[Review] Bingkai Kenangan – Seplia (2018)

[Review] Bingkai Kenangan – Seplia (2018)

“Aku nggak mau dilupain dan nggak mau ngelupain siapa pun. Sekalipun itu hal yang pahit atau manis, aku ingin terus mengingatnya.” (hal 237)

Pada tahun terakhir Ellio di SMA Collase, ia disibukkan dengan berbagai hal. Mulai dari belajar untuk persiapan ujian, hingga mengikuti ekskul fotografi. Walaupun sudah kelas dua belas, ia masih diminta Bang Dean, pembimbingnya untuk tetap ikut datang bersama Noah, rivalnya di ekskul itu. Tiba-tiba saja, Bang Dean meminta mereka berdua untuk saling berkompetisi pada pameran foto sebagai perpisahan mereka berdua yang akan lulus.

Di sela kesibukannya itu, Ellio tak sengaja bertemu dengan Florissa. Cewek cantik itu cukup unik dan menarik perhatiannya. Bagaimana tidak? Flo seringkali melupakan hal-hal yang remeh, seperti nama temannya, letak kelas, dan ruangan-ruangan di sekolah. Tak ayal bila cewek itu sering tersesat di sekolahnya sendiri. Hingga tiba saat ketika Ellio menyadari bahwa Flo adalah objek foto yang cocok untuk kompetesi pameran foto.

Mereka semakin sering bertemu dan bertambah dekat. Rasa tertarik yang sudah ada, berganti menjadi rasa saling menyayangi di antara mereka berdua. Mereka pun jadian. Padahal, Ellio sudah punya pacar! Nah, bagaimana tuh?

“Saat ada orang lain yang ingin terus mengingat keluarganya, kenapa kita malah melupakan keluarga sendiri?” (hal 237)

Pada novel ini, Seplia memberikan jalan cerita yang menarik. Saya suka dengan penulis, karena tema yang diambil sederhana, tapi mampu dieksekusi dengan luar biasa. Bahkan dari tema seperti itu mampu menghadirkan konflik-konflik yang cukup menguras emosi. Sejak bab pertama, mudah sekali untuk masuk ke dalam cerita, hingga lekas ingin membuka halaman demi halaman selanjutnya.

Sebenarnya saya bingung nih mau reviewnya. Pada satu sisi, saya ingin mengulas lengkap, selengkap lengkapnya. Namun, di sisi lain saya nggak mau spoiler, karena kunci dari cerita ini adalah penyebab keanehan Flo. Jadi, review kali ini mungkin nggak bisa terlalu dalam. Karena jujur saja, perjalanan menuju “kunci” cerita inilah yang justru menjadi hal yang ditunggu-tunggu.

“Mengambil alih hidupmu sendiri tanpa campur tangan orangtua lagi sejak umur delapan belas tahun itu nggak mudah. Kebanyakan remaja masih perlu bimbingan orangtua dan keluarga karena pengalaman hidup mereka banyak.” (hal 92)

Oke, dimulai ya.

“Kalian maunya dapat yang baik-baik terus. Giliran dapat musibah aja kalian main sapu bersih, bukannya menghadapi dan bertahan.” (hal 94)

Mulai dari cover. Saya suka sekali, karena ini seolah menggambarkan potret Flo yang diambil Ellio. Seperti judulnya, gambar sampul itu seolah menjadi bingkai kenangannya Flo.

Karakter pada tokoh novel ini nggak ada masalah sama sekali. Kita bisa nih menemukan jenis-jenis orang seperti dalam novel ini di kehidupan nyata. Bahkan dengan permasalahan yang hampir mirip. Penjabaran karakternya juga mulus, walaupun nggak terlalu detail. Tapi menurut saya nggak masalah, biar imajinasi saya yang main untuk membayangkannya.

Bingkai Kenangan menggunakan alur maju. Pada setiap bab-nya di tandai dengan waktu. Misalnya nih ya, bab 1 menjadi 01.00, bab 2 menjadi 02.00, dan seterusnya hingga bab terakhir menjadi 00.00. Ini adalah sesuatu yang baru buat saya. Seolah menggambarkan perjalanan Flo sampai “waktunya”.

