[Cerpen] Siapa Namamu?

[Cerpen] Siapa Namamu?

“Sst, itu ada Rangga.”

Mataku mengikuti arah telunjuk Hana, sahabatku. Telunjuk itu membawaku pada seorang mahasiswa angkatan kami yang membantu seorang dosen laki-laki yang sepertinya tengah sakit stroke untuk berjalan. Aku tak tahu siapa namanya. Aku memutuskan untuk menyebutnya Rangga sejak pertama kali berjumpa, karena karakternya yang mirip tokoh film favoritku di film Ada Apa dengan Cinta.

Ia berjalan perlahan, mengikuti langkah dosen di sampingnya yang berjalan begitu lamban. Dosen itu sudah tidak bisa berjalan dengan normal lagi. Namun, Rangga tak menunjukan wajah tergesa. Ia begitu sabar menuntun dosen itu. Tak pelak, kusunggingkan senyum samar. Dia selalu begitu, ringan tangan tanpa memandang orang yang dibantunya. Sebelum ini, aku pernah melihatnya memborong setumpuk koran yang dijajakan pria paruh baya di lampu merah. Kebetulan yang menyenangkan, saat itu motor yang dikendarai bersama kakakku berhenti tepat di belakangnya. Bisa kulihat, penjual koran itu melotot karena kaget korannya dilarisi seorang pemuda. Ah, betapa baik hatinya.

Kedua pria itu berhenti di depan pintu mobil Inova. Sang supir seketika turun lalu membantu dosen itu duduk di kursi penumpang. Setelah berbincang sebentar, Rangga menjabat tangan dosen dan supirnya, lalu berbalik pergi. Aku dan Hana terkesiap, lalu pura-pura bercakap-cakap. Pasti kami tertangkap basah memperhatikannya sejak tadi.

Satu menit. Dua menit. Tak ada sahutan yang kami dengar. Halaman parkir menjadi begitu lengang. Kami salah sangka. Dia ternyata tidak sadar kami perhatikan sejak tadi. Entah kenapa dalam lubuk hatiku yang paling dalam, aku merasa kecewa.

“Dia baik banget, Ris. Kok, aku jadi suka ya sama Rangga,” Hani mengatakannya dengan begitu santai saat berjalan menuju kelas.

Mataku terbelalak. Jangan sampai Hana suka pada Rangga. Aku sudah pasti kalah. Hana adalah perempuan idaman para lelaki. Matanya yang bening nampak berbinar, hidungnya mancung, tulang pipinya tinggi, bibirnya yang merah tanpa diberi lipstik selalu tersenyum ramah. Kulitnya putih bersih, di wajahnya tak ada satu pun bekas jerawat yang nampak. Tak hanya fisiknya saja yang rupawan, hatinya tak kalah cantik. Perempuan itu selalu sigap membantu teman-temannya yang tengah kesulitan. Aku sudah pasti mundur bila sahabatku itu menyukai Rangga juga.

Aku hanyalah Risa, seorang perempuan biasa dan berasal dari keluarga yang tak begitu istimewa. Aku tidak cantik. Kulitku yang berwarna coklat gelap, membalut tulangku yang menopang sedikit daging. Mataku selalu terlihat lelah, sendu, dan mengantuk. Kawanku, sering mendapatiku melamun dan kurang ceria. Aku adalah perempuan yang tidak menarik, memilih untuk hidup sebagai bayang-bayang, duduk bersama para figuran.

“Kamu suka sama dia?” tanyaku pasrah.

Hana tertawa. Tawanya yang begitu renyah membuat beberapa mata mengarah pada kami. Bukan. Lebih tepatnya mengarah pada Hana. Mana mungkin mengarah padaku, si upik abu?

“Aku suka sama dia, Ris. Sebatas suka aja. Jarang banget, mahasiswa sekarang yang rasa pedulinya tinggi kayak dia. Sekarang banyak orang yang cuek. Kalau lihat dosen kesusahan, malah pada sibuk sendiri dengan ponselnya. Pura-pura nggak tahu apa-apa. Oh iya, cowok tadi siapa namanya?” Ia terkikik.

