[Review] Raden Dewi Sartika – E. Rokajat Asura: Kisah Pejuang Pendidikan untuk Perempuan
Mengenyam pendidikan adalah sebuah kenikmatan yang zaman dulu belum bisa dirasakan oleh kaum perempuan. Sekolah hanya untuk laki-laki, sedangkan hidup perempuan hanya berkutat pada pingitan pada usia dua belas tahun, hingga menunggu saatnya dilamar. Akibatnya, hampir seluruh kaum hawa kala itu buta huruf. Rupanya, hal itu mengusik benak Enden Uwi, panggilan Raden Dewi Sartika semasa kecil.
Buku ini mengisahkan perjuangan putri Raden Ayu Rajapermas dan Raden Somanagara itu untuk membuat sekolah bagi perempuan. Pada usia yang masih sembilan tahun, perbedaan perlakuan antara putra dan putri mengganggu pikirannya. Anak itu tidak memahami alasan kaum hawa tidak memiliki kesempatan pendidikan yang sama seperti laki-laki. Ayahnya mengambil sikap berbeda dengan menyekolahkannya di sekolah kelas satu, sehingga ia bisa membaca dan menulis dengan baik. Namun, selepas sang ayah melakukan pemberontakan, dia berhenti sekolah dan tinggal di kediaman pamannya, yakni Patih Cicalengka.
Di kediaman pamannya itu ia mendapati kenyataan yang cukup menyedihkan. Banyak teman sepermainannya buta huruf, sehingga mudah dikelabuhi. Hal itulah yang mendorong Enden Uwi untuk mengajari kawannya membaca dan menulis dengan cara bermain sasakolaan di belakang Gedung Kepatihan Cicalengka. Usahanya itu tidak lepas dari hambatan. Ia sempat ditegur oleh sang paman. Namun, dirinya tetap mengajar karena semangat dan kemauan teman-temannya untuk bisa membaca begitu tinggi.
Seiring bertambahnya usia, pandangan dan pemikiran Raden Dewi terhadap kehidupan sekelilingnya semakin berubah. Ia disadarkan betapa kaumnya tidak memiliki kesempatan sebaik kaum laki-laki (hal 141). Banyak anak gadis di lingkungannya yang tidak disekolahkan dengan alasan bahwa tidak ada gunanya sekolah. Apabila sudah menikah, mereka hanya akan berkutat di dapur, sehingga ilmu yang didapatkan sia-sia.
Tercetus dalam benaknya membuat sekolah bagi perempuan untuk mengajarkan membaca, menulis, berhitung, dan keterampilan yang dibutuhkan agar bisa menjadi istri yang baik. Selama ini, ia merasa bahwa kaumnya terlalu bergantung pada pria. Putri pemberontak itu ingin membuat wanita dapat berdiri di kakinya sendiri. Kelak, apabila ditinggal oleh sang suami, istri tetap dapat melanjutkan hidupnya dengan baik, karena sudah dibekali dengan keterampilan yang mencukupi.
Penolakan demi penolakan atas mimpinya diterima oleh Raden Dewi. Tak hanya oleh kerabat dekat, cita-citanya itu juga ditentang oleh Kanjeng Dalem, petinggi Bandung kala itu. Mereka beranggapan bahwa impiannya terlalu mengada-ada dan menentang adat serta kodrat sebagai wanita. Meskipun begitu, ia tak pernah menyerah. Ia semakin gencar untuk menemui pihak yang kemungkinan dapat membantunya.
Setelah sekian lama berusaha, wanita itu mendapat dukungan dari berbagai pihak, pun dari Inspektur Pengajaran Hindia Belanda. Semenjak itu, langkahnya semakin mudah. Akhirnya, pada 16 Januari 1904 diresmikan sekolah untuk anak perempuan yang bernama Sakola Istri. Kehadiran sekolah tersebut membuat semangat gadis-gadis untuk menuntut ilmu dan keterampilan semakin meningkat, pun dengan kesadaran orang tua yang mau menangguhkan perkawinan putrinya untuk sekolah terlebih dahulu (hal 304).
Buku ini menguraikan fakta-fakta tentang kehidupan Raden Dewi Sartika yang tidak banyak diketahui umum. Kisah hidupnya diceritakan secara mendalam, mulai dari asal usulnya, masa kecil di Cicalengka, perjuangan membuat Sakola Istri, kehidupan pernikahan dengan Raden Agah, hingga kisah pilunya sebelum wafat di Desa Cineam.
Banyak hal yang dapat dipetik dari perjalanan hidup sang pendidik bangsa itu, di antaranya tentang pantang menyerah, kejujuran, kerja keras, empati, dan teguh pada prinsip. Raden Dewi tidak hanya pencetus pendidikan kaum hawa semata, tetapi juga seorang aktivis berintegritas yang mewakafkan kehidupannya untuk pendidikan. Kerja keras itu hendaknya menjadi cambuk bagi perempuan masa kini agar tidak membuatnya percuma, dengan memanfaatkan setiap kesempatan untuk menuntut ilmu dengan maksimal.
Judul : Raden Dewi Sartika
Penulis : E. Rokajat Asura
Cetakan : Pertama, Februari 2019
Penerbit : Imania
Halaman : 422 halaman
ISBN : 978-602-7926-47-9
Resensi ini sudah dimuat di Koran Jakarta pada hari Senin, 11 November 2019