[Review] Purple Prose – Suarcani (2018)

[Review] Purple Prose – Suarcani (2018)

“Karma itu seperti asap. Dia selalu ada di udara walau tidak terlihat. Ketika waktunya tiba, dia akan datang menagih pertanggungjawaban.” (hal 289)

Novel ini bercerita tentang Roya yang mengalami hari yang berat di tempat kerjanya setiap hari. Di sana, ia sama sekali nggak dihargai, ditertawakan, dan dikucilkan. Perempuan itu melakukan banyak pekerjaan yang sebenarnya bukan job desc-nya. Ia dikenal ceroboh dan sulit melakukan pekerjaan dengan benar. Namun, ia hanya bisa menurut dan sabar dengan segala yang terjadi pada dirinya. Bahkan, ia selalu minta maaf atas segala kesalahan, yang ia perbuat maupun tidak.

Semua itu berubah ketika Galih, atasan yang dimutasi ke Bali, tepatnya kantor gadis itu bekerja. Pria yang terkenal konyol dan gemar bergurau itu mulai menempatkan ulang hal-hal yang tidak pada tempatnya. Di kantor barunya itu, ia terheran-heran dengan sikap karyawan yang tampak tak acuh dengan Roya, sedangkan gadis itu hanya menurut saja seakan semua itu lumrah.

Singkat cerita, mereka mulai dekat. Kedekatan itu membawa mereka ke hubungan yang lebih serius dan lambat laun membongkar masa lalu kelam Galih yang sengaja ia simpan dalam-dalam.

“Takdir bukan sesuatu yang bisa dijelaskan hanya dalam satu perdebatan. Sama halnya dengan kebenaran. Sejauh mana pun mereka membicarakannya, tidak akan jelas siapa ynag benar maupun siapa yang salah. Semua tergantung pada sudut pandang.” (hal 31)

Novel ini adalah buku pertama Suarcani yang saya baca. Awalnya, saya nggak ada ekspektasi apa-apa. Namun, setelah membaca prolog dan BAB 1, saya merasa sangat penasaran dengan kelanjutan kisah Roya dan adiknya. Suarcani pintar sekali mengungkap sedikit demi sedikit teka teki konflik yang sangat menguras emosi serta mengambil benang merah yang kelak akan kusut dimakan berbagai permasalahan.

Suarcani menghadirkan karakter yang mengena sekali. Roya, gadis yang terkungkung rasa bersalah atas sikapnya di masa lalu, membuatnya menjadi ‘mesin peminta maaf’. Di kantor ia tak ada harganya sama sekali. Tahu yang bikin saya kesal? Dia masih bertahan di tempat seperti itu! Ia sering menjadi bahan olok-olok, mengerjakan tugas yang bukan bagiannya, dan… tahu yang membuat saya semakin kesal? Dia sama sekali nggak menolak dan menerima itu, walau saya yakin dengan hati yang berat.

Beruntung karakter ini berkembang melalui sedemikian proses kehidupan. Ia yang tadinya sangat kaku, polos, dan lugu menjadi bisa lebih luwes dan tahu dunia luar. Puncaknya pada penyelesaian konflik, kedewasaan dan rasa sayang pada Kanaya, adiknya muncul begitu kuat. Gadis itu bukan lagi gadis yang lugu, tetapi berubah menjadi seorang perempuan bijak dalam menghadapi situasi dan mengambil keputusan.

Selanjutnya adalah Galih, si konyol yang dimutasi ke Bali sebagai bentuk promosi jabatannya di kantor. Ia terkenal dapat mencairkan berbagai suasana. Bahkan sangat disukai oleh bawahannya, karena bisa membaur. Pria itu penuh dengan teka-teki. Masa lalu yang kelam membuatnya menjadi pribadi baru yang lebih baik. Ia sangat menyayangi mamanya, yah… karena hanya tinggal beliau yang dia punya. Tak ayal bila dia sangat dekat dengannya.

Karakter ketiga yang sangat penting adalah Kanaya. Adik Roya ini mengalami hal yang pahit di masa kecilnya yang membuatnya trauma hingga enggan untuk keluar rumah. Setelah peristiwa itu, ia berubah menjadi pribadi yang pendiam dan tak suka bila dikasihani oleh orang lain. Ia sangat menyayangi kakaknya, meskipun tak bisa ditunjukannya dengan gamblang.

