Review: Selamat Tinggal – Tere Liye (2020)

Review: Selamat Tinggal – Tere Liye (2020)

Narasi Tentang Pembajakan yang Sering Dinafikan

Saat ini, pembajakan adalah salah satu masalah serius dalam industri kreatif. Baik buku, film, atau lagu, bajakannya diperjualbelikan secara bebas. Bahkan dalam kasus tertentu, semua itu dibagikan gratis dengan dalih meningkatkan literasi atau sekadar hiburan untuk masyarakat dengan bujet minimum. Saat dimatikan satu, selalu saja tumbuh seribu, sehingga menciptakan siklus yang tak ada habisnya.

Tere Liye adalah salah satu penulis yang gencar menumpas para pembajak buku. Lewat akun sosial media miliknya, dia memberikan edukasi tentang perbedaan buku asli dan repro alias bajakan. Pun berulangkali memperingatkan para pembajak beserta marketplace yang sering menjadi lapak pemasarannya. Meskipun begitu, usahanya tak jua membuahkan hasil. Buku repro masih beredar luas, seolah itu adalah hal yang lumrah.

Buku ini adalah buah kedongkolan Tere terhadap para pembajak. Melalui kisah Sintong Tinggal, seorang mahasiswa abadi sekaligus penjual buku bajakan, Tere melemparkan fakta-fakta yang selama ini coba dinafikan banyak orang. Bahwa pembajakan tak hanya mendulang kerugian untuk penulis, tetapi juga pihak di balik terbitnya sebuah buku. Ironisnya, oknum-oknum tersebut justru bersatu padu menumpas para penegak keadilan.

Tokoh yang Kontradiktif

Kisah dalam buku menjadi unik, ketika karakter utamanya justru dibuat sangat kontradiktif. Selain menjadi penjual buku bajakan, Sintong juga merupakan penulis ulung yang tulisannya sudah melanglangbuana di berbagai koran nasional. Lelaki itu aktif dalam kegiatan kepenulisan di kampus, dan kerap diminta menjadi mentor bagi juniornya. Namun, demi kelangsungan perkuliahan dan utang budinya pada sang paman, dia tetap bertahan menjaga toko.

Saat itulah, dia bertemu dengan Jess dan Bunga, adik tingkat yang di kemudian hari menuntun Sintong ke sebuah dunia baru yang mengetuk nurani. Perjumpaan itu bagai titik mula peluru ditabung dalam senjata yang siap diluncurkan pada waktu yang tepat. Belum lagi Mawar Terang Bintang hadir kembali mengusik hidupnya dan membawa sebuah masalah yang memaksanya untuk menentukan langkah.

Seluruh elemen dalam buku ini menjadi sebuah rangkaian yang utuh. Karakter yang disuguhkan juga tak ada yang mubazir. Masing-masing memiliki porsi yang tepat untuk menunjukan bahwa pelaku pembajakan tak mengenal latar belakang. Baik akademisi, tenaga profesional, bahkan selebgram sekalipun. Semua dilakukan semata untuk mengeruk keuntungan, tetapi tutup mata pada kerugian pihak lain yang justru lebih berhak.

Korelasi dengan Sejarah

Novel ini membawa beberapa subkonflik yang bermuara pada samudera yang sama. Subkonflik yang menurut saya apik yakni mengenai tugas akhir Sintong. Lelaki itu terus didesak oleh dosen pembimbingnya agar lekas menyelesaikan skripsi dalam waktu kurang dari enam bulan. Problem yang terkesan biasa ini, diracik oleh Tere menjadi sebuah kisah menarik, menginspirasi, sekaligus mengenalkan tokoh yang selama ini hilang dari sejarah.

Ialah Sutan Pane. Sastrawan yang tak banyak dikenal ini, dihadirkan dalam cerita. Tere menuliskan kisah hidupnya dengan menambah bumbu fiksi ke dalamnya. Meskipun dikisahkan secara fiksi, secara garis besar alurnya tetap sama seperti fakta. Penulis begitu lihai menyambungkan satu fakta dengan fakta yang lain sehingga membentuk rangkaian cerita yang menarik dan penuh makna.

Setop Pembajakan!

“Kalau Pram pantas mendapat penghargaan tinggi, kenapa kamu menjual buku bajakannya?” (hal 13). Sindiran itu telak dilontarkan penulis pada pembacanya pada awal novel. Betapa sastrawan sekelas Pram saja dibajak. Apalagi buku-buku lainnya?

Novel tak hanya menyoroti dampak pembajakan dari sisi penulis saja, tetapi juga orang-orang yang berada di balik kegiatan haram tersebut. Betapa terorganisirnya seluruh kelangsungan hidup toko buku bajakan serta percetakannya menjadi sangat ironis. Apalagi kini pemasaran tak hanya dilakukan secara luring, tetapi juga daring, yang memungkinkan dapat meraup pembeli lebih luas.

Sampai akhir cerita, Tere Liye seolah enggan berhenti menembakan senjata berupa fakta-fakta pahit pada pembaca. Semakin ke belakang, peluru yang dilesakkan semakin masif. Satir ini tentunya menyadarkan bahwa selama ini kita hidup dalam lingkaran pembajakan, tetapi coba memungkirinya.

Keputusan untuk menggunakan barang original sebenarnya mudah, tetapi sering berbenturan dengan kondisi kantong yang seringkali kering. Namun, keputusan itu akan menyelamatkan banyak nyawa, seperti yang ditunjukan dalam buku setebal 360 halaman ini.

Baca juga: Investapedia – Aqida Sohiha

Identitas Buku

Judul               : Selamat Tinggal

Penulis             : Tere Liye

Cetakan           : 2020

Tebal               : 360 halaman

Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama

ISBN                : 978-602-064-782-1

Resensi ini telah dimuat di Majalah Pewara Dinamika UNY Volume 20 Nomor 49 Edisi April Mei 2021

4 comments found

  1. Buku karya Tere Liye yang ini memang belum saya baca, tapi saya percaya kualitas ceritanya pasti bagus. Soalnya beliau dikenal sebagai penulis yang sering memadukan antara nilai humanis dan dramatis. Baru-baru ini malah lebih banyak bermain di cerita yang memuat unsur sci-fi. Tapi, novel favorit beliau menurut saya masih: Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin

    1. Halo, Kak Adin. Terima kasih sudah mampir.
      Buku Tere Liye memang bagus-bagus. Apalagi semakin ke sini, tema-tema yang diambil tambah menarik.
      Kalau saya pribadi, buku Tere Liye yang kurang saya sukai justru Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin dan Sunset untuk Rosie 😀 Tapi nggak papa namanya juga selera ya.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: