[Review] Rule of Thirds – Suarcani: Belajar dari Masa Lalu (2016)
“Bagi saya, Rule of Thirds itu buka hanya prinsip dalam menentukan komposisi sebuah foto. Namun, juga prinsip untuk menentukan komposisi hidup.” (hal 261)
Pelakor. Mungkin istilah itu cukup populer beberapa waktu ini. Julukan itu merujuk pada seorang perempuan yang merebut pasangan orang lain. Dulu lebih sering disebut dengan selingkuhan. Tema perselingkuhan diambil dengan cara yang unik oleh Suarcani. Selama ini, kita selalu terpaku pada kisah si pelaku selingkuh, tapi abai pada dampak yang ditimbulkan. Pada novel ini, penulis mencoba menunjukkannya dengan gamblang.
Membaca novel ini, saya sedikit banyak teringat dengan Dua Garis Biru. Keduanya sama-sama menyampaikan dampak dari sebuah perbuatan negatif pada keluarga masing-masing. Bahwa perbuatan itu dapat dihindari demi masa depan yang lebih baik, tetapi nafsu mengalahkannya, sehingga membuat hancur masa depan. Formula yang sama saya temukan pada dua novel ini, meskipun tentu saja dengan eksekusi cerita yang berbeda.
“Cinta akan selalu memaafkan.” (hal 132)
Bercerita tentang Ladys, seorang perempuan cantik yang orang tuanya berpisah karena perselingkuhan. Ya. Papa perempuan itu mendapati istrinya selingkuh dengan pelatih senamnya. Sontak, mereka bercerai. Pria itu membawa putri semata wayangnya ke Korea Selatan. Ia tidak mau lagi berada di satu tempat yang sama dengan sang mantan istri.
Siapa sangka bila bertahun-tahun kemudian Ladys kembali lagi ke tanah kelahirannya, Bali. Kepulangannya kali ini dilakukan demi bertemu Esa, sang pacar. Selama ini mereka melakukan hubungan jarak jauh. Ia ingin selangkah lebih serius dalam menjalani hubungan dengan pria itu. Kepulangannya ini sekaligus ingin membuktikan pada papanya bahwa cinta sejati itu ada. Seperti Ladys, cinta sejatinya adalah Esa.
Namun, takdir berkata lain. Semua rencana-rencana yang ada di kepalanya buyar ketika mengetahui ia diselingkuhi pacarnya. Hal itu diperparah dengan bertemunya ia dengan Dias, si lelaki dingin yang sangat menyebalkan hingga membuatnya kesal. Kehidupannya di Bali menjadi semakin rumit. Raungan lembar masa lalu yang memaksa untuk dibuka juga mengusiknya, hingga mau tak mau, ia harus membuka dan berdamai dengannya.
“Sebuah ketertundaan hanyalah tipu muslihat waktu untuk memperdaya kita dalam jeda maya yang pada akhirnya membuat kita terlena untuk menghadapi penyelesaian.” (hal 252)
Rule of Thirds menjadi novel ketiga Suarcani yang saya baca. Novel ini menjadi favorit saya yang kedua setelah Purple Prose. Tema yang diambil penulis masih sama, yakni seputar keluarga dan hubungan romansa. Mungkin ini memang ciri khas Suarcani, yang sukses menggabungkan kedua topik tersebut dalam sebuah payung cerita yang unik dan menarik.
Karakter rekaan Suarcani selalu kuat hingga ke dasar. Satu hal yang saya suka adalah penggambaran pekerjaan tokoh yang tidak hanya sekadar tempelan. Justru, pekerjaan tokoh itulah yang menjadi nyawa dan benang merah dalam cerita. Pada Purple Prose, pekerjaan karakter sebagai karyawan di sebuah provider tampak menonjol. Pun dengan Welcome Home, Rain, yang menampilkan musisi dan penyanyi sebagai pekerjaan tokoh.
Pada novel ini, Suarcani melabeli tokohnya sebagai seorang fotografer. Penulis bisa membuat karakter tampak sangat meyakinkan dengan berbagai penjelasan terkait istilah dalam dunia fotografi. Bagi orang awam seperti saya, hal itu bisa menjadi wawasan baru. Namun, sejujurnya, saya nggak paham sama sekali dengan berbagai istilah yang disebutkan, meskipun sudah diberi catatan kaki sekalipun! Walaupun begitu, bagi mereka yang memang paham dengan fotografi, pastinya akan langsung terhubung dengan berbagai istilah itu.
Karakter dalam novel ini ada Dias, Ladys, Esa, dan Tyas. Namun, cerita tetap berfokus pada permasalahan Dias dan Ladys. Suarcani berhasil menghadirkan sosok lelaki yang dingin, kalem, dan pelit bicara di sini. Benar-benar peliiit bicara. Mungkin dialog dan narasi seputar cowok itu bisa berbanding jauh. Bahkan ketika ada satu bagian yang menceritakan Ladys dan Dias sedang berdua, proporsi dialog keduanya bisa sangat jomplang. Dias sering hanya menjawab pertanyaan dengan gumaman saja. Yah, tapi penyampaian ceritanya tidak membosankan, justru sangat menghibur.