“Aku tahu memang tidak mudah, tetapi kamu masih bisa membayar rasa bersalahmu dengan cara lain. Penyesalan tidak harus dibayar dengan ikut mengubur diri dalam kesedihan. Itu bukan cara yang tepat.” (hal 202)

Seluruh tokoh yang dihadirkan Suarcani dalam novel ini terasa sangat manusiawi dan realistis. Seorang manusia, tak pernah luput dari dosa. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan. Ya. Akan tetapi, dampak yang ditimbulkan tergantung dengan seberapa besar kesalahan dan cara kita menyikapinya. Apakah akan tetap maju untuk mempertanggungjawabkannya atau justru lari sejauh mungkin dan menghindarinya. Pilihan tindakan yang sangat rasional oleh tiap tokoh ditunjukan penulis penyuka warna ungu ini.

Novel yang alurnya runut, rapi, dan nyaman diikuti ini berlatar di Bali. Penulis cukup berhasil membuat saya percaya bahwa seluruh kejadian ini berada di Pulau Dewata. Hal itu ditunjukan melalui penggunaan dupa, serta dilakukannya upacara-upacara keagamaan di sana. Novel juga memberikan pengetahuan baru terkait beberapa istilah keagamaan di sana. Good!

Saya nggak akan berkomentar banyak, karena novel ini benar-benar memukau. Saya bisa ikut merasakan apa yang dirasakan Roya, Galih, juga Kanaya. Buku ini terasa begitu dekat dengan saya dalam beberapa bagian, sehingga membuat saya tidak menghiraukan kemungkinan adanya kesalahan penulisan karena terlalu larut dengan kisah ini.

“Saat kita bersembunyi setelah melakukan kesalahan, kita pasti akan selalu merasa ketakutan. Kita akan selalu terbayang hukuman yang akan kita terima. Entah itu dimarah, dipukul, atau dicaci maki. Padahal, kenyataannya, kita nggak akan benar-benar tahu apakah kita akan mendapat hukuman atau tidak jika ketahuan kan?” (hal 252)

Novel yang sejak dulu saya kira berjudul “Purple Rose” ternyata berjudul “Purple Prose” ini mengadirkan banyak pesan. Sebagai manusia, hendaknya kita jangan lari dari tanggung jawab. Ketika melakukan kesalahan, maka lebih baik segera minta maaf dan memperbaiki segalanya, bukan malah melarikan diri dan membuat segalanya menjadi semakin rumit. Karma berlaku untuk siapa saja. Itu juga yang ditekankan novel. Bahwa seberapa jauh pun kamu lari dari tanggung jawab yang seharusnya dipikul, maka takdir akan terus memburu sambil membawa karma yang harus kamu telan.

Selain itu, terlalu terkungkung dengan masa lalu juga bukan merupakan sesuatu yang bijak. Kesalahan ada untuk kita belajar, bukan sebagai tempat untuk berkubang dan justru menghambat segala langkah yang harusnya diambil dalam hidup. Apalagi menyalahkan diri sendiri yang pastinya tidak akan ada ujungnya, itu bukanlah hal yang bijak.

“Selain itu, aku pikir cara terbaik untuk menang atas masa lalu adalah dengan menghadapinya.” (hal 106)

Novel ini saya baca dalam sekali duduk, saking penasarannya dengan kelanjutan cerita. Nyatanya, saya juga penasaran dengan eksekusi akhir cerita oleh Suarcani. Sejujurnya, saya merasa itu sangat rumit. Segala hal yang ada dalam otak saya ternyata tebersit dalam pikiran Roya. Wah! Namun, penulis memilih untuk mengakhiri cerita ini dengan sangat adil dan bijak. Sebenarnya ada sedikit rasa tidak puas, tapi kemudian saya pikir bahwa itu merupakan akhir yang terbaik untuk semuanya.

Purple Prose ini sangat memuaskan dan menyedihkan. Segala perasaan tokoh mampu sampai pada pembaca. Pun dengan pesan yang ingin disampaikan. Review ini saya buat langsung selepas selesai baca, karena saya sangat tidak sabar menuangkan komentar tentang buku ini. Buku keempat yang saya baca tahun ini saya beri 5 dari 5 bintang! Wah, sudah pasti saya akan membaca karya Suarcani yang lain. Kamu juga harus baca ini! Selamat membaca!

Judul               : Purple Prose

Penulis             : Suarcani

Cetakan           : 2018

Tebal               : 304 halaman

Penerbit           : Gramedia Pustaka Utama

ISBN               : 978-602-06-1414-4

3 comments found

  1. Kutipan di halaman 252 cukup nyelekit buat aku pribadi. Thanks mba ulasannya, kayaknya memang mesti coba bukunya suarcani :’)

    1. Sama-sama, Mbak Nisa. Iya, Mbak, coba deh baca. Sejauh ini bukunya Suarcani belum ada yang mengecewakan?

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: