[Review] Hadji Agus Salim – Haidar Musyafa: Kiprah Diplomat Nyentrik dari Bumi Minang
Novel biografi ini mengajak pembaca untuk mengikuti perjalanan hidup Masyhudul Haq alias Hadji Agus Salim, sejak lahir hingga akhir hayatnya. Putra Sutan Muhammad Salim dan Siti Zainab ini lahir di Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat pada tanggal 8 Oktober 1884. Sejak kanak-kanak, ia telah dikenal agamis, cerdas, dan kritis. Tak ayal bila Agus berhasil menjadi juara umum di ELS, mengalahkan anak-anak Belanda lainnya.
Setelah lulus dari ELS, Agus Salim mendapat beasiswa untuk melanjutkan pendidikannya di HBS Batavia. Hidup jauh dari orang tua selama bertahun-tahun, membuatnya menjadi pribadi yang mandiri. Apalagi ia sempat mengalami masa sulit pada awal menjadi siswa HBS. Putra bangsa asal Minang itu sempat dihina dan diolok-olok oleh siswa-siswa Belanda, karena dirinya adalah inlander. Bukannya menjadi ciut, tekadnya justru semakin kuat, sehingga ia dapat membungkam mereka dengan raihan prestasi yang cemerlang.
Pada satu titik, perjalanan Agus Salim dalam mengenyam pendidikan harus menemui jalan buntu. Selepas tamat HBS sebagai lulusan terbaik, dirinya justru harus menelan pil pahit. Mimpinya yang besar untuk kuliah di luar negeri harus pupus lantaran lamaran beasiswanya ditolak. Sempat beberapa saat menjadi pemurung dan penyendiri, pria itu akhirnya bangkit. Takdir membawanya bekerja di salah satu kantor Governemen dan melejitkan karirnya sebagai konsultan di Jeddah. Pada bagian ini, pembaca diperlihatkan fakta menarik mengenai hidup Agus Salim yang tak terduga dan jarang diketahui khalayak.
Paruh kedua buku, mengisahkan babak baru hidup Hadji Agus Salim. Sepak terjangnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia resmi dimulai saat dirinya bergabung dengan Sarekat Islam. Di sana, suami Zainatun Nahar itu bertemu dan berdiskusi dengan berbagai tokoh bangsa yang menginisiasi pergerakan, sebut saja Raden Mas Tjokroaminoto, Raden Mas Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdoel Moeis, dan Raden Mas Soeryopranoto.
Bermula dari anggota, Agus Salim perlahan-lahan dipercaya untuk menduduki posisi penting di Sarekat Islam. Pria itu aktif memberi solusi ditengah naik turun perkumpulan yang diikutinya. Tak hanya itu, ia juga diangkat menjadi redaktur di kantor surat kabar yang terkadang menjadi alatnya untuk mengkritik pemerintahan Hindia Belanda. Salah satunya, ketika menangani harian Hindia Baroe, pria itu mengecam tindakan penjajah yang berlaku sewenang-wenang terhadap rakyat dan kaum buruh (hal 321).
Kiprahnya berlanjut hingga masa persiapan kemerdekaan. Diplomat nyentrik itu diberi amanah sebagai anggota BPUPKI serta Panitia Sembilan. Setelah kemerdekaan, ia juga dipercaya untuk menduduki jabatan strategis dalam pemerintahan. Agus diminta oleh Soekarno untuk melakukan diplomasi dan menjalin kerja sama dengan negara-negara di Timur Tengah pasca terjadi agresi militer oleh Belanda. Kemampuannya dalam berdiplomasi diakui oleh banyak orang. Bahkan, Soekarno pernah mengatakan bahwa Hadji Agus Salim adalah The Old Man bangsa Indonesia, yang kata-katanya merupakan nasihat (hal 398).
Kisah hidup Agus Salim mengajarkan banyak hal, yakni ketaatannya pada ajaran agama, tanggung jawabnya pada keluarga, serta prinsipnya yang teguh dalam memperjuangkan nasib rakyat. Pria itu adalah potret pahlawan yang cerdas dan memiliki pemikiran-pemikiran modern. Kepiawaiannya menguasai sembilan bahasa asing yang tak diragukan lagi, mampu mengantarkannya meraih kesuksesan besar dalam melakukan berbagai misi diplomasi politik ke negara-negara tetangga (hal 8).
Pria itu juga dikenal sebagai sosok yang bijak, teguh, dan mampu berpikir tenang dalam situasi genting. Nasihatnya menjadi penting untuk menengahi perbedaan pendapat antara golongan muda dan golongan tua yang tak jarang terjadi dalam proses kenegaraan. Buku setebal 438 halaman ini menunjukan bahwa Hadji Agus Salim bukan sembarang putra Minang, tetapi merupakan seorang pemimpin dan ulama yang patut dijadikan teladan bagi generasi muda.
Judul : Hadji Agus Salim
Penulis : Haidar Musyafa
Cetakan : Pertama, Maret 2019
Penerbit : Imania
Tebal : 438 halaman
ISBN : 978-602-7926-48-6
Resensi ini sudah dimuat di Koran Jakarta pada hari Sabtu-Minggu, 28-29 Desember 2019
2 comments found