Menilik Fakta Pembelajaran Selama Pandemi
“Enak ya, jadi guru waktu pandemi seperti sekarang. Nggak usah ngajar! Kan yang ngajar sekarang orang tua, bukan guru!”
Pernahkah kamu mendengar celetukan seperti itu? Mungkin ada banyak orang yang mengatakan demikian. Mengajar kala pandemi dirasa sangat menyenangkan. Akan tetapi nyatanya tidak semudah itu. Telaahlah lebih dalam, kemudian lihat kerumitan di dalamnya.
Bayangkan saja, guru harus memastikan muridnya paham materi yang diajarkan, tapi tidak dengan tatap muka langsung. Mungkin untuk guru muda bisa terbantu dengan adanya media video, internet, dan lainnya. Namun, beda ceritanya dengan guru yang sudah sepuh, mereka pastinya cukup kesulitan.
Pandemi: Transformasi Orang Tua menjadi Guru
“Saya itu sampai tobat ngajarin anak saya, Bu. Suruh belajar nggak mau. Maunya main terus.”
Banyak saya dengar keluhan dari orang tua dan wali. Pasalnya, pandemi memaksa mereka untuk mendampingi anak belajar. Ayah bunda harus berubah menjadi guru yang digugu dan ditiru oleh buah hatinya. Padahal, mereka tak terlalu paham juga dengan materinya, karena semakin ke sini pelajaran dianggap semakin sulit.
“Bagaimana bisa saya mengajari anak saya padahal tidak punya background pendidikan sebelumnya?” keluh salah satu orang tua.
Permasalahan bertambah dengan anak yang sulit dikendalikan. Dengan berbagai tren yang menggandrungi anak seperti sepedaan, layangan, dan yang lainnya, membuat semuanya semakin sulit. Di rumah, anak tidak terikat peraturan tertulis apa pun, sehingga membuat mereka bebas untuk melakukan semua yang diinginkan.
Misalnya saja, saat sekolah terdapat aturan harus masuk pukul 07.00. Aturan itu tak berlaku ketika belajar dari rumah dilakukan. Tak ada lagi tata tertib yang mengikat, sehingga anak bebas untuk menentukan waktu bangun tidur, mengerjakan, atau mengirimkan tugas. Akibatnya, kebiasaan yang sudah terbentuk sejak mulai sekolah, ambyar seketika.
Anak-anak menjadi bertindak semaunya. Apalagi ketika orang tua sulit mengendalikan anak sendiri, segalanya menjadi lebih sulit. Ayah ibu memiliki kesibukan sendiri, sedangkan setiap hari selalu ada tugas baru yang diberikan guru untuk dikerjakan. Benturan tersebut seringkali membuat orang tua kewalahan untuk mengatasinya.
Selesaikan dengan Cara Instan
Saya temui beberapa kali, tugas siswa dikerjakan oleh ayah bundanya. Apabila ditanya sebab menuliskannya, orang tua sering menjawab bahwa anaknya tidak mau menulis, maunya main terus, dan yang lainnya. Akan tetapi, apakah hal itu bijak untuk dilakukan dan membenarkan sikap yang diambil?
Kita semua dalam kesulitan. Yah, tentu saja. Siapa yang tidak terkena dampak pandemi yang sudah sepuluh bulan membersamai kita? Namun, jangan sampai kita kalah dengan virus korona tersebut. Mengerjakan tugas sekolah anak adalah salah satunya. Kalah oleh keadaan yang menuntut untuk menuntaskan kewajiban baru.
Ketika mengerjakan tugas buah hati, nantinya akan ada yang merasa rugi. Siapa? Ya orang tua dan anak itu sendiri. Anak jadi tidak mandiri dan melalaikan tanggung jawabnya. Tujuan pembelajaran juga tak maksimal tercapai. Satu hal yang pasti, hasilnya adalah kebohongan yang diciptakan demi rentetan nilai memuaskan dalam rapor nanti.
“Toh, ada ayah yang nanti ngerjain. Aku main dulu ah!”
Kebingungan Guru
Siapa yang menyangka bahwa guru juga memiliki kekalutan serupa? Konsep sering tak sampai pada siswa sesuai yang diharapkan. Nilai ujian jomplang, ada yang seratus semua, tetapi ada juga yang skornya konsisten di bawah tiga puluh. Belum lagi ada siswa yang tidak pernah mengumpulkan tugas sejak awal hingga akhir.
Rasa-rasanya, guru ingin segera membenarkan konsep yang keliru itu. Namun, apa daya? Jarak memisahkan keduanya. Percayalah bahwa tak ada yang bisa mengalahkan efek dari perjumpaan secara langsung. Materi langsung sampai pada siswa. Apabila ada yang salah langsung dibenahi. Kalau kurang paham langsung diajari. Sayangnya, sekarang tidak bisa seperti itu.
Pemberian materi juga dipadatkan, sesuai KD esensial. Semuanya dilakukan agar nantinya siswa tidak stress selama belajar di rumah. Setiap hari diberikan soal kurang dari sepuluh nomor, dengan tenggat waktu pengumpulan yang bervariasi. Guru harus putar otak agar materi yang diberikan tetap sesuai dengan tujuan pembelajaran, tetapi tidak membebani siswa.
Mengembalikan Fitrah
Mungkin pandemi ini adalah salah satu teguran dari Tuhan agar kita mengembalikan semuanya seperti semula. Mendidik dan mengajar anak adalah tanggung jawab utama orang tua.
Akan tetapi, sering kita temui banyak ayah bunda yang memasrahkan buah hatinya pada sekolah. Padahal tiada artinya usaha sekolah, tanpa dukungan dari orang tua yang mendidik anak di rumah.
Kerjasama yang sempat hilang itulah kini mulai dibangun kembali. Banyak orang tua mulai sadar dan paham kemampuan anaknya. Karena, ketika di sekolah tentu ada ayah ibu yang kurang puas dengan hasil belajar buah hatinya dan protes ketika penerimaan rapor tiba. Padahal rapor itu sudah menjelaskan sejauh mana kemampuan siswa dalam belajar di sekolah.
Semoga titik balik oleh pandemi ini perlahan akan menjadikan kerjasama orang tua, sekolah, dan siswa menjadi lebih baik. Teruslah berdoa juga, semoga badai ini lekas berlalu.