[Review] Welcome Home, Rain – Suarcani
“Mimpi itu suka mengalah, lebih suka memaham. Dia akan mengerti kapan saatnya diraih, kapan saatnya tiba.” (hal 235)
Hidup Kei berubah 180 derajat setelah skandal memalukan yang melibatkannya terjadi. Gadis itu ditangkap basah oleh Ghi, pacarnya saat keluar dari salah satu kamar hotel bersama Om Frans. Setelah itu, dunia begitu kejam padanya. Gunjingan, hinaan, cemoohan sudah kenyang ia dapat. Apalagi mamanya yang begitu ‘menyayanginya’ selalu menasihatinya dengan kata-kata yang tidak enak didengar. Namun, perempuan itu hanya diam, menerima lalu mencoba melupakannya.
Semenjak kejadian itu, hubungan Ghi dengan Kei berakhir. Bahkan cowok itu menganggap Kei seolah sesuatu yang menjijikkan. Ia tak mau lagi menyanyikan lagu Welcome Home, Rain (lagu duetnya dengan Kei yang juga diciptakan gadis itu). Namun, jauh di dalam hatinya, ia belum bisa move on dari cewek itu. Hari semakin sulit, ketika ia diminta untuk duet dengan Kei menyanyikan lagu Welcome Home, Rain dalam sebuah acara. Rasa sakit hati karena dikhianati membuatnya enggan dan menolak kontrak itu. Sayangnya takdir berkata lain dan mengharuskannya untuk duet dengan sang mantan. Lalu bagaimana Ghi melalui cobaan itu? Lantas, seperti apakah jadinya nasib Kei?
“Kamu tahu beda mimpi dan ambisi? Mimpi kamu yang mengejar. Sementara ambisi, kamu yang dikejar. (hal 234)
Suarcani selalu menawarkan sesuatu yang baru dalam setiap novelnya. Setelah kemarin saya membaca Purple Prose yang berkisah tentang karma dan tanggung jawab, dalam buku ini penulis menghadirkan kisah roman yang berbalut mimpi untuk memasuki dunia hiburan yang menarik. Persamaannya, kisah keluarga dan persahabatan yang sangat kental. Yah, mungkin inilah khas Suarcani dalam setiap novelnya. Mungkin saya harus baca novelnya yang lain agar dapat membandingkannya.
Cerita dibuka dengan adegan Kei yang diajak ke hotel oleh Om Frans. Penulis begitu lihai membuat saya percaya bahwa gadis itu memang bersedia ‘membayar’ agar merilis dua album untuknya. Namun, saya juga agak ragu dengan sikapnya yang ditunjukan begitu kikuk. Namun, siapa sangka bagian ini begitu penting untuk menggiring alur mulai BAB satu hingga ¾ cerita?
Kisah perempuan itu semakin menarik saat ditunjukan betapa jahat takdir padanya. Nasibnya bisa dikatakan sudah jatuh tertimpa tangga. Dulu, kehidupannya sangat mapan, bahkan bisa dibilang berlebih. Namun, setelah papanya meninggal, kepastian hidup seolah terenggut darinya. Ia harus tinggal di sebuah kontrakan bersama mama yang sama sekali tak membantu, justru menambah kerumitan hidupnya.
Mama Kei yang tidak pernah miskin, seolah kaget dan tidak bisa menerima kondisi mereka yang sudah pas-pasan. Gaya hidup wanita itu masih saja berlebihan, bahkan menyamai saat papa masih hidup. Mama tak pernah memberi, tetapi selalu menuntut dan meminta. Mirisnya, perempuan paruh baya itu sering melakukan hal-hal yang tidak disukai Kei. Tak tanggung-tanggung, sang mama bahkan mencoba ‘menjualnya’.
