[Review] Dua Garis Biru – Lucia Priandarini (2019)
“Butuh seumur hidup untuk merencanakan dan menata hidup, dan hanya sedetik pilihan yang salah bisa meruntuhkan semuanya” (hal 44)
Secara umum, novel ini menceritakan tentang Dara dan Bima yang melakukan hal di luar batas. Akibatnya, mereka harus menanggung segala konsekuensinya, mulai dari berhenti sekolah hingga rencana masa depan yang terancam berantakan. Tak hanya itu, kedua orang tua mereka juga terkena imbasnya. Merasa gagal menjadi orang tua, menghadapi omongan tetangga, dan harus menelan pil pahit bahwa anak kesayangan justru menyalahgunakan kepercayaan yang telah diberikan.
Seluruh dampak nyata dari pacaran yang melebihi batas diuraikan dalam novel ini. Harapannya, orang tua dapat memberikan pendidikan seks pada putra putrinya. Remaja pun diharapkan dapat berpikir ulang tentang tindakan mereka, karena segala sesuatu akan mendatangkan banyak dampak, entah itu postif atau negatif.
“Tapi Dara sadar, kebebasan juga adalah penjara. Setiap pilihan tidak bebas dari konsekuensi.” (hal 25)
Dua Garis Biru adalah novel yang dibuat berdasarkan skenario film yang ditulis oleh Gina S. Noer. Tentunya kamu sudah pernah mendengar film ini telah tayang dan mendapatkan komentar positif para penontonnya. Kamu sudah nonton belum? Kalau saya sih belum, hehe. Oleh karena itu, saya beli novelnya. Sepertinya saya akan lebih menikmati kisah Dara dan Bima lewat novel ketimbang film.
Membaca novel ini, saya jadi teringat review dari para kritikus film. Saya pikir, seluruh komponen cerita yang ada di film dimasukkan semuanya ke dalam novel. Sebut saja strawberry, ondel-ondel, dan poster reproduksi. Tentu saja, Nik, ini kan adaptasi, hehe. Di kepala saya seperti terputar film Dua Garis Biru, versi imajinasi saya tentunya.
Karakter kedua tokoh utama terasa familiar, dan mudah ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Kepolosan mereka sangat tecermin dari perilaku dan dialog yang dilakukan. Sikap mereka dalam menghadapi masalah juga sesuai dengan umur mereka. Terasa sekali ketakutan mereka ketika Dara ketahuan hamil, ketika mereka berselisih paham, serta saat menghadapi berbagai tekanan dari orang tua.
“Bu, maafin Bima ya. Bima berdoa, kalau Bima masuk neraka, Ibu jangan sampai ikut.” (hal 180)
Saya suka sekali dengan dialog yang dilontarkan setiap tokoh. Kata-katanya selalu mengena dan bermakna. Contohnya adalah dialog Bima pada ibunya yang saya kutip di atas. Betapa polos dan rasa bersalah Bima begitu mengena. Anak yang dianggap tidak pernah serius dalam melakukan berbagai hal, ternyata dapat mengatakan hal menyentuh seperti itu.
Selain itu, ada beberapa sindiran yang diselipkan dalam novel ini.
“Bapak Bima basa-basi. Ia tahu anaknya, dan sebagian besar anak muda di kampung itu jarang ke masjid. Mungkin hanya saat magrib.” (hal 65)
“Ia bahkan tidak bisa bertanggung jawab atas tindakannya sendiri. Bagaimana mau bertanggung jawab atas orang lain?” (hal 49)
“Pada saat seperti itu, biasanya Bima mencari-cari pembenaran mengapa ia merasa sekolah bukan tempat yang nyaman untuknya. Sejujurnya, Bima merasa tidak punya alasan menyenangkan lain untuk berangkat sekolah. Bisa dibilang, ia sekolah karena anak-anak lain juga melakukannya.” (hal 9)
Meskipun begitu, saya merasa jalannya novel ini terasa sangat cepat. Yah, Dua Garis Biru hanya setebal 208 halaman saja. Saya baca sebentar, masuk klimaks, eh kok sudah selesai aja. Andai saja kehidupan Dara dan Bima selepas mereka memutuskan untuk bersama lebih digali lagi, menurut saya akan lebih menarik. Hal itu sekaligus dapat menjadi pembelajaran pada remaja bahwa menikah bukan hal yang mudah, apalagi menjadi orang tua, bebannya bisa berkali-kali lipat.
Mungkin karena novel ini ditulis berdasarkan film, sehingga isinya begitu singkat. Saya sangat memahami bila film menjadi singkat dan padat karena terbatas pada durasi. Harapan saya sih, novel ini benar-benar bisa detail. Dua Garis Biru ini bagus. Saya suka dialognya, penokohannya, amanatnya, alur ceritanya, tapi kok kurang detail saja dan terasa kilat, hehe.
Kisah Dara dan Bima diakhiri dengan bijak dan realistis oleh penulis. Yah, saya memaklumi, bahwa masa depan adalah sesuatu yang sangat penting, keberadaan putra mereka juga tak kalah penting. Kedua tokoh ini telah membuat pilihan terbaik untuk masing-masing. Saya cukup puas.
“Tidak ada yang paling membunuh selain rasa bersalah dan penyesalan.” (hal 56)
Saya pikir itu saya review saya tentang novel ini. Kalau menurut kamu bagaimana? Apakah kamu menonton filmnya saja atau novelnya saja, atau malah keduannya? Bagaimana pendapatmu? Bisa loh dituliskan di kolom komentar. Terima kasih sudah membaca.
Judul : Dua Garis Biru
Penulis : Lucia Priandarini
Cetakan : Pertama, 2019
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 208 halaman
ISBN : 978-602-06-3186-8
2 comments found