[Review] The Player – AliaZalea (2020)
Setelah kemarin saya mengulas Bad Boy, saatnya sekarang gantian seri keempatnya, yakni The Player. Walaupun sesungguhnya seri ini saya tamatkan lebih dulu dibanding seri sebelumnya. Kenapa? Karena lebih seru!
The Player menceritakan tentang anggota favorit kita semua. Siapa lagi kalau bukan Pierre? Si cowok bule yang pesona dan deskripsi fisiknya mengingatkan saya pada Harry Styles. Sejujurnya saya penasaran dengan cerita dibalik sosoknya yang begitu ceria dan supel. Apakah kisahnya mirip dengan tokoh yang saya bayangkan? Ternyata tidak, Saudara-saudara.
Cerita dimulai dengan liburan masa kecil Pierre di Paris. Di sana ia bertemu dengan sepupu favoritnya, juga Jules, seseorang yang membuatnya tertarik sejak awal bertemu. Mulai dari saling lirik, kemudian saling ngobrol, jadi saling suka deh. Mereka akhirnya menjalin hubungan yang cukup serius, hingga meluangkan waktu untuk liburan berdua di Selandia Baru. Wow!
Di sisi lain, siapa yang menyangka bila sahabat baik Zi (baca: pacar Adam) yang bernama Hanna, berkaitan erat dengan seri keempat ini? Hanna adalah seroang perempuan cerdas, mandiri, dan sukses. Selama ini ia hidup dan bekerja di Amerika. Di sana, ia dekat dengan Andrei, cowok yang membuatnya jatuh cinta sekaligus patah hati. Yah, bisa dibilang cowok itu memberikan perhatian lebih, tetapi nggak beserta hatinya. Jadinya bertepuk sebelah tangan deh.
Pierre dan Hanna ini dipertemukan karena keadaan. Mereka sama-sama diundang ke acara pernikahan Zi dan Adam (baca seri ketiga deh biar tahu gregetnya). Zi meminta Pierre dan Erik untuk menginap di rumah Hanna, karena cewek itu nggak mau kedua anggota Pentagon itu tidur di hotel dan berisiko dikepung fans mereka.
Begitulah kurang lebih latar belakang dari masing-masing tokoh utama. Endingnya sudah ketahuan? Saya bisa jawab “ya”, seperti halnya pada seri-seri sebelumnya. Namun, kamu pasti akan terkejut dengan alur cerita yang dibangun oleh penulis. Kisah Pierre dan Hanna ini penuh kejutan dan saya berhasil dikagetkan dengan plot twist yang dihadirkan disekitar pertengahan cerita.
Percaya atau enggak, sampai melongo saya saat menemui satu fakta itu, membuat imajinasi yang sudah saya bangun sejak awal, seketika buyar. Percayalah, ini adalah poin plus novel ini. Meskipun endingnya dapat diterka, alurnya bisa menipu pembaca.
Secara umum, buku ini bisa dinikmati, meskipun di beberapa bagian agak membosankan. Salah satunya adalah bagian awal yang menceritakan pertemuan Pierre dengan Jules. Entah bagaimana saya nggak tahu, apakah memang Alia selalu membuka ceritanya seperti ini? Tapi sepertinya enggak, karena di The Wanker dan novel penulis yang lain, saya selalu langsung bisa masuk ke ceritanya. Semoga saja di seri selanjutnya, pembaca langsung disuguhkan konflik, agar cerita menjadi seru sejak awal.
Saya juga agak bingung dengan umur Pierre saat berkenalan dengan Jules. Mungkin memang saya yang nggak teliti saat bacanya atau gimana, saya kehilangan detail usia saat di bagian awal. Kemudian pada beberapa halaman selanjutnya, diceritakan bahwa saat itu Pierre belum genap delapan tahun.
Saya langsung bertanya-tanya. Padahal di otak saya, paling nggak usia tokoh waktu itu ya, paling enggak sudah belasanlah. Tapi ternyata enggak. Apalagi disebutkan mereka minum alkohol di pesta Jules. Yah, mungkin itu wajar ya di Paris.
Buku juga menyinggung tentang self love. Tokoh utama perempuan di sini, diceritakan nggak percaya diri dengan ukuran dadanya yang cukup besar, pun dengan tubuhnya yang memang montok. Karena itu, ia lebih suka memakai baju berwarna hitam, demi menyamarkan kekurangannya tersebut.
Padahal berulangkali Petra, sahabatnya mengatakan bahwa ukuran dadanya bukan masalah yang besar. Bahkan di luar sana ada banyak perempuan yang rela menggelontorkan uang untuk membuat dadanya tampak lebih besar. Saran yang diberikan oleh orang terdekatnya, akhirnya membuat karakter Hanna menjadi lebih berkembang, dan bisa menjadi contoh bahwa kita harus belajar untuk mencintai diri sendiri.
Oh iya, saya merasa bahwa perkembangan hubungan Pierre dan Hanna ini terlalu cepat. Bayangkan, Gaes, kurang dari seminggu! Bagaimana bisa perasaan berubah secepat itu? Iya, iya, perasaan bisa berubah cepat, namanya juga cinta!
Bisa jadi terlalu cepat, karena penulis kadang kala juga membahas hubungan Pierre dengan Jules. Yah, cerita seperti nggak fokus. Jadi, seolah si tokoh utama pria dan wanita ini dipaksa untuk bertemu dan menumbuhkan perasaan di antara keduanya, supaya nggak jomlo lagi. Entahlah.
Meskipun begitu, saya suka dengan keberanian Alia memasukan isu yang cukup sensitif ke dalam novelnya. Apalagi eksekusinya mulus dan berhasil menimbulkan ‘efek kejut’ ke pembaca.
Pesan moral yang saya tangkap dari novel ini adalah terima dan cintai dirimu, baik itu kekurangan atau kelebihannya. Karena kalau kita belum selesai dengan diri sendiri, bagaimana bisa menjalin hubungan dengan orang lain?
Amanat lainnya adalah jangan baperan! Perempuan memang suka berasumsi, apalagi jika si cowok memberikan perhatian lebih. Jangan menyalahkan wanita karena menduga-duga maksud di baliknya. Kalau nggak ingin perempuan baper, ya kalau memberi perhatian sewajarnya saja. Oke!
Ulasan saya untuk novel ini segitu dulu ya. Maafkan saya karena lagi-lagi nggak menyertakan kutipan favorit seperti biasanya.
Saya sepertinya bingung membandingkan antara The Player atau Bad Boy yang menempati urutan kedua seri Pentagon favorit saya. Karena kedua seri ini memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Tapi… sepertinya saya lebih condong ke The Player.
Namun, yang pasti The Wanker masih nomor satu di antara keempat seri yang sudah terbit. Saya jadi nggak sabar menantikan kisah Erik. Semoga saja bisa lebih baik. Saya beri 3 dari 4 bintang untuk novel ini!
Judul : The Player
Penulis : AliaZalea
Cetakan : Pertama, 2020
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 324 halaman
2 comments found