Tentang Menyontek dan Kejujuran yang Kini Tersisih
“Cin, nomor satu apa?” bisik Linda pada Cindy yang duduk di sampingnya. Ruangan ujian terasa sunyi membuat bisikan itu menjadi terdengar nyaring.
Cindy diam, pura-pura tak mendengar. Namun, Linda tidak menyerah. Dia kembali membisikan hal yang sama, tetapi kali ini ditambah senggolan kecil pada tangan Cindy.
“Nggak tau,” desis Cindy tajam, membunuh harapan Linda untuk meminta satu jawaban. Mata Linda yang tadinya berbinar menyenangkan, mendadak berubah malas.
“Dasar sok suci!” Balas Linda tak kalah tajam.
Menyontek. Pasti sebagian besar dari pelajar atau mahasiswa tak asing dengan kata itu. Bisa jadi mereka adalah pelakunya, entah yang memberi atau meminta sontekan. Perilaku menyontek dianggap sudah menjadi rahasia umum di dunia pendidikan, tapi pada waktu tertentu sangat terlarang. Meskipun terlarang, toh masih banyak yang melakukannya.
Idealnya, menyontek itu tidak diperbolehkan. Yah, idealisme itu hanya tinggal wacana yang kerap ditinggalkan. Pasalnya, di negara ini nilai dianggap lebih penting daripada karakter. Coba saya tanya, ketika kamu habis ulangan, yang ditanyakan orang tuamu apa? Apakah ayah ibumu pernah bertanya begini, “bagaimana ujiannya tadi, Mas? Apakah kamu mengerjakannya jujur?”
Saya yakin seratus persen bahwa pertanyaan yang akan dilontarkan pasti terkait nilai yang didapat. Terkadang orang tua kurang peduli dengan proses mendapatkan nilai tersebut. Yang terpenting adalah hasil akhir yang diperoleh. Kalau sudah baik, masalah akan beres. Akibatnya, anak akan memiliki pola pikir yang juga mementingkan nilai, entah bagaimana caranya.
Kenapa Menyontek?
Dilansir dari theconversation.com, menurut survei yang dilakukan terhadap 24.000 siswa yang ada di 70 sekolah menengah atas, McCabe menemukan ada 64% siswa yang mengaku telah menyontek dalam ujian, 58% mengaku melakukan plagiarisme, dan 95% mengaku terlibat dalam berbagai bentuk mencontek, baik untuk ujian, plagiarisme, atau meniru pekerjaan rumah.
Melihat hasil tersebut, tentu nampak bahwa budaya menyontek ini memang sudah lekat dengan dunia pendidikan. Tak melulu untuk ujian, tetapi juga untuk tugas harian. Kenapa hal tersebut bisa terjadi?
Terkadang, demi mendapat nilai terbaik, berbagai cara dihalalkan. Trik-trik menyontek lantas dipraktikan. Anak-anak berubah menjadi begitu kreatif. Menulis rumus matematika di meja, membuat catatan di balik penggaris, menulis rangkuman di dalam sepatu, bolpoin, menyelipkan ringkasan di balik baju, dan masih banyak lagi trik di luar nalar yang lain.
Hasil wawancara seperti yang tercantum dalam hai.grid.id, menunjukan bahwa pelajar melakukan hal tersebut disebabkan oleh rasa tidak percaya diri dengan kemampuannya, lupa belajar, dan adanya kemudahan dalam menyontek.
Lebih luas lagi, menurut artikel berjudul “Why do Students Cheat? Listen to This Dean’s Words” yang ditulis oleh Chris Loschiavo, wakil dekan dan direktur Student Conduct and Conflict Resolution, Universitas Florida, menyontek merupakan efek dari lingkungan. Bisa jadi karena belum pernah ketahuan oleh guru, tekanan dari orang tua untuk mendapatkan nilai yang bagus, serta kurangnya kemampuan siswa untuk memanajemen waktu dengan baik.
Mengambil Jalan Berbeda
Lalu, bagaimana nasib pelajar dan mahasiswa yang memilih untuk bersikap jujur?
