dan mengacaukan barang dagangan yang sudah rapi.
Ketika melihat itu, ia langsung berdiri untuk menata. Padahal, saat itu aku yang berada lebih dekat dengan lokasi, sudah berdiri, dan mulai melangkah untuk menata barang-barang itu lagi. Tapi dia dengan jarak yang lebih jauh, justru lebih sigap dan menatanya kembali dengan sabar. Sejak saat itu, aku mulai tertarik melihatnya.
“Namanya siapa?”
“Namanya Hana. Namanya secakep orangnya kan? Dia masuk jajaran mahasiswi Akuntansi paling cantik, loh.”
“Hana? Sepertinya bukan. Dulu sepertinya aku pernah mendengar seseorang memanggilnya. Tapi seingatku namanya bukan itu,” kataku yang kontan membuatnya terkesiap, seolah sudah memahami sesuatu.
“Tunggu sebentar, Bro. Kamu tanya nama siapa? Hana atau temannya yang dekil itu?”
Aku menatapnya tak suka. Bila dibanding mahasiswi lain di kampus ini, gadis itu memang tidak menonjol. Ia berpakaian biasa, tingkah lakunya biasa, dan segala tentangnya adalah hal biasa. Namun, itu bukan berarti bila dia tidak cantik. Mungkin banyak yang menganggap seseorang cantik hanya dari fisiknya. Bila kuposisikan diriku sebagai Brian, tentu aku akan mengatakan bahwa perempuan itu nggak terlalu menarik. Namun, di mataku dia cantik dan menarik dengan cara lain yang mungkin hanya dapat kulihat.
“Seriusan? Kayaknya kamu emang udah gila! Kamu tuh ganteng, Sob! Kamu bahkan bisa dapetin Hana atau yang cantiknya setingkat di atas dan di bawahnya. Tapi bukan temennya Hana itu. Kastanya aja jauh berbeda! Waras dikit kenapa kalau cari cewek,” jelas Brian yang nggak setuju dengan pendapatku.
“Kasta apaan?” Tama meringis mendengar pilihan kata sobatnya itu. “Santai aja. Aku cuma merasa ada yang membuat cewek itu menjadi menarik aja. Terlepas dari penampilannya yang kamu bilang beda kasta itu.”
“Kamu bener-bener mesti di rukiyah. Udah sinting! Aku ke kelas dulu. Deket-deket kamu, aku ketularan sinting entar.”
Tak kupedulikan Brian yang meninggalkanku masuk ke kelas. Perempuan itu masih di sana. Menata dagangan yang terhitung banyak untuk dikerjakannya sendirian. Melihatnya masih bisa tersenyum manis walau tubuhnya lelah, membuatnya semakin menarik. Aku sendiri nggak paham dengan yang kurasakan saat ini. Apabila aku sungguh-sungguh mendekatinya, teman-temanku pasti sudah memaksaku untuk rukiyah.
***
“Ya… Hmm, aku juga suka. Seorang yang meninggalkan kampung halaman, jabatan, dan keluarga untuk belajar ke negeri seberang, benar-benar sangat mengagumkan. Apalagi ketika ia kembali ke Hindia dan melakukan gebrakan-gebrakan yang jarang dilakukan oleh orang-orang pribumi. Bahkan, Tan nggak takut sama sekali dengan risiko-risiko dari tindakannya.”
Perempuan yang akhir-akhir ini membuatku penasaran, berada di sampingku dan mengejutkanku seperti awal kuberjumpa dengannya. Tadi, aku melihatnya duduk sendirian di lobby yang sudah sepi. Ia sibuk membaca sebuah buku yang cukup tebal. Rasanya cukup lama aku terpaku, menatapnya yang sama sekali nggak merasa bila sudah kutatap lama-lama. Namun, kuberanikan diri mendekatinya. Aku ingin tahu tentangnya, namanya, rumahnya, kesukaannya, dan berbagai hal lain.
Jadilah sekarang aku duduk di sampingnya, masih menatapnya yang serius membaca buku yang sudah setengah bagian dilahapnya. Dahiku mengerut. Bila kebanyakan perempuan sepertinya membaca novel romansa, ia memilih membaca novel sejarah. Tan Malaka sedang dibacanya. Entah kebetulan atau tidak, buku itu baru saja kutamatkan kemarin.
Dadaku berdegup kencang, seolah ada yang mendobraknya di dalam. Ada satu dorongan yang sangat kuat untuk memulai pembicaraan dengannya. Memang tidak mudah, tapi sebagai seorang pria, aku merasa tidak jantan sama sekali. Banyak orang yang mengatakan bahwa aku seorang pemalu, tapi tak kusangka bila sifat itu kadarnya sudah terlalu tinggi dalam diriku. Beruntung, diri ini akhirnya berbicara, membuka topik yang untung-untungan kulempar.
Setelah beberapa saat berbincang dengannya, dapat kutangkap bahwa dia adalah perempuan yang wawasannya cukup luas. Meskipun kadang ia tergagap saat berbicara, ia tetap bisa menyampaikan opininya dengan lugas. Hal itu membuatku semakin tertarik padanya. Seperti ada magnet yang membuatku selalu tertarik padanya. Benar kata orang, paras wanita tak berguna ketika rasa tertarik itu sudah ada, menguat dalam dada seorang pria. Kasta yang dibilang Brian tadi, sepertinya tidak berlaku untukku.
Di sela obrolan kami, tiba-tiba ada seorang pria yang sepertinya meneriakan namanya, karena perempuan itu langsung menengok. Risa. Nama yang sangat cantik, cocok untuknya. Setelah sekian lama mengira-ira, akhirnya kutahu juga namanya.
Dia pamit pulang karena sudah dijemput. Siapa yang menjemputnya? Apakah pacarnya? Kutuklah diriku karena berpikiran buruk tentangnya. Mana mungkin perempuan sepertinya sudah memiliki pacar? Atau apakah aku tengah meremehkannya? Bisa saja ada pria lain yang mampu melihatnya dari sudut pandang berbeda sepertiku. Namun, rasa percaya diri masih melekat dalam diriku. Nggak mungkin! Risa pasti belum punya pacar!
”Hati-hati… Risa,” kataku setengah nggak rela. Masih ada banyak yang ingin kubincangkan dengannya. Ternyata, dia sangat nyaman untuk diajak bicara. Dia selalu menyimak ucapanku dan menatap mataku menaruh perhatian. Pun selalu menjawab setiap pertanyaanku dengan lugas, tanpa dibuat-buat.
“Terima kasih…,” kedua alisnya terangkat,”Siapa namamu?”
“Aditama. Panggil saja Tama.”
“Terima kasih, Tama. Sampai ketemu lagi.”
Namun, benih harap yang mulai muncul dalam hati, sepertinya terpaksa untuk kembali mengubur diri. Seorang pria dengan motor bebeknya, yang meneriakan nama gadis itu tadi, datang untuk menjemputnya. Senyumnya tiba-tiba merekah mendapati pria yang ia sebut dengan Mas Raka. Ia berlari menghampiri laki-laki itu. Sial! Kenapa dia terlihat senang sekali?
Setelah kemarin aku penasaran dengan siapa nama gadis itu, hari-hariku tampaknya akan dipenuhi rasa penasaran yang lain. Siapa lelaki itu?
“Apakah dia pacarmu?” bisik pada diriku sendiri.
Aku berbalik, pulang. Nampaknya memang bukan jodoh. Karena di setiap fase pertemuanku dengannya selalu ada halangan, penuh dengan waktu menunggu dan rasa penasaran. Kini aku dihadapkan pada dua pilihan. Tetap ingin tahu tentangnya, atau mulai mengabaikannya?
***
“Bro, salah nggak sih kalau aku suka sama cewek yang sudah punya pacar?”
Brian yang sedang meneguk es teh manis, menyemburkannya padaku. Sial. Bukannya mendapat jawaban, eh malah kena semprot! Matanya melotot tak percaya. Pengunjung kantin yang lain, menatap kami dengan heran. Kutarik lengan baju sobatku untuk mengelap mukaku yang basah.
“Kamu sehat kan, Tam? Kamu suka sama siapa sih? Ya jelas itu salah lah! Pake nanya lagi!” tukasnya sembari mengambil bakwan di atas piringnya.
“Nggak tahu. Ini pertama kalinya gue ketemu sama cewek yang menarik. Sekalinya ketemu, eh dianya malah sudah punya pacar.”
“Tunggu bentar, Bro,” Brian mengurungkan tangannya yang hendak mengambil bakwan kedua, “Jangan bilang kalau cewek yang kamu maksud itu si dekil?”
Kedua alisku bertaut tak setuju dengan sebutannya tadi. Kulit perempuan itu memang cukup gelap dan memang tampak dekil bila dilihat. Apalagi ia selalu berkeringat karena sibuk mengurus dagangannya di kantin. “Kayaknya kamu harus ubah panggilan itu ke dia deh. Ya, kalau kamu nggak mau berantem sama aku sih.”
“Bro! Kamu disantet ya sama dia? Aku sadarin ya, Tam. Seorang Aditama itu ganteng. Ini ya, aku sebagai cowok aja mengakui kalau kamu itu ganteng. Lah, gimana coba cewek-cewek? Udah klepek-klepek pasti mereka. Kamu juga tahu kalau udah banyak banget surat cinta dari cewek buatmu. Ceweknya cakep-cakep pula!” Brian menarik nafas memberikan jeda.
“Kampretnya, kamu malah tertarik sama cewek dekil, kurus, pendek, item, yang kerjaannya ngurusin kantin? Emang nggak waras!”
Semua yang diucapkan Brian tidak berlebihan. Memang itu kenyataannya. Tapi mau bagaimana lagi kalau hatiku berkata lain? Aku saja bingung dengan alasanku tertarik pada Risa. Bagaimana orang lain? Tentu itu menimbulkan satu pertanyaan besar.
“Tapi dia itu beda. Sayangnya aku nggak tahu bedanya itu apa,” aku frustrasi sendiri memikirkan hal yang membuat cewek itu menarik.
“Ya jelas bedalah! Dia itu dekil, kurus, item, pendek. Bukan tipikal cewek yang bakal kamu taksir.”
Bukan itu. Alasannya bukan itu. Sesuatu yang membuat dia beda bukan itu. Ada satu magnet yang menarik perhatianku. Satu yang pasti, itu bukan soal fisik.
***
“Kenapa bisa terlambat dua bulan, Mbak?”
Kata seorang petugas perpustakaan dengan cukup lantang. Memang wajar bila si petugas menanyakan itu, karena perpustakaan ini tidak menuntut pemustaka untuk membayar denda ketika terlambat mengembalikan buku. Namun, wajah ramah petugas akan berubah 180 derajat ketika buku telat dikembalikan. Tak ada senyum seperti saat meminjam buku. Suaranya pun akan dua kali lebih kencang, sehingga terdengar hingga ke pojok perpustakaan. Aku yang tengah duduk di ruang baca saja bisa mendengarnya sejelas ini.
“Maaf, Mbak. Saya lupa.”
Jawaban suara kecil itu membuatku seketika menoleh. Suara itu adalah suara perempuan yang beberapa hari ini membuatku frustrasi. Risa. Wajahnya yang takut-takut memberanikan diri menghadapi garangnya si petugas.
“Jangan terlambat lagi, biar bukunya bisa dipinjam yang lain.” Si petugas agaknya sedikit luluh melihat raut wajah Risa yang mengiba. Buru-buru gadis itu menyingkir dan menyimpan tas di loker.
Risa tampak manis hari ini dengan kemeja warna merah muda dipadu dengan jilbab warna senada yang dipakainya. Busananya itu membuatnya tampak ceria. Dia berjalan menuju rak buku biografi. Aku tersenyum. Ternyata ia benar-benar menyukai buku-buku seperti itu. Aku berdiri menyusul dia.
“Hai!”
Gadis itu mendongakan kepalanya. Awalnya ia tampak bingung, tapi setelah beberapa saat, senyumnya muncul.
“Tama?”
“Cari buku apa?”
“Biografinya Kartini,” jawabnya malu-malu, “Kamu sendiri cari buku apa?”
Kami pun berbincang dengan suara yang lirih. Di sela kegiatannya mencari buku di rak, ia menanggapi setiap ocehanku. Setelah mendapatkan buku yang diinginkan, dia tersenyum sambil menunjukannya padaku.
“Hmm, kamu mau baca buku? Aku mau baca di lantai dua.”
Kucomot asal satu buku dari rak lalu mengikuti langkah Risa menuju lantai dua. Kami menduduki dua kursi kosong tersisa yang ada di dekat jendela. Dari sana, dapat dilihat keramaian jalan Merpati serta pohon rindang yang mengiringi. Tempat yang nyaman bersama dengan perempuan yang membuatku nyaman pula. Perpaduan yang sangat cocok.
Sesekali kami bercakap-cakap disela waktu membaca. Namun, lebih banyak waktu senyap. Aku tahu bahwa dia memang benar-benar ingin membaca. Aku nggak mau membuatnya berpikir bahwa kedatanganku hanya mengganggu kegiatannya saja.
“Kamu tau? Aku merasa sedih waktu baca buku ini,” Risa melepaskan kaca mata minusnya. Ya, dia tadi bilang bahwa matanya minus tiga pada mata kiri, dua setengah pada mata kanan. Ia pinjat pangkal hidung dengan jemarinya. Mata bulatnya kini terlihat jelas, dengan bulu mata panjang dan lentik menghiasinya.
“Kenapa?”
“Karena sejak dulu hingga beberapa waktu yang lalu, aku nggak tertarik mengenal lebih dalam seorang Kartini. Padahal ada banyak hal yang aku dapat setelah baca biografi beliau.” Matanya menerwang jauh, seolah menelusuri berbagai kesalahan besarnya di masa lalu.
“Memangnya kisah Kartini yang sebenarnya seperti apa?”
“Yang pasti akan membuat kamu sedih ketika mengingat masa lalu. Terkurung dari dunia luar. Dipinggirkan hanya karena lahir sebagai seorang perempuan,” ia menarik napas, lalu mengembuskannya, “kamu harus baca buku ini.”
Dia bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Meskipun sekarang dia hanya diam dan memandang hal yang tak pasti. Aku hanya menanggapi sekenanya, karena memang tidak tahu secara mendalam kisah hidup Kartini. Yang kutahu, Kartini adalah tokoh emansipasi wanita, seperti dalam lagu yang setiap tanggal duapuluh satu April dinyanyikan saat masih sekolah. Sepertinya aku harus banyak-banyak membaca buku sejarah untuk menciptakan obrolan menarik dengan perempuan ini.
Risa kembali membaca, sedangkan aku diam-diam melihatnya. Lima belas menit berlalu, tapi aku tak jua jemu. Dirinya seperti memiliki aura magis yang membuatku ingin selalu melihatnya. Sepertinya benar kata Brian, bahwa aku sudah sinting.
Tiba-tiba saja ponsel pintar gadis itu menyala, memperlihatkan sebuah panggilan suara. Namun, dia justru mematikannya. Aku mengernyit, menatapnya seolah bertanya, “kenapa nggak diangkat?” Dia lantas berbisik, “ini perpustakaan. Ingat? Aku nggak mau bikin keributan.”
Risa memberi batas bacanya di buku tebal itu, lalu mengetikkan pesan di ponsel. Ia berkata bahwa kakaknya sudah sampai di depan. Ia harus segera pulang, sebelum kakaknya mengamuk. Kakaknya itu sangat galak dan cerewet, membuatnya tak mau membantah kalau masih ingin hidup esok hari.
“Semoga kita bisa bertemu lagi,” kata Tama sebelum gadis itu benar-benar pergi. Risa tersenyum kecil sambil menyatukan telunjuk dan ibu jarinya, seolah ingin mengatakan ‘OK’.
Perempuan itu sudah turun, kini tersisa Tama dan dadanya yang masih berdegup kencang. Ia berdiri mendekati jendela yang mengarah ke Jalan Merpati. Di bawah sana ada seorang pria berjaket abu-abu yang duduk di atas motor bebek. Tama tertegun, kedua alisnya tertaut. Sepertinya ia tak asing dengan pria itu dan motor yang ditungganginya. Namun, siapa dia?
Seorang wanita berbaju merah muda mendekatinya. Pria itu lantas mengulurkan helm sambil mengatakan sesuatu yang tak bisa diartikan Tama. Perlahan, Tama mengurai benang kusut dalam benaknya, lalu menyambungkannya sesuai instingnya. Dengusan tak percaya hadir, menolak sebuah konklusi dari pemikiran rumitnya sejak perjumpaan pertama dengan Risa.
“Apakah pria itu adalah kakak kandungnya? Jadi, artinya aku masih punya kesempatan?” gumamnya sambil melihat kedua orang yang sejak tadi diamatinya mulai pergi.
Tama tersenyum puas. Ia berharap Tuhan mempertemukannya lagi dengan Risa. Apabila mereka bertemu tanpa rencana lagi, ia akan percaya bahwa mereka berdua adalah jodoh yang lama terpisah.
Selesai
Cerpen ini adalah lanjutan dari Siapa Namamu? tetapi diceritakan dari sudut pandang yang berbeda.
1 comment found