“Udah deh, nggak usah ngejek gitu.”

“Oh, iya. Kamu kan belum tahu namanya, hahaha.”

Bola mataku berputar jengah. Aku tidak suka digoda seperti ini. Wajahku bisa memerah. Aku malu. Malu setengah mati!

“Risa dengerin aku,” Hana berubah serius. Ia menangkup kedua pipiku agar menghadap padanya.

“Kamu cantik, Risa. Kamu harus lebih percaya diri. Kalau kamu sendiri nggak percaya dengan dirimu, mana mungkin orang-orang akan berpikiran sebaliknya?”

“Yayaya, aku memang kurang percaya diri karena aku memang nggak cantik, Han. Lihat. Bahkan ketika kita jalan bersisian begini, orang-orang menengok ke arahmu semua. Itu bukti kalau aku memang nggak menarik.”

“Setiap perempuan itu tercipta menjadi cantik. Setiap perempuan akan terlihat cantik dengan caranya sendiri, Ris. Hati kamu cantik. Aku tahu itu. Itu satu nilai lebih kamu,” jelas Hana.

“Kamu pandai sekali menghiburku, Han. Terima kasih, Sahabatku yang paling baik.” Aku tersenyum untuk menenangkannya. Padahal hatiku tidak tenang sama sekali.

Hana menggeleng, bahunya melemas. Ia sudah berkali-kali membuat rasa percaya diriku meningkat. Namun tak jua berhasil. Aku memang bebal. Bebal pada diriku sendiri. Pemikiranku begitu keras. Aku tidak perlu berubah menjadi cantik. Aku hanya ingin terlihat biasa. Yah. Terlihat biasa saja sudah cukup bagiku.

***

Aku duduk di lobby kampus seorang diri, hanya berteman sebuah buku yang sudah habis kubaca setengahnya. Kakakku belum juga datang menjemput, padahal hari sudah mulai sore. Telfonku tidak diangkat. Pesanku juga tidak dibalas. Saat ini tak ada yang bisa kuajak bicara. Hana sudah pulang sejak tadi karena ibunya meminta ditemani ke toko untuk membeli kain.

Setengah jam berlalu, halaman demi halaman buku telah kusibak. Cerita sudah menuju akhir, akan tetapi penantianku belum juga berakhir. Firasatku berkata bila Mas Raka sedang asyik di fakultas lain, menggoda mahasiswi cantik yang tertangkap matanya. Kalau firasatku itu benar, sudah pasti akan aku habisi satu-satunya kakakku itu. Teganya dia membuatku menunggu sangat lama.

“Tan Malaka begitu menginspirasi, bukan?”

Pandanganku beralih dari buku ke sumber suara. Mataku membelalak seketika. Dia adalah… Rangga, pria yang tadi siang aku buntuti bersama Hana. Kenapa dia tiba-tiba duduk di sampingku? Kapan dia duduk di sana? Kenapa aku tidak merasakan kehadirannya? Apakah dia ke sini ingin memarahiku karena membututinya sejak tadi? Begitu banyak pertanyaan yang bermunculan dalam benakku, membuat jantungku berpacu begitu cepat.

Rangga masih menggunakan setelan yang sama seperti tadi siang. Kemeja warna biru tua yang cukup kontras dengan kulitnya yang sawo matang dan celana jins hitam. Alisnya begitu tebal terangkat seolah menanti tanggapanku.

“Aku suka dengan karakternya. Cerdas, pemberani, dan nasionalis.” Ia melanjutkan karena aku tak juga menanggapi kata-katanya.

“Ya… Hmm, aku juga suka. Seorang yang meninggalkan kampung halaman, jabatan, dan keluarga untuk belajar ke negeri seberang, benar-benar sangat mengagumkan. Apalagi ketika ia kembali ke Hindia dan melakukan gebrakan-gebrakan yang jarang dilakukan oleh orang-orang pribumi. Bahkan, Tan nggak takut sama sekali dengan risiko-risiko dari tindakannya.” Setelah awalnya agak ragu, akhirnya aku bisa menjelaskan dengan percaya diri. Ternyata tak hanya aku yang menganggumi sosok pejuang kemerdekaan yang terlupakan ini.

