Cerita Anak – Komandan Jempolan
Pernahkah kamu menjadi petugas upacara saat masih sekolah? Wah, tentu saja pernah ya. Perasaanmu itu mungkin bisa terhubung dengan Tegar, anak kelas empat sekolah dasar yang juga ditunjuk menjadi petugas upacara. Akan tetapi, sebelum menjalankan tugasnya, ada drama yang terjadi dan membuatnya menangis. Apakah itu? Yuk, baca ceritanya di bawah ini!
Komandan Jempolan
Senin pagi ini belum ada pukul setengah tujuh, tetapi Tegar sudah tampak kuyu. Ia yang biasanya menyapa teman-teman dengan ramah, kini hanya duduk di bangkunya sambil menahan tangis. Tangan kanannya memegangi pundak kirinya yang kecil. Angga yang melihat keanehan itu, menghampirinya lalu bertanya, “kamu kenapa?”
Tegar melepas tangannya yang ada di pundak. Seragamnya sobek cukup lebar, hingga memperlihatkan bahunya yang kecil. Matanya semakin merah, tangisnya mulai pecah. Teman-temannya di kelas mengerumuninya penuh rasa ingin tahu.
“Tadi Fira menarik seragamku hingga sobek,” kata Tegar terbata-bata di sela isaknya. Seragamnya yang sudah lusuh terlihat semakin mengenaskan.
Angga menatap temannya itu kasihan. Tegar memang pernah bilang kalau seragamnya belum pernah ganti sejak kelas satu. Padahal sekarang mereka sudah kelas empat. Mungkin jahitan seragamnya sudah tak sekuat dulu.
Tiba-tiba saja Fira mendekat ke arah mereka lalu minta maaf sambil menangis. Dia takut sekaligus ikut sedih melihat temannya terisak seperti itu karena ulahnya. Padahal selama ini Tegar dikenal sebagai siswa yang pintar, murah senyum, jarang menangis, dan tidak mudah marah.
“Maafkan aku, Tegar. Sungguh aku tidak sengaja saat bercanda tadi. Aku tidak tahu kalau seragammu bisa sampai sobek. Aku akan menggantinya,” katanya penuh penyesalan. Tegar tak menanggapi karena masih saja menangis.
Di tengah hujan tangis itu, Pak guru memanggil petugas upacara untuk lekas ke lapangan. Suasana menjadi gaduh. Pasalnya hari ini adalah jatah kelas empat menjadi petugas upacara.
“Bagaimana ini? Tegar kan jadi pemimpin upacara!” bisik salah satu anak.
Angga melihat Tegar masih menangis tersedu-sedu. Ia jadi paham alasan Tegar bisa sampai seperti itu. Hari ini Tegar harus bertugas sebagai pemimpin upacara. Bagaimana bisa dia tampil dengan kondisi seragam yang sobek? Dia pasti malu dan takut teman-teman menertawakannya.
Angga lantas membuka seragam putihnya dengan cepat lalu menyerahkannya pada Tegar. Anak itu menatap Angga bingung.
“Pakai seragamku. Kamu harus menjadi pemimpin upacara hari ini. Seragammu biar aku pakai, sepertinya muat,” katanya sambil tersenyum.
Isak Tegar sedikit berkurang, lalu bertanya pada Angga, “apa tidak masalah?”
“Tentu tidak. Aku hari ini tidak ikut bertugas, jadi tak akan ada yang memperhatikanku. Kelas kita harus menjadi petugas upacara yang luar biasa hari ini!” kata anak itu begitu menggebu-gebu. “Sekarang hentikan tangismu dan segera ganti baju. Kamu harus melakukan persiapan di lapangan.”
Tegar yang merasa bertanggung jawab langsung menyeka air mata dan ingusnya. Ia ambil seragam Angga lalu menyerahkan miliknya. Mereka bertukar seragam. Ia memakai seragam itu dan atributnya dengan cepat, kemudian mencuci muka. Tegar tak ingin ada satu pun peserta upacara yang mengetahui bahwa ia baru saja menangis. Setelah minum air sedikit, ia bergegas pergi ke lapangan bersama petugas yang lain.
“Terima kasih, Ngga. Kamu baik sekali,” katanya pada Angga yang tengah mengancingkan seragam. Temannya itu mengangguk memberinya jempol tanda penyemangat.
***
Tak lama kemudian, upacara dimulai. Kegiatan rutin hari Senin itu berlangsung dengan khidmat. Petugas upacara dari kelas empat menjalankan perannya dengan luar biasa hingga bendera bisa berkibar di tiang tertinggi.
Tegar pun menjalankan tugasnya dengan baik. Tak ada yang tahu bahwa dia sempat menangis sesaat sebelum upacara dan seragam yang ia pakai bukanlah miliknya. Bahkan peserta upacara banyak yang kagum pada Tegar dan terang-terangan memujinya.
Setelah upacara selesai, ibu kepala sekolah mendekati Tegar lalu berkata, “Tegar, penampilan kamu bagus sekali. Kamu memang komandan jempolan! Kamu sangat berani dan percaya diri. Suaramu juga lantang. Besok kalau ada lomba upacara, kamu jadi komandan ya.”
Tegar tersenyum gembira mendengarnya.
“Ciee, komandan jempolan,” goda Angga yang tak sengaja mendengar percakapannya dengan ibu kepala sekolah.
“Terima kasih, Ngga. Karenamu aku bisa menjadi pemimpin upacara dengan baik,” ucapnya tulus, “setelah ini seragammu akan kukembalikan.”
“Siap, Pak komandan!” sahut Angga sambil memberi hormat. Keduanya tertawa bersama lalu berjalan dengan riang menuju kelas.
Berbah, 06 September 2022
Cernak ini sudah dimuat di Kedaulatan Rakyat pada hari Jumat, 9 September 2022
Baca juga: Tata dan Tas Barunya