[Review] Kelly on the Move – Seplia (2018)
“Bagi beberapa orang patah hati tak sesederhana itu.” (hlm 224)
Pacaran sudah sepuluh tahun, tapi mendadak diputuskan sepihak. Itulah yang dialami oleh Kelly. Dosen muda itu susah payah mencoba berpindah hati, tetapi tidak mudah rasanya mencari pengganti. Hatinya sudah terpaku pada Bobby. Bayangkan saja, sudah sepuluh tahun, mereka berproses bersama, dari yang tadinya bukan apa-apa menjadi apa-apa, tetapi kandas di tengah jalan.
Setiap hari, perempuan itu men-stalk sosial media Bobby dengan akun palsu. Ia ingin tahu apakah pria itu semenderita dirinya atau tidak. Namun, tampaknya tidak sama sekali, karena ia sudah memiliki penggantinya. Apalagi pacar baru Bobby selalu pamer tentang hubungan mereka di sosial media. Hal itu tak pelak membuat Kelly merasa kesal.
Permasalahan tidak berhenti di sana. Wanita itu diberi tanggung jawab yang besar oleh atasannya. Sebagai dosen junior, tentu ia hanya bisa menurut. Ia ditunjuk menjadi ketua pelaksana acara seni di kampus. Pada acara itulah, ia bertemu dengan Assen Hristand, seorang aktor terkenal.
Pria itu secara terang-terangan menunjukan ketertarikan pada Kelly. Sayang, perempuan itu terus mengelak. Luka yang ditorehkan oleh Bobby terlalu dalam. Bukan hal yang mudah untuk menyembuhkannya. Lalu, apakah Assen mampu menyembuhkan luka Kelly? Buku setebal 296 halaman ini akan menguraikan kisahnya.
Dia bukan cinta lagi, tapi nyaman sampai ke tulang. Itu yang bikin susah ngelepasin seseorang. (hlm. 208)
Memandangi seseorang yang kamu cinta tanpa bisa dimiliki itu sungguh menyakitkan. (hlm. 36)
Buku ini adalah novel pertama Seplia yang saya baca. Saya nggak ada ekspektasi apa pun saat membacanya. Yahh, tapi Seplia berhasil membuat saya penasaran untuk membaca novelnya yang lain.
Secara umum, saya suka premis novel ini. Seorang perempuan yang susah move on setelah diputus oleh pacarnya. Ya gimana coba mau move on? Lha sudah 10 tahun pacaran, berjuang sama-sama dari nol, tiba-tiba diputus begitu saja. Khayalan akan membangun mahligai pernikahan bersama, kandas sudah. Sepuluh tahun yang dijalani bersama juga rasanya sia-sia. Bahkan sampai ada yang mengatakan bahwa Kelly ini baik banget karena jagain jodoh orang selama itu.
Penulis berhasil menyampaikan rasa sakit hati itu pada pembaca. Bahkan saya juga sampai kesel juga sama Bobby. Tapi, lebih kesel lagi sama Kelly. Meskipun dia ini dosen muda yang cerdas, mandiri, dan berpikiran terbuka, dia ini susah sekali ketika diberi nasihat untuk berhenti stalking sosial media Bobby. Bukankah hal itu malah semakin menyakiti hatinya sendiri?
Memangnya gampang melupakan kenangan yang dirajut dengan seseorang yang amat dicintai selama bertahun-tahun? (hlm. 20)
Karakterisasi pada novel ini sangat manusiawi. Nggak ada tuh yang sempurna tanpa cacat. Bahkan beberapa dari tokoh dalam novel ini sangat merepresentasikan manusia di kehidupan nyata. Misalnya Maira, pacar Bobby yang baru. Dia hobi sekali membuat caption seolah ingin menggurui para follower-nya tentang agama. Padahal, dia sendiri nggak religius-religus amat. Pasti banyak deh tuh yang begitu di luar sana.
Kemudian Kelly. Mungkin bagi beberapa pembaca, ada yang gemas dengan tingkah perempuan itu. Namun, buat saya itu lumrah. Melupakan pria yang selama sepuluh mengisi hati itu nggak semudah itu, Gaes. Meskipun Kelly ini tipe perempuan yang bisa dibilang punya semuanya, cantik, mapan, mandiri, dan cerdas. Tentu dengan ia diputuskan sepihak, itu menimbulkan tanda tanya yang besar. Apakah ada yang salah dengannya hingga Bobby memilih untuk mengakhiri hubungan mereka? Padahal bila dipikir kembali, Maira (pacar Bobby yang baru) tidak secantik Kelly.
Secara umum sih, nggak ada tokoh yang menarik perhatian saya. Entahlah, tapi seperti ada yang kurang “ngena” aja karakter pada tiap tokoh. Yang bikin kesel ada. Tapi yang membuat saya kepikiran setelah menamatkan buku ini sepertinya nggak ada.
Memang kelihatan remeh. Kadang, batu kecillah yang membuat kita jatuh dan tersandung karena nggak tampak sama mata. Kalau batu besar, jelas kita hindari dan antisipasi. (hlm. 104)
Melalui novel ini, saya jadi punya bayangan bagaimana rasanya menjadi dosen muda. Menurut saya, novel ini menawarkan sesuatu yang baru, yakni mengulik pekerjaan seorang dosen. Mungkin ada novel lain yang tokohnya diberi pekerjaan serupa. Tapi, novel ini bisa membuat pekerjaan ini nggak sekadar menjadi pelengkap tokohnya agar si tokoh ini menjadi karakter yang komplit. Jalannya alur cerita ini bisa bersisian dengan pekerjaan tokoh. Justru pekerjaan tokoh inilah yang menjadi pondasi utama jalannya cerita.
Kadang, bukan orang baru yang bisa menyembuhkan luka kita, tapi diri sendiri. (hlm. 113)
Dialog antar tokoh sangat menghibur. Saya suka tik tok antara Cris dan Kelly serta Tere dan Kelly. Candaan mereka yang tajam dan rawan menyinggung perasaan orang, justru menunjukan kalau persahabatan mereka itu udah kental banget. Suka banget deh pokoknya.
Oh, iya, sampai kelupaan. Saya suka sama gambar sampulnya. Sampulnya ini sangat menggambarkan Kelly yang berusaha berpindah hati. Good job deh!
Lo punya pilihan untuk nggak meratapi kesedihan ini lagi. Jangan trauma gitu. Nggak semua laki-laki sama brengseknya kayak mantan lo itu. (hlm. 154)
Mungkin segitu aja review saya kali ini tentang Kelly on the Move. Rasanya sangat singkat bila dibandingkan dengan review saya yang lain. Saya beri 3,5 dari 5 bintang untuk novel ini. Sampai jumpa di review saya selanjutnya!
Judul : Kelly on the Move
Penulis : Seplia
Cetakan : Pertama, 2018
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 296 halaman
ISBN : 978-602-618-104
1 comment found