[Review] Senandung Bisu – Aguk Irawan (2018)

[Review] Senandung Bisu – Aguk Irawan (2018)

Senandung Bisu mengisahkan tentang liku-liku kehidupan bertetangga yang tak selamanya berjalan mulus. Bila hubungannya tidak dijaga dengan benar, akan timbul gesekan yang membuat situasi menjadi panas. Tentunya, itu akan membuat hidup menjadi tak tentram. Hal itu dirasakan oleh pasangan suami istri, Zulfin dan Dlori. Kehidupan mereka yang awalnya damai dan penuh cinta, berubah menjadi kacau akibat gunjingan tetangga.

Semua bermula ketika Zulfin hamil anak keempatnya. Kabar itu menjadi desas desus di desa Siwalan. Para tetangga menggunjing seputar anak Zulfin yang memiliki jarak kelahiran begitu dekat satu sama lain (halaman 53). Mereka mengatainya tidak tahu malu karena terus saja melahirkan anak setiap tahun. Tak hanya itu, gunjingan mereka terus merembet pada hal-hal lainnya, sehingga memunculkan opini tertentu.

Kasak-kusuk itu sampai juga di telinga Zulfin. Ia curahkan semua pada Dlori. Sayangnya, suaminya itu hanya menanggapi dengan santai dan memintanya untuk tidak risau. Suaminya justru meyakinkannya untuk membuktikan bahwa memiliki banyak anak akan membuat rejeki semakin lancar. Hal itu sudah mereka buktikan selama ini. Panennya selalu sukses mengikuti kelahiran buah hati mereka yang pertama hingga ketiga. Kesuksesan itu akan dibuktikan kembali pada kelahiran anak keempat mereka.

Walaupun telah ditenangkan oleh Dlori, desas-desus itu tetap menghantui pikiran Zulfin. Ia sudah bersabar. Akan tetapi, gunjingan tetangga semakin keras terdengar. Kisah kelam dibalik suksesnya panen Dlori pun tak luput dari perbincangan (halaman 124). Konfik semakin panas ketika Wuryani, tetangga yang getol menggunjing tentangnya, membangga-banggakan kesuksesan dalam mendidik anak. Secara tidak langsung, hal itu menyingung perihal kepiawaian Zulfin dalam mendidik anak-anaknya.

Zulfin sudah tidak tahan lagi menahan amarah dan sakit hati yang selama ini dipendamnya. Ia memberi pelajaran pada Wuryani. Sejak itu, kedua perempuan itu saling bersaing untuk menjadi yang paling benar. Mereka dipenuhi nafsu untuk saling menjatuhkan. Atmosfer Desa Siwalan memanas, melunturkan segala kesederhanaan yang dulu pernah lekat (halaman 33).

Tak ada yang tahu, bahwa harga yang harus dibayar dari persaingan tersebut adalah harta yang paling berharga bagi keduanya. Hidup mereka tak lagi sama. Rahim, anak bungsu Zulfin menjadi korbannya. Ia diperlakukan berbeda dari kakak-kakaknya. Aguk Irawan menjabarkan bagian ini dengan sangat detail, hingga membuat pembaca larut dalam hidup mereka yang penuh perjuangan.

Saat membaca sinopsis novel yang begitu memikat, pembaca akan berpikir bahwa pusat cerita adalah Rahim. Namun, ternyata tidak. Alih alih membuat Rahim menjadi fokus utama, yang dikisahkan justru masa lalu orang tuanya. Tindakan kedua orang tuanya itulah yang berdampak pada kehidupan anak itu yang penuh pilu. Kisah itu diketahui dengan jelas oleh Kyai Naim, tokoh sentral dalam novel ini. Sehingga Kyai itu sangat peduli dan menjaga Rahim seperti anaknya sendiri.

Senandung Bisu menyampaikan banyak pelajaran tentang hidup bertetangga. Secara tersurat dijelaskan akibat menggunjing, iri hati, dan dengki. Pembaca juga diingatkan untuk tidak menghitung sesuatu yang telah diberikan dan mengharap timbal balik yang sepadan. Apalagi hidup di pedesaan yang kental dengan kebersamaannya. Saling bahu membahu adalah hal yang lumrah. Sebagai makhluk sosial, kita diajak pula untuk menjaga lisan agar tidak menyakiti orang lain. Selain itu, manajemen keuangan rumah tangga pun disinggung sini. Sehingga, dalam satu novel ini pembaca dapat belajar tentang banyak hal.

Berlatar di sebuah perkampungan, penulis juga tidak lupa untuk memadukannya dengan berbagai kebudayaan daerah. Unsur budaya dalam novel ini cukup kental. Bahkan penulis mengajak pembaca belajar tentang kehidupan lewat kisah pewayangan. Dalam menuliskan bagian ini, akan lebih nyaman dibaca bila penulis memberikan catatan kaki untuk terjemahan kata-kata yang berbahasa Jawa. Terlepas dari hal tersebut dan beberapa kesalahan penulisan, novel ini dapat menjadi menjadi pengingat agar tetap menjaga hubungan baik dengan sesama.

Judul               : Senandung Bisu

Penulis             : Aguk Irawan M. N.

Cetakan           : Pertama, Februari 2018

Tebal               : 388 halaman

Penerbit          : Republika

ISBN               : 978-602-0822-99-0

#OneDayOnePost

#ODOPDay5

#ODOP

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: