[Cernak] Gara-Gara Hujan
Sore ini, Dita tampak murung. Ia duduk memandangi hujan deras di luar lewat jendela. Anak itu sedih sekali, karena rencana untuk bermain dengan teman-temannya harus batal.
“Hujan, kapan kamu reda? Aku ingin bermain dengan teman-teman,” katanya lesu.
Ibu yang mendengar itu hanya tersenyum sembari mengelus rambut putrinya.
“Dita tahu tidak? Hujan ini adalah hujan pertama kita sejak… hmm mungkin delapan bulan ini,” anak yang masih cemberut itu menggeleng lemah.
Ibu tersenyum hangat lalu menjelaskan, “kamu pernah lihat sawah kakek? Tanahnya retak-retak, kehausan, saking lamanya tidak dialiri air.”
“Halaman rumah kita juga begitu, Bu?” Ibu mengangguk mantap.
“Hujan adalah anugerah dari Tuhan. Kamu jangan bersedih karenanya. Lagi pula, besok Dita masih bisa bermain dengan teman-teman kan?”
“Ibu benar. Seharusnya aku bersyukur.”
***
Malam tiba, hujan sudah reda. Hawa dingin mulai terasa. Namun, Dita tetap harus belajar dan mengerjakan PR. Kali ini, ia ditemani oleh ayah yang beberapa saat lalu baru pulang kerja.
“Yah, itu apa? Kenapa jumlahnya banyak sekali?” tanya Dita di sela penjelasan ayah.
Anak itu melihat sesuatu berterbangan. Hewan itu seperti capung, tapi dengan ukuran yang lebih kecil. Sayapnya berwarna coklat muda, sedangkan badannya berwarna coklat tua. Mereka terbang mengerumuni lampu di ruangan itu. Namun, ada juga yang berjatuhan di lantai.
“Oh, itu laron, Nak,” kata ayah.
“Laron?” tanya Dita yang belum pernah mendengarnya.
“Iya. Laron biasanya hanya muncul pada awal-awal musim hujan seperti sekarang.”
“Kenapa hanya muncul pada waktu tertentu saja?”
“Coba Dita tebak, sarang laron letaknya di mana?” ayah tampak mulai antusias.
Dita menggeleng tidak tahu. Mendengar nama hewan itu saja baru kali ini.
“Di bawah tanah, Nak. Ketika musim kemarau tanah kering, laron-laron ini terbiasa dengan suhu di bawah tanah yang juga ikut hangat. Akan tetapi, suhu itu tiba-tiba berubah lembab dan dingin ketika musim hujan tiba. Karena belum bisa beradaptasi, mereka keluar dari sarang dan mencari tempat yang lebih hangat.”
“Oh! Pantas saja laron-laron itu suka sekali berkerumun di lampu yang menyala, Yah!”
“Benar sekali. Anak ayah pintar ya,” puji ayah sambil mengelus rambut putrinya. Teringat sesuatu, sang ayah melanjutkan penjelasannya. “Dita tahu tidak? Sewaktu masih kecil, ayah suka sekali makan laron. Rasanya enak dan….”
“Ayah makan laron?” Mata anak itu terbelalak karena terkejut. Ia tidak bisa membayangkan rasanya ketika laron itu dimakan.
“Iya. Dulu, orang sering memakannya mentah. Tak jarang juga dibuat peyek. Dita mau? Nanti ayah minta tolong ibu buatkan.”
Bocah itu bergidik ngeri membayangkan hewan kecil itu masuk ke mulutnya. Apalagi setelah melihat kerumunan laron semakin banyak mengerubungi lampu ruangan tempatnya belajar. Beberapa sayap mereka jatuh, membuat lantai kotor. Melihat itu, ayah berdiri kemudian mematikan lampu.
“Loh, Yah? Kok dimatikan sih?”
“Agar laron-laron itu pergi dari sini, Nak. Kamu lihat sendiri kan kalau itu mengganggumu belajar karena lampu menjadi tidak seterang tadi. Lagi pula, lantai sudah kotor terlalu banyak sayap mereka yang berjatuhan.”
“Memangnya ngaruh, Yah?”
“Lihat saja sendiri.”
Setelah mematikan lampu, ayah membuka pintu depan lebar-lebar. Sayup-sayup dapat Dita lihat satu per satu laron terbang menuju sumber cahaya yang baru, yaitu lampu teras depan. Bisa dipastikan hampir seluruh laron di ruangan itu sudah habis berpindah tempat setelah menunggu beberapa saat.
“Wah! Benar-benar hilang, Yah! Laronnya pindah semua!” pekik Dita sesaat setelah sang ayah menutup pintu depan dan menghidupkan kembali lampu ruangan. Di sana hanya tersisa sayap-sayap yang rontok di lantai, kursi, dan meja.
“Iya, Nak. Sekarang Dita mau bantu ayah menyapu lantai?”
“Tentu, Yah!” jawab Dita penuh semangat.
Akhirnya Dita menyadari bahwa ternyata hujan tidak hanya membuat tanah di sawah kakek tidak retak-retak lagi, tetapi juga memunculkan hewan yang belum pernah Dita tahu. Ia berterima kasih dalam hati karena hujan telah memberikan manfaat dan pelajaran.
1 comment found