Saya sendiri termasuk sedikit dari orang yang memilih untuk tidak menyontek. Opsi itu saya ambil dengan pertimbangan bahwa apabila ada hal-hal yang melekat pada kita diperoleh dengan tidak jujur, lantas nanti bagaimana hasilnya? Apakah tersisa keberkahan untuk itu? Bahkan saya memilih untuk mendapat nilai jelek tapi jujur, daripada nilai tinggi yang didapatkan karena menyontek.
Mengambil keputusan ini, membuat saya kadang merasa berbeda. Saya tidak mau minta atau memberi sontekan. Saya pernah dibilang pelit, egois, tidak setia kawan, dan yang lainnya. Saya yang memiliki nomor presensi akhir dan selalu mendapat bangku paling belakang ketika ujian, selalu melihat drama sontek menyontek teman-teman. Itulah alasan saya benci duduk di belakang saat ujian.
Akan tetapi, dalam hidup bersosial kita akan kesusahan mempertahankan idealisme yang diusung. Saya yang tadinya berprinsip demikian, perlahan mulai mengendurkannya menjadi: memberi tapi tidak meminta sontekan. Mengapa? Yah, tentu saja karena saya masih ingin hidup damai dan sejahtera.
Tidak Menyontek = Naif?
Suatu hari, Anggrek dan Bulan tengah berbincang di gazebo depan kelas sambil menunggu waktu ujian akhir tiba. Topik obrolan mereka berubah-ubah cepat. Hingga sampailah mereka pada sebuah topik yang membuat bahu keduanya agak tegang, karena berbeda paham.
“Kenapa kamu nggak mau nyontek?” tanya Bulan yang masih skeptis dengan prinsip hidup kawannya itu.
“Aku pikir bila caraku mendapat ijazah saja sudah tidak jujur, maka ke belakangnya tidak akan mendapat berkah. Aku hanya ingin apa yang aku makan dan kelak kuberikan pada anak-anakku itu berkah. Bukan hasil ketidakjujuran,” jelas Anggrek perlahan.
“Pemikiranmu terlalu polos, Nggrek. Bila nanti kamu mau mendaftar kerja, kamu mau pakai jalur yang mana? Ah, bila nanti ada yang menawarimu ‘pelicin’ untuk jadi pegawai, bagaimana? Mau tidak?”
“Kamu pasti berpikir aku terlalu naif. Bahkan menyontek saat ujian yang tidak mengeluarkan sepeser uang pun saja aku nggak berani. Gimana mau bayar pelicin buat cari duit?”
“Ya terserah kamu sih. Kalau aku sih berpikir fleksibel. Kamu terlalu idealis dan naif, Nggrek. Di dunia ini kita nggak bisa hidup kalau terlalu naif.”
Banyak orang yang mengatakan seperti Bulan. Bahwa hidup pada zaman sekarang sudah susah, lebih baik mengikuti arus saja. Seperti ikan, kalau melawan arus sendirian lama kelamaan akan kalah juga. Apalagi kalau arusnya deras.
Namun, ketika menyontek bukankah kamu sudah membohongi dirimu dan orang lain? Renungkanlah, bahwa kepuasan yang kamu dapatkan tidak akan sampai menyentuh hatimu. Nuranimu mengelak, tetapi kamu bersikeras mengatakan bahwa yang dilakukan adalah kebenaran hanya karena yang lain melakukan hal yang sama.
Saat ini banyak orang baik yang diam. Minoritas dan tak ada pendukung, maka kamu akan mengalami banyak kesulitan. Hal itu mengingatkan saya pada Maryam dalam novel Maryam karya Okky Madasari.
Selanjutnya…
Bersikap jujur adalah keharusan. Namun, banyak yang menganggapnya sebagai pilihan. Sebagai seorang guru, saya mendindak tegas siapa pun murid saya yang ketahuan menyontek. Bagi saya, tak ada toleransi bagi mereka yang tidak jujur. Meskipun begitu, kamu mungkin punya pilihan berbeda.
Yuk, mulai sekarang melakukan segala sesuatunya dengan jujur! Setop menyontek! Yang perlu diingat, kamu memang melakukannya sembunyi-sembunyi, tapi Allah Maha Mengetahui segala sesuatu di dunia ini.
Saya rasa sekian tulisan hari ini. Sampai jumpa di postingan saya selanjutnya!