Secara keseluruhan, saya sangat menikmati membaca novel ini. Pada beberapa bagian saya dibuat sedih, tapi di bagian lain membuat saya terkikik. Apalagi ketika masuk setengah novel ke belakang, pembaca akan dibuat trenyuh. Banyak cerita yang akan menyentil diri kita, terlepas dari pernah mengalami permasalahan yang sama atau enggak.

Saya suka sekali dengan cara penulis memberikan sedikit demi sedikit clue tentang Flo. Jadi pembaca nggak sekonyong-konyong dikasih tahu. Semuanya bertahap, diperlihatkan beberapa petunjuk hingga jawaban yang sebenarnya pada setengah akhir novel.

“Betul kalau apa yang saya lakukan ini salah, tapi kenapa sih saya nggak diizinkan berduka agak sebentar? Seolah-olah setiap orang harus kuat, nggak boleh mengenang kesedihan. Ini hati, bukan batu.” (hal 255)

Sesungguhnya, (menurut saya) novel ini banyak konflik yang memerlukan penyelesaian yang berbeda-beda. Saya suka dengan penyampaian konfliknya, sayangnya ada konflik yang nggak diberikan akhir jelas dan tuntas.

Sebut saja masalah Ellio dan keluarganya serta Flo dan keanehannya. Saya merasa mereka nggak mendapatkan akhir yang tuntas, sehingga bisa menjadi pembelajaran bagi pembaca. Bahkan ketika novel ini rampung dibaca, saya langsung nyeletuk, “udah nih? Begini aja?”. Meskipun saya bisa membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, tetapi bukankah akan lebih baik kalau bayangan saya itu terjawab, apakah benar atau tidak.

Oh iya, ada beberapa dialog yang menurut saya terlalu kaku untuk anak SMA. Misalnya nih, pas ngebahas soal penyebab keanehan Flo. Padahal nih, percakapan mereka itu sebelumnya pakai bahasa gaul antarteman yang ringan. Hmm, nggak masalah sih. Tapi berasa saja perbedaannya.

“Saat semua orang di luar sana menyerangnya, jika keluarganya tetap berada di sisinya, dia pasti merasa bisa menghadapi kejamnya dunia.” (hal 92)

Banyak hal yang didapatkan dari novel ini. Nggak melulu soal cinta, novel juga mengajak pembaca memahami lebih jauh soal arti keluarga. Pembaca diajak untuk selalu bersyukur dengan apa yang diberikan Tuhan. Novel juga memberikan gambaran tentang manusia yang nggak pernah puas dan akibat pada hidupnya.

Penulis juga menyinggung tentang berteman tanpa pilih-pilih dan saling membantu. Walaupun secara nggak langsung, penulis menyampaikannya. Intinya, banyak sekali lah pelajaran yang didapatkan. Terutama, pembahasan soal penyebab keanehan Flo. Saya jadi tahu banyak tentang itu. Namun, yang paling kena adalah sentilan-sentilan terkait beberapa hal.

Sepertinya, saya sudah bertekad akan membaca karya Seplia yang lain. Saya suka sekali dengan Kelly on the Move dan Bingkai Kenangan. Mungkin lain kali saya akan membaca karyanya yang lain dan mengulasnya lagi. Untuk novel ini, saya beri 4 dari 5 bintang. Selamat membaca, Teman-teman!

“Aku nggak minta dilahirin sebagai abang. Aku nggak punya kewajiban ngasih contoh yang baik ke dia hanya karena aku abang dan dia adik. Setiap orang punya kewajiban ngasih contoh yang baik terlepas dia adik atau abang.” (hal 121)

Judul                           : Bingkai Kenangan

Penulis                         : Seplia

Cetakan                       : Pertama, 2018

Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama

Halaman                      : 280 halaman

ISBN                           : 978-602-061-362-8

4 comments found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: