[Review] The Boy I Knew from Youtube – Suarcani (2020)

[Review] The Boy I Knew from Youtube – Suarcani (2020)

“Takut itu produk dari alam bawah sadar. Berawal dari stress, berakhir dengan adrenalin. Semua hanya ada dalam kepala dan pada kenyataannya, seringkali tidak seseram itu.” (hal 83)

Masa remaja adalah waktu yang paling menyenangkan bagi sebagian besar orang. Belum mengenal apa itu lembur kerja, cicilan rumah, atau kredit motor. Seluruh waktunya dihabiskan untuk melakukan hal yang menyenangkan, seperti bermain dengan teman, mencari gebetan, atau menekuni hobi. Beberapa hal yang bikin pusing, biasanya hanya seputar banyaknya PR, ujian akhir semester, atau ujian nasional.

Seindah-indahnya masa remaja orang lain, masa remaja Rai tidak begitu menarik. Ia berusaha untuk tidak terlihat mencolok. Padahal, gadis itu mempunyai bakat terpendam yang sayang untuk diabaikan. Yah, Rai adalah orang dibalik channel Youtube Peri Bisu yang sering mengcover lagu. Namun, tidak ada yang tahu bahwa itu Rai, kecuali dua orang, yaitu kakaknya dan Kiki, sahabatnya.

Selain mengelola akun Youtube-nya, ia juga sering mengikuti akun Pie Susu. Akun itu selalu memberikan hiburan berupa petikan gitar yang mudah membuat orang jatuh hati. Apalagi yang memetik gitar adalah Pri, seorang pria yang ternyata adalah kakak kelasnya di sekolah! Rasa kagum tak bisa dielakkan dari diri Rai, hingga membawa mereka menjadi lebih dekat, saling bertukar sapa, dimulai dari komentar di video, hingga percakapan via email pribadi.

Rai merahasiakan identitasnya di sekolah, bahwa ia adalah pemilik akun Peri Bisu, termasuk pada Pri. Sialnya, ia terpaksa berada di situasi yang sama dengan Pri, yang buntutnya membuat traumanya kambuh. Rasa tidak percaya diri membuatnya enggan sekolah. Sekolah menjadi seperti neraka, yang semakin panas setiap harinya. Mampukah Rai melawan semua itu? Apakah Pri akhirnya tahu bahwa pemilik akun Peri Bisu adalah adik kelasnya sendiri? Yuk, baca ulasan saya sampai akhir!

“Bullying itu akan terus terjadi kalau semua orang memilih diam.” (hal 135)

Novel Suarcani ini sudah menggelitik saya untuk segera mampir ke toko buku pada hari rilisnya. Sayang, ternyata waktu yang tepat adalah awal Maret, bulan yang menghadirkan banyak diskon-diskon buku. Akhirnya, The Boy I Knew from Youtube baru saya pegang dan dibau-baui belum lama ini. Lumayan, dapat diskon 30%!

Kembali ke ulasan saya ya. Sejak kenalan dengan karya penulis satu ini, saya belum pernah kecewa dengan novelnya. Purple Prose, Rule of Thirds, dan Welcome Home Rain tidak mengecewakan. Tak heran, kalau saya membeli karya terbarunya, yang gambar sampulnya cantiiik sekali. Satu hal yang semakin membuat penasaran adalah, ini sepertinya teenlit pertama penulis yang saya baca.

“Kalau kamu kuat, hal yang begini pasti nggak akan bikin kamu down. Nggak akan memapn. Kuncinya cuma satu, sayangi diri kamu, sayangi tubuh kamu sendiri. Simpel kok.” (hal 140)

Novel ini menghadirkan Rai dan Pri sebagai tokoh sentral. Rai, seorang gadis remaja yang memiliki rasa tidak percaya diri dengan tubuhnya, ternyata memiliki bakat menyanyi yang mumpuni. Ia bersembunyi dibalik akun Peri Bisu, demi bisa menyalurkan hobinya. Satu-satunya hal yang membuatnya tidak percaya diri adalah ukuran dadanya yang lebih besar dibandingkan teman sebayanya.

Saya tahu sekali bahwa hal itu lumrah terjadi pada remaja. Masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa memang terkadang mengubah beberapa bagian pada tubuh. Sosok Rai ini adalah salah satu potret remaja dengan permasalahan yang selama ini dianggap “saru” atau “tabu” untuk dibicarakan. Padahal, berbicara tentang perubahan fisik pada remaja memang perlu dilakukan, agar mereka paham bahwa hal itu wajar terjadi sebagai bentuk anugerah dari Tuhan yang patut untuk disyukuri.

“Ada sekian banyak kebahagiaan yang datang karena hal lain, lalu kenapa kamu harus protes saat satu kesedihan muncul gara-gara ukuran dada?” (hal 141)

Tokoh Pri dalam novel ini, seperti biasalah, cowok ganteng dan berbakat, idola siswi-siswi. Bedanya, ia sama sekali tidak songong. Ia tetap ramah dan rendah hati pada teman-temannya. Cowok itu aktif di ekstrakurikuler paduan suara bersama Lolita dan Dandi, temannya.

Satu lagi karakter yang cukup menarik dalam novel ini, adalah Lolita. Tokoh ini bisa dibilang antagonis, tetapi saya baru menyadarinya setengah buku ke belakang. Saya suka dengan cara Suarcani membangun karakter Lolita ini. Cewek itu, membuat cerita menjadi semakin seru dan jarang saya temukan di novel-novel Suarcani yang lain.

“Rasa takut yang bikin kamu ngelihat monster. Nggak ada apa-apa kok di depan sana. Jalan aja terus!” (hal 152)

Novel yang menggunakan alur maju ini sepertinya diberi sentuhan yang berbeda oleh penulis. Suarcani biasa membuka novelnya dengan trivia tertentu, seperti yang dapat ditemukan dalam ketiga novel sebelumnya yang sudah saya baca. Namun, buku ini berbeda. Sejujurnya, saya agak kehilangan satu ciri khas itu di sini.

Mengenai alur, Suarcani berhasil membuatnya dengan rapi dan runtut, seperti biasanya. Konfliknya seputar self love, bullying, tetapi penulis menyajikan “kemungkinan terburuk” yang disajikan dari sudut pandang remaja SMA. Di sinilah saya melihat penulis memainkan tokoh antagonisnya, sehingga terkesan cukup “drama”, tapi nggak terlalu berlebihan.

Satu hal yang saya suka dari Suarcani adalah pemilihan latar tempat yang berbeda dari yang lain. Penulis konsisten dengan setting cerita di Bali. Saya sebagai orang yang awam tentang Bali jadi mendapat pengetahuan lebih tentang budaya di sana.

“Mereka itu sama sekali nggak bisa menghargai orang lain. Padahal mereka sekolah lho, harusnya kan tahu tata krama. Tapi kenyataannya kok begitu, ke sekolah hanya untuk ngomongin teman, untuk ngelecehin orang. Lama-lama percuma sekolah kalau yang diamplas itu cuma otak. Manusia berotak tapi nggak punya hati. Percuma kan?” (hal 134)

Satu hal yang awalnya agak janggal adalah bagian ketika Pri dan Rai dipertemukan dalam situasi tak terduga. Karena saya nggak mau spoiler, coba deh kamu baca dulu, hehe. Menurut saya yang sok tahu ini, kok sepertinya akan lebih mantap kalau penceritaan menggunakan sudut pandang orang ketiga.

Mungkin bisa dibuat sudut pandang orang ketiga yang menceritakan Pri atau menceritakan Rai, secara bergantian. Sepertinya formula ini pernah digunakan Suarcani di novel Welcome Home, Rain atau Purple Prose kalau saya tidak salah ingat. Karena satu kejanggalan itu membuat saya terus bertanya-tanya sepanjang cerita, hingga dijelaskan di bagian akhir.

“Remaja yang kata orang masih kebingungan mencari jati diri. Tapi ya jadi remajanya jangan bodoh-bodoh amatlah. Kamu pasti tahulah, manusia nggak ada yang sempurna. Sebagus-bagusnya orang, pasti ada kurangnya. Tetapi apa ya kekurangan ini bisa bikin seseorang nggak bahagia seumur hidupnya?” (hal 142)

Meskipun begitu, novel ini wajib dibaca para remaja sekarang. Pesan yang dibawa sangat relevan dengan usia SMP-SMA. Bahwa mereka tidak perlu insecure dengan tubuh mereka. Perubahan itu akan terjadi, dan itu adalah hal yang wajar. Rasa tidak percaya diri hanya akan berujung dengan tidak maksimalnya remaja dalam mengeksplor kemampuan diri. Akibatnya, saat sudah dewasa nanti akan menyesali waktu yang sudah terlewati.

Suarcani juga mengingatkan kita untuk berbesar hati meminta dan memberikan maaf melalui novel ini. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Namun, kadang orang-orang terus membahas dan mengungkit kesalahan itu. Melalui seorang remaja, kita diminta belajar untuk ikhlas dalam meminta maaf atau memberi maaf.

“Inti utama dari bahagia itu sebenarnya adalah rasa puas. Jika puas terhadap apa yang kamu miliki hari ini, pasti bisa merasa bahagia. Nggak ada ekspektasi berlebih, nggak ada rasa kecewa ketika harapanmu nggak kesampaian.” (hal 142)

Akhirnya ulasan ini selesai jugaaa. Legaaa sekali. Asal tahu saja, saya sudah selesai membaca novel ini sejak 7 Maret 2020, dan baru mood menulisnya sekarang. Berantakan sekali mood saya untuk menulis dan membaca beberapa bulan terakhir. Novel ini saya beri 3,5 dari 5 bintang! Selamat membaca!

Judul                           : The Boy I Knew from Youtube

Penulis                         : Suarcani

Cetakan                       : Pertama, Februari 2020

Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama

Halaman                      : 256 halaman

ISBN                            : 978-602-06-3819-5

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: