[Resensi] Dokter di Jalan Kemanusiaan: Dedikasi Dokter Lie di Pelosok Negeri
Buku ini menceritakan tentang perjalanan hidup Lie Dharmawan. Ia adalah seorang dokter bedah yang menginisiasi terbentuknya DokterShare, Rumah Sakit Apung, dan Dokter Terbang. Pria kelahiran Padang ini dianggap “gila” oleh sebagian besar orang. Ia memiliki gagasan yang unik dan berani, yakni memberikan pelayanan kesehatan bagi kaum papa di pelosok negeri.
Salah satu idenya adalah membuat Rumah Sakit Apung (RSA) yang ia cetuskan pada tahun 2010. Namun, gagasan itu dicibir dan dianggap angin lalu oleh orang-orang. “Kita tidak mungkin mendirikan rumah sakit di setiap tempat. Jika mