[Review] Gendut? Siapa Takut! – Alnira
“Yang paling sering dirisak itu kalau nggak gendut ya jomblo! Lo gendut dan jomblo?! Kelar hidup lo!” (Hal 17)
Moza adalah seorang penulis novel best seller yang galau karena tak juga bertemu dengan jodohnya di umur yang mendekati kepala tiga. Ibunya yang jauh di Lampung sana sering menanyakan dan memberinya wejangan tentang pasangan hidup. Belum lagi adiknya yang tengilnya minta ampun itu kadang mengenalkannya dengan teman kantornya, berharap salah satu dari mereka ada yang cocok. Namun, lagi-lagi karena standar Moza terlalu tinggi, ia tak kunjung menemukan yang klik.
Standar itu muncul karena dampak profesinya sebagai penulis. Setiap tokoh pria dalam novelnya selalu sempurna. Tak ayal bila dia mendambakan hal serupa untuk pendamping hidupnya. Sebenarnya Moza adalah sosok perempuan yang cantik, berkulit kuning langsat, tinggi, rambutnya mengombak indah, pintar masak, dan pandai membawa diri. Satu hal yang dianggap banyak orang nilai minus orang-orang adalah gendut. Ya. Moza memiliki berat badan 80 kg dengan tinggi 160 cm. Poin itu membuatnya sering diejek sejak kecil.
Cerita mulai menarik ketika ia bertemu dengan Dafian Jatmiko, sutradara dan produser yang akan memfilmkan novelnya. Pria itu masuk standar cowok yang diimpikannya. Lewat pertemuan yang nggak terduga, mereka mulai dekat. Sayangnya, mimpi buruk mulai menyambanginya. Nares, cowok tengil yang sejak kecil selalu menyebutnya “gentong” hadir kembali, seolah memunculkan dendam yang lama tersimpan hatinya. Lalu, bagaimana kisah mereka selanjutnya? Yuk, baca review saya!
“Pacar gue jago banget main petak umpet. Saking jagonya, sampai sekarang nggak ketemu-ketemu.” (Hal 142)
Gendut? Siapa Takut! merupakan novel pertama Alnira yang saya baca. Saya nemu novel ini waktu main di Perpustakaan Kota Jogja. Sejujurnya nih, awalnya ragu nih dengan novel ini. Apakah bagus atau tidak. Tapi, ketika melihat logo Metropop Gramedia di atas buku, saya mulai yakin dan meminjamnya.
Setahu saya, sebelum ini Alnira sudah pernah menerbitkan novel di GPU berjudul Dunia Nadhira, tapi saya belum baca. Setelah menyelesaikan novel ini, saya sepertinya berminat untuk membaca novel itu dan karya Alnira yang lain yang jumlahnya ada 14 buku.
“Bulan ini gue single. Mungkin bulan depan gue bikin album.” (hal 119)
Awal-awal membaca novel ini, saya langsung teringat Sandra Brown. Sandra pintar sekali membawa pembacanya masuk ke dalam cerita. Ternyata Alnira pun demikian. Rasanya saya mudah sekali masuk ke dalam kisah Moza dan secara nggak sadar, jari-jari saya terus membuka halaman-halaman selanjutnya.
Meskipun baru pertama membaca karya Alnira, agaknya saya berpikir bahwa perempuan itu memasukan ‘dirinya’ ke dalam sosok Moza. Bukannya bagaimana, karena Moza diceritakan sebagai penulis bestseller. Buat kamu yang tertarik dengan dunia kepenulisan, bisa banget nih baca novel ini karena banyak ilmu yang dibagi.
“Eno selalu bilang, untuk jadi seorang penulis mungkin semua orang bisa, tapi untuk jadi eksis dan bertahan tak semua orang bisa.” (Hal 65)
Moza adalah seorang yang cantik (tapi) gendut, pintar masak, pintar nulis, juga pintar membawa diri. Dia adalah seorang magister yang memutuskan untuk menjadi fulltime writter. Dia tinggal di sebuah rumah, terpisah dari adiknya yang memilih hidup di apartemen dan orang tuanya yang jauh di Lampung.
Satu hal positif dan menarik dari Moza, dia nggak minder dengan badannya yang gempal. Perempuan itu diceritakan menerima diri apa adanya. Saya pikir karakter Moza akan mirip dengan Aruna di novel Kilovegram-nya Mega Shofani. Ternyata, Alnira menghadirkan karakter baru yang bisa menyikapi kondisi tubuhnya dengan positif. Moza yang gendut (berat 80 kg, tinggi 160 cm), menjadi seorang yang percaya diri dan punya kemampuan mumpuni. Mungkin itu karena Moza sudah mendekati kepala tiga ya, jadi secara pemikiran sudah lebih matang dibanding Aruna di Kilovegram.
Dari tadi bahas Moza terus ya? Maaf ya, karena karakter ini begitu menarik buat saya. Oke, karakter kedua adalah Nareswara yang kerap disapa Nares. Dia ini tipe-tipe cowok ganteng idaman cewek-cewek nih. Rupawan, pintar main musik, olahraga, akademiknya juga oke lagi! Nah, kurang sempurna apa coba? Pria ini tuh kerja sebagai dosen. Nah, tipe cowok kayak gini biasanya langsung gampang banget buat dapat cewek. Namun, dia enggak, dengan alasan kuat pastinya.
“Jodoh memang nggak ke mana. Tapi kalau lo diam aja, jodoh lo yang ke mana-mana.” (hal 206)
Selanjutnya adalah Nobel, adiknya Moza. Dia ini bisa dibilang gantengnya sebelas dua belas sama Nares. Bedanya, cowok itu playboy cap kadal! Apalagi tengiiilnya minta ampun. Sahabat Nares ini suka banget jailin dan menggoda Moza dengan celetukannya yang spontan, polos, tapi lucu banget! Setiap baca dialognya dia, saya selalu dibuat ngakak!
Oh iya, yang terakhir adalah Dafian Jatmiko. Dia ini gantengnya sebelas dua belas tiga belas sama Nares dan Nobel. Intinya semua cowok di novel ini diceritain ganteng semua! Sempurna deh! Dia ini nih bekerja sebagai produser dan sutradara yang akan mengangkat novel Moza menjadi film. Singkatnya, cowok ini bisa bikin Moza tertarik pada pandangan pertama, karena sesuai dengan ‘standarnya’.
Itulah beberapa karakter utama novel ini. Karakter masing-masing tokoh cukup kuat, dapat dirasakan pembaca lewat dialog-dialognya yang receh, menghibur, dan sangat alami. Jokes-nya juga sangat segar. Salut deh sama Alnira!
“Kalau kamu mau cari pasangan sempurna, kamu harus terima hidup sendirian selamanya, karena yang kamu mau itu nggak akan pernah lahir ke dunia.” (hal 116)
Novel ini ringan, sangat menghibur, tapi sangat ‘penuh’. Banyak sekali pembelajaran yang diselipkan Alnira pada setiap bagian novel ini. Rasanya saya dinasihatin, tapi amanat itu nggak langsung dilempar ke muka. Sebut saja tentang penerimaan diri, pencarian jodoh, pekerjaan, dan penerimaan di masyarakat. Mantap banget deh!
Sejujurnya novel ini agak di luar dugaan saya. Saya pikir buku ini menceritakan tentang Moza yang berusaha menerima dirinya atau tentang kesulitan dia mencari jodoh karena dia agak gemuk. Namun, semua tidak seperti itu. Oh iya, saya suka sekali dengan kutipan-kutipan yang ada di awal bab! Selalu berhasil bikin ngakak! Kesalahan penulisan juga sangat minim. Salut deh!
“Pemikiran orang di Indonesia tampaknya harus diubah karena kebanyakan menganggap kalau bekerja bukan di kantor itu namanua bukan bekerja. Kerja apa lagi yang paling enak selain hobi yang dibayar?” (Hal 43)
Nah, untuk kekurangan novel ini lebih pada karakternya sih. Semuanya protagonis. Ada sih satu antagonis, saya pikir dia ini bisa membuat cerita jadi semakin seru. Tapi ternyata dia juga protagonis dengan beberapa adegan di akhir novel. Yah, meskipun konflik yang dihadirkan juga menarik sih untuk diikuti, tapi konfliknya ya gitu… nggak berat kok.
“Kalau nanti menikah, kamu harus ingat bahwa suami itu pemimpin. Tapi istri bukan budak, suami itu jalannya di depan tapi tangannya terulur ke belakang untuk menggenggam tangan istrinya. Itu artinya kalau ada bahaya suami siap pasang badan dan suami juga siap menuntun istrinya saat berjalan mengarungi rumah tangga.” (hal 288)
Intinya novel ini mau bilang, bahwa nggak ada yang sempurna di dunia ini. Cantik nggak melulu fisik, tetapi hati yang baik dan bersih. Meskipun dikatain gendut, Moza nggak pernah minder. Ini nih yang harus ditiru. Saya sangat menikmati bacanya. Tips menulis yang disampaikan juga jadi poin plus. Covernya kece, sederhana tapi menyentuh inti cerita. Akhirnya saya beri 4 dari 5 bintang untuk Gendut? Siapa Takut!
“Badan boleh gendut, tapi jangan sampai selera fashion jadi terbelakang. Udah gendut, tampang pas-pasan, pake baju juga asal-asalan. Terus, mau dapet jodoh ganteng? Situ sehat?” (Hal 54)
Judul : Gendut? Siapa Takut!
Penulis : Alnira
Cetakan : 2019
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tebal : 320 halaman
ISBN : 978-602-06-2860-8