[Cerpen] Pengabdian
“Bagaimana nasibku setelah ini? Semoga Gusti masih memberi rezeki.”
Samar-samar kudengar gumam seorang pria tua yang baru saja keluar dari ruang ujian. Wajahnya lesu, matanya redup menahan kecewa. Tangannya yang keriput tampak bergetar. Langkahnya tertatih, seolah masa depan berubah menjadi lebih suram dari sebelumnya.
“Saya bantu nggih, Pak,” tawarku yang melihatnya agak limbung. Aku menuntunnya untuk duduk di bangku terdekat. Di sekitar kami, masih wara-wiri peserta tes lainnya yang memasang ekspresi gegetun. Bahkan di dekat pintu keluar, seorang perempuan sedang menelpon keluarganya dengan mata berkaca-kaca menahan tangis.
Setelah berbasa basi, kuketahui nama beliau adalah Pak Sardi. Walaupun suasana hatinya mendung, pria yang memakai setelan putih hitam itu berusaha menegakkan bahunya dan berbincang denganku dengan ramah. Kuberikan padanya sebotol air mineral yang tadi kubeli sebelum berangkat ke lokasi ujian. Pria yang rambutnya sudah didominasi warna putih itu menenggaknya cepat-cepat. Melihatnya, aku menjadi teringat Bapakku yang sudah tiada. Rasanya tak tega, seseorang yang seharusnya sudah bisa tersenyum menikmati masa tua, justru masih mempertaruhkan nasib yang masih terombang-ambing.
“Mungkin memang sudah takdir saya harus menjadi GTT seumur hidup, Mas Arif. Guru Tidak Tenang, hehehe,” kelakar Pak Sardi padaku.
Ternyata ucapannya tadi bukan gurauan belaka. Pak Sardi adalah guru honorer agama Islam di salah satu sekolah negeri. Beliau sudah 30 tahun mengajar, tetapi nasibnya sangat memilukan. Layaknya bola ping pong, Pak Sardi dilempar dari satu sekolah ke sekolah lain karena adanya guru PNS baru yang lebih muda dan energik. Karena status kepegawaian yang tak diakui sebagai pegawai pemerintah, membuat hatinya diliputi kecemasan menanti kejutan setiap tahunnya. Dia harus siap untuk berbagai situasi yang berubah mendadak. Tak pula boleh protes dengan keadaan. Ia hanya bisa menjalani suratan dari Yang Maha Kuasa.
“Gaji saya memang lumayan, Mas. Tidak hanya cukup, tetapi sering kurangnya, hahaha,” tawanya penuh ironi. “Lima ratus ribu sebulan. Kadang harus diterimakan dua atau tiga bulan sekali. Jadi sepulang mengajar biasanya saya ngojek.”
“Eh, memang nasib. Sekarang ojekan semakin sepi karena ada ojek online. Mau ikut bergabung tapi eman-eman uangnya kalau buat beli hape canggih. Lebih baik untuk makan dan bayar kuliah dua anak saya. Saya cuma mampu beli hape bekas, yang penting sekarang bisa buat mengajar daring.”
Aku menimpalinya dengan senyum miris. Bagaimana bisa menghidupi keluarganya dengan lima ratus ribu rupiah? Pun penghasilan menarik ojek yang tak pasti jumlahnya. Bapakku yang bekerja sebagai buruh pabrik saja kelimpungan mengatur gaji satu setengah juta per bulan, sehingga harus pinjam sana sini agar dapur tetap mengepul. Hal itu membuatku bertekad semaksimal mungkin untuk mengubah nasib keluarga menjadi lebih baik.
“Tapi mau bagaimana lagi? Bapak senang berbagi ilmu, suka bertemu anak-anak. Mungkin sudah panggilan hati, jadi mau berapapun itu dihargai rasanya tak masalah. Uang bisa dicari, tapi kesempatan untuk mengabdi rasanya tak semua orang memiliki,” lanjut Pak Sardi. Mata tuanya menerawang, membayangkan siswa yang sudah setahun lebih tak ia jumpai.
Aku tersenyum sumir. Selama ini aku berupaya menjadi abdi negara agar mempunyai kehidupan yang aman dan nyaman. Tak masalah menjadi guru, meskipun itu sebenarnya bukan keinginanku. Alih-alih mengabdi, justru perut sendiri yang sejak awal selalu kuniatkan dalam hati. Bagaimana nasib muridku nanti?
Bertemu Pak Sardi adalah tamparan telak dari Tuhan. Aku yang dinyatakan lulus ujian, nyatanya tak benar-benar lulus tes ketulusan.
Berbah, September 2021
Wening Niki Yuntari, lahir di Sleman pada bulan Juni. Menulis cerpen, puisi, dan resensi. Tulisan alumnus Universitas Negeri Yogyakarta ini telah dimuat di media cetak dan daring.
Cerpen ini telah dimuat di Kedaulatan Rakyat pada hari Jumat, 1 Oktober 2021
Baca juga: Cerpen – Kapan Engkau Menjemputku?