[Review] Raden Dewi Sartika – E. Rokajat Asura: Kiprah Sang Dewi Pejuang Emansipasi
Apabila membicarakan emansipasi wanita, tentu tak bisa lepas dari nama Kartini, sosok pahlawan asal Jepara yang gigih dan berani mengangkat derajat perempuan. Namun, terdapat potret pejuang emansipasi lain yang gaung namanya tak sekeras Kartini. Dia adalah Raden Dewi Sartika.
Buku ini mengajak pembaca mengenal lebih dekat putri Raden Ayu Rajapermas dan Raden Somanagar itu sekaligus mengikuti kisah hidupnya secara runtut, dimulai sejak kelahiran, masa kecil di Cicalengka, perjuangan mendirikan Sakola Istri, hingga wafat di Desa Cineam. Bahkan, fakta-fakta yang jarang diketahui khalayak dikuak dalam novel biografi ini.
Wanita asal Pasundan itu memiliki keresahan yang sama dengan Kartini, yakni seputar peran minor kaum hawa dalam praktik keluarga dan kemasyarakatan. Pun dengan kesempatan pendidikan yang luas untuk kaum pria, tapi tertutup sepenuhnya bagi perempuan pribumi. Beruntung, ayah Dewi pernah menjabat sebagai petinggi Bandung, sehingga ia sempat mencicipi manisnya pendidikan di sekolah kelas satu.
Perempuan yang semasa kecil akrab disapa Enden Uwi itu adalah anak yang cerdas dan kritis. Rasa ingin tahu yang tinggi, membuatnya selalu menanyakan hal-hal di luar dugaan. Salah satunya, tentang keingintahuan gadis itu mengenai alasan ibunya yang justru memilih menemani ayah di tanah pengasingan dan menitipkan anaknya pada kerabat, alih-alih mengasuhnya sendiri.
Cerdik Mengajar Baca Tulis
Seiring berjalannya waktu, perempuan kelahiran 4 Desember 1884 itu dapat menerima keputusan ibu. Anak itu dititipkan di rumah paman, yakni Patih Afdeling Cicalengka. Alih-alih diperlakukan istimewa, Enden Uwi yang masih berusia sembilan tahun, justru diposisikan sebagai abdi dalem. Dirinya bertugas memasak, mencuci, menyapu, serta melakukan berbagai pekerjaan lain. Uniknya, ia masih sempat bermain sasakolaan dengan teman-teman.
Miris dan sedih adalah dua kata yang menumbuhkan keinginan Enden Uwi untuk mengajar baca tulis. Seluruh teman sepermainannya buta huruf, sehingga mudah ditipu. Masa itu, gadis-gadis tidak disekolahkan dan hanya bermain sambil menunggu sampai seorang pria datang melamar. Bagian yang terasa sangat menyentuh ini menjadi pemicu Dewi untuk mengajar baca tulis lewat permainan sasakolaan.
Langkah positif itu tidak berjalan mulus. Pamannya mengendus tindakan Dewi dan menengurnya. Hal itu bisa dianggap sebagai bentuk pelanggaran adat. Apalagi dirinya adalah putri seorang pemberontak, sehingga dapat menjadi masalah bila kegiatan tersebut terendus oleh Belanda. Namun, Enden Uwi tetap kukuh dengan prinsipnya dan terus bermain sasakolaan.
Ditentang Kerabat, Digandeng Belanda
Seiring dengan bertambahnya usia, Dewi Sartika mulai berani mengambil langkah nyata. Ia disadarkan betapa kaum perempuan tidak memiliki kesempatan sebaik kaum laki-laki (hal 141). Padahal, kelak wanita akan menjadi ibu dan menjadi madrasah pertama bagi anaknya, karena itu memiliki pengetahuan dan keterampilan menjadi satu hal yang penting.
Ketidakberdayaan sang ibu menjadi dorongan tersendiri untuknya. Perempuan harus dapat berdiri di kaki sendiri. Apabila ditinggal suami, istri tetap dapat melanjutkan hidupnya dengan baik, karena sudah memiliki keterampilan yang mencukupi. Pemikiran itu membuat gagasannya untuk mendirikan sekolah bagi perempuan agar menjadi istri dan ibu yang baik semakin kuat.
Dewi Sartika memulai langkahnya dengan mencari dukungan dari kerabat. Namun, yang ia dapat hanya penolakan. Bahkan ide itu ditentang Kanjeng Dalem, petinggi Bandung saat itu. Mereka beranggapan bahwa impiannya terlalu mengada-ada, menentang adat, dan kodrat wanita. Kenyataan itu tidak membuatnya menyerah, justru semakin gencar mencari dukungan.
Akhirnya angin segar ia reguk dari Hammer, Inspektur Pengajaran Hindia Belanda. Dengan dukungannya, pada tanggal 16 Januari 1904 Sakola Istri resmi dibuka. Kehadiran sekolah tersebut membuat semangat gadis-gadis untuk menuntut ilmu dan keterampilan semakin meningkat, pun dengan kesadaran orang tua yang mau menangguhkan perkawinan putrinya untuk sekolah terlebih dahulu (hal 304).
Buku setebal 422 halaman ini ditulis dengan detail, realistis, dan menyentuh. Banyak pelajaran yang didapat, yaitu tentang keikhlasan, perjuangan yang tidak kenal menyerah, serta keteguhan pada prinsip. Dewi Sartika adalah sosok pejuang yang mewakafkan kehidupannya untuk memajukan pendidikan perempuan. Oleh karena itu, buku ini diharapkan dapat menjadi pengingat dan pemacu kaum hawa, agar memanfaatkan kesempatan ini dengan maksimal.
Judul : Raden Dewi Sartika
Penulis : E. Rokajat Asura
Cetakan : Pertama, 2019
Penerbit : Imania
Halaman : 422 halaman
ISBN : 978-602-7926-47-9
Resensi ini telah dimuat di Majalah Pewara Dinamika edisi bulan April 2020