Namun, rasanya bertemunya kedua karakter ini agak banyak kebetulannya. Mereka sama-sama memiliki latar belakang dari keluarga broken home, yang juga diselingkuhi pasangannya. Meskipun begitu, cerita masih tetap dapat dinikmati kok. Karena pertemuan mereka menjadi solusi permasalahan masing-masing.
Saya awalnya agak greget dengan Ladys yang bisa-bisanya bodoh dalam mengambil keputusan. Untungnya, karakter tokoh ini berkembang, sehingga diakhir kebodohan itu termaafkan dan bisa jadi pembelajaran.
“Entah lama atau sebentar, rasa yang tertelan dari pil kebohongan itu, pahitnya tetap sama. Hanya saja aku percaya, semakin sebentar kita mengulumnya, kita bisa punya banyak waktu untuk menata hari.” (hal 57)
Bali dan Suarcani adalah dua hal yang sepertinya sulit dipisahkan. Wajar, karena memang penulis tinggal di Bali. Pemberian setting yang cukup berbeda dari novel lain ini membuat saya mendapatkan sudut pandang baru tentang budaya dan tempat-tempat yang ada di sana. Apabila di Purple Prose penulis menunjukan Bali lewat berbagai budaya yang dilakukan sehari-hari, maka dalam novel ini, ia menunjukannya dengan langsung mengeksplor tempat tertentu.
“Apalagi yang paling menyakitkan dalam pengkhianatan selain menjadi yang tidak terpilih?” (hal 48)
Sempat saya membaca beberapa review yang mengatakan bahwa sudut pandang yang diambil dalam novel ini kurang jelas karena tidak ada penandanya. Namun, setelah saya baca sendiri, ternyata cukup jelas kok. Sudut pandang yang dipakai adalah dari orang pertama, yakni dari Dias dan Ladys, bergantian. Kuncinya adalah kata ganti yang digunakan. Apabila sedang menggunakan sudut pandang Dias, akan memakai kata ganti ‘aku’, sedangkan bila Ladys akan menggunakan kata ganti ‘saya’.
Sebenarnya, kata ganti yang dipakai Ladys ini menurut saya terlalu kaku dan tampak formal. Padahal dia sedang berbicara dengan teman, rekan kerja, bahkan pacar. Rasanya agak janggal bila benar-benar dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, mungkin saja alasannya adalah Ladys lama tinggal di Korea, sehingga ketika sampai di Indonesia terbiasa menggunakan kata ganti orang pertama yang formal. Atau mungkin saja penulis ingin pembaca membedakan sudut pandang yang dipakai.
“Memaafkan orang lain itu sama artinya kamu memaafkan diri sendiri. Tidakkah kamu sadar, dengan memendam kemarahan seperti ini pun kamu sebenarnya sudah berbuat salah?” (hal 182)
Pesan yang disampaikan novel ini begitu banyak. Salah satunya adalah untuk setia pada pasangan. Dampak perselingkuhan dapat dilihat dari Dias dan Ladys, bahwa tidak ada baik-baiknya. Mungkin memang akan mendapat kesenangan, tapi hanya sesaat, sedangkan pahit yang harus ditelan justru lebih banyak.
Pesan lain yang tak kalah penting adalah memaafkan. Kemarahan Dias pada orang tuanya membuatnya justru menyesal, karena tidak segera diredam dengan kata maaf. Dendam yang berkumpul dalam hatinya, malah menimbulkan situasi yang jauh lebih runyam dan sakit hati yang lebih parah. Ada satu kutipan menarik yang sempat saya catat:
“Semakin lama kamu memendam amarah, semakin kamu menunda datangnya bahagia. Tidak ada yang lebih melegakan ketimang bisa memaafkan orang lain. Sebelum semuanya terlambat.” (hal 184)
Buat kamu yang masih memendam amarah, lepaskanlah dengan cara memaafkan dengan tulus.
“Sebagai sahabat, dia memang melakukan tigasnya. Sahabat, seseorang yang tidak pernah marah jka saya lukai, tapi seseorang yang akan pertama marah jika saya melukai seorang yang lain.” (hal 216)
Mungkin itu saja review dari saya. Saya memantapkan diri akan menunggu novel Suarcani selanjutnya. Karena selama ini, saya tidak pernah kecewa dengan karyanya beliau. Untuk novel ini, saya beri 4 dari 5 bintang. Selamat membaca!
“Terkadang kita salah melangkah, salah memutuskan. Namun, bukankah dengan pernah salah, kia jadi tahu arah untuk menuju kebenaran?” (hal 134)
Judul : Rule of Thirds
Penulis : Suarcani
Cetakan : Pertama, 2016
Tebal : 280 halaman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-3475-2
1 comment found