Untuk memenuhi kebutuhan mama yang begitu tinggi, Kei harus banting tulang sendiri. Sangat menyedihkan saat mengetahui betapa gadis itu harus ‘memeras’ tenaga dan memutar otak agar mereka tetap dapat bertahan hidup dan tentunya memenuhi kebutuhan mama. Gadis itu berjuang sendiri, menahan caci maki sendiri, dan mencari solusinya sendiri. Penulis berhasil menghadirkan sosok perempuan yang sangat kuat di sini. Saya sangat suka dengan karakter Kei yang begitu tangguh dalam menghadapi berbagai cobaan dalam hidupnya.
Namun, kadang kala saya agak geregetan juga. Bagaimana bisa dia begitu sabar? Bisa dibilang setengah dari buku ini menunjukan betapa tersiksanya Kei. Akan tetapi, dia jarang sekali mengeluh dan berontak atas segalanya. Ia hanya menerima, menerima, dan menerima, tentunya dengan hati yang teriris sambil menguatkan diri dengan menggenggam liontin dari sang papa.
Berbanding terbalik dengan Kei, mamanya sangat ‘gila’. Dalam cerita ini, dialah antagonis yang sesungguhnya dan sangat totalitas. Sikapnya yang begitu menjengkelkan, egois, dan selalu menuntut tanpa mau berusaha membuatnya menjadi tokoh yang paling saya benci. Apabila antagonis lain mungkin memiliki sedikit sisi baik, mama Kei sama sekali tidak. Yah, penulis sangat berhasil membangun karakter ini dengan baik.
Selama ini saya selalu mendapati antagonis yang jahat tanpa ada alasan. Karena saya percaya bahwa tidak ada orang yang benar-benar jahat atau jahat tanpa alasan. Nah, hal itu tidak saya temukan dalam cerita. Antagonis tidak jahat begitu saja. Ada alasan kuat yang memicunya untuk menjadi jahat. Suarcani memberikan petunjuk tentang alasannya sedikit demi sedikit, sehingga akhirnya membuat saya percaya dan ‘memaklumi’ kejahatan mama.
Oke, kita beralih pada Ghi. Dia adalah seorang penyanyi ganteng, naik daun, dan… tentunya pendendam. Tokoh ini begitu manusiawi. Cowok itu benci, tapi selalu memikirkan yang ia benci. Katanya dia benci Kei, tapi sulit move on, bahkan setelah beberapa lama waktu berlalu. Saya suka sekali dengan penggambaran ‘cowok yang masih sayang tapi susah move on’ pada karakter ini.
Suarcani menggunakan alur maju mundur dalam mengisahkan berkeloknya hidup Kei dan Ghi. Dia pandai sekali dalam mengatur tempo cerita. Selama setengah novel, pembaca dibuat penasaran dengan teka-teki tentang anak-anak muda itu. Sejujurnya, saya hampir menyerah saat penulis tidak juga memberikan penjelasan tentang semua yang terjadi.
Akhirnya, setelah melewati halaman 200-an (maaf saya lupa tepatnya halaman berapa), semuanya terjawab. Namun, saya agak menyayangkan cara penulis memberikan penjelasannya yang menurut saya terkesan mirip sinetron. Bagian itu menjadi titik klimaks, lalu dilanjutkan dengan penjelasan dan konflik kecil lainnya. Menurut saya sekali lagi, cerita ini justru berakhir anti klimaks dan tidak semengena Purple Prose yang membuat saya tak enak makan dan tak enak tidur setelah membacanya.
Meskipun begitu, novel ini dapat dinikmati. Banyak pesan yang disampaikan, seperti tentang janji yang harus ditepati, kasih sayang antar orangtua dan anak, serta perbedaan mimpi dan ambisi.
Mungkin sekian dulu review dari saya. Novel ini saya beri 3,7 dari 5 bintang yang artinya saya rekomendasikan untuk dibaca. Selamat membaca!
“Ambisi akan menuntut untuk dipahami, menuntut untuk dimengerti, menuntut untuk dipenuhi secepat mungkin. Bahkan menuntut pengorbanan yang membabi buta.” (hal 235)
Judul : Welcome Home, Rain
Penulis : Suarcani
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 304 halaman
Terbit : Oktober, 2017
1 comment found