Bibirnya melengkung menujukan barisan gigi putih yang tertata rapi. Senyum pertama untukku setelah lebih dari satu bulan mengamatinya dari jauh. Tuhan, tolong aku agar tidak melakukan hal konyol saat ini. Aku tidak mau pertemuan pertama kami ini meninggalkan kesan yang buruk untuknya.

“Kamu baru baca sebagian tapi sudah begitu tahu karakter Tan Malaka. Kamu benar-benar hebat.” Ia melirik telunjukku yang membagi buku setebal 400 halaman itu menjadi dua bagian.

“Yah. Karakter yang kuat seperti ini tak sulit untuk dipahami. Namun sulit untuk dimiliki.”

Ia kembali tersenyum. Aku bingung. Kenapa dia tersenyum? Apakah aku salah bicara? Aku benarkan posisi dudukku dengan canggung, lalu kembali berkutat pada novel Tan Malaka di tanganku. Aku membalik halaman buku itu seolah-olah aku selesai membacanya. Bohong besar! Untuk mengatur degup jantungku saja susah. Mana mungkin aku bisa membaca dengan mudah?

“Aku jarang melihat kamu di kampus. Kamu jurusan apa?”

Ia kembali menatapku. Matanya yang bening menatapku begitu tajam. Kuturunkan pandanganku, kalah. Sudah pasti sekarang aku terlihat begitu salah tingkah.

“Akuntansi. Kamu?”

“Manajemen. Berarti kamu satu jurusan dengan Nita? Anita Setia Sari.”

Aku mengangguk pelan dan mengatakan bahwa Anita adalah teman sekelasku. Setelah itu tak ada lagi percakapan di antara kami. Ia tak juga membuka topik pembicaraan lagi. Sedangkan aku malu setengah mati. Canggung. Aku tidak mau terlihat antusias berbicara dengannya. Aku harus menjaga harkat dan martabatku sebagai perempuan.

“Risa!”

Akhirnya Mas Raka datang juga bersama motor bebeknya yang belum dicuci seminggu. Kumasukan bukuku ke dalam tas kemudian berdiri dan merapikan pakaianku.

“Aku duluan ya. Mas Raka sudah jemput.”

Ia tersenyum,”Hati-hati… Risa,”

Aku menarik ujung bibirku ke atas, mengaburkan rasa yang membuncah dalam hatiku. Hatiku bergemuruh ketika mendengarnya menyebut namaku. Akhirnya, dia tahu namaku! Ingin rasanya aku berteriak dan melakukan perayaan karena Rangga mengetahui namaku. Selepas dari kampus aku harus segera menceritakan semuanya pada Hana. Dia akhirnya tahu namaku!

“Terima kasih…,” kedua alisku terangkat,”Siapa namamu?”

“Aditama. Panggil saja Tama.”

“Terima kasih, Tama. Sampai ketemu lagi,”

Aku beranjak dari kursi menuju Mas Raka. Kuhadiahi kakakku itu jotosan di lengannya. Tidak kuat, mungkin dia hanya akan merasa geli. Siapa suruh membuatku menunggu lama sekali. Namun, dalam jotosanku itu terselip ucapan terima kasih yang begitu besar. Apabila Mas Raka tidak telat menjemput, mustahil aku akan berbincang dengan… Tama dan tahu namanya.

Saat aku sibuk menangkis tangan kakakku yang bersiap melancarkan serangan untuk menggelitiki aku, punggungku terasa panas. Telingaku berdenging, selintas suara pria berdengung. Suara siapa itu?

“Apakah dia pacarmu?”

Aku berbalik. Namun, tak kutemukan siapa pun di sana.

SELESAI

12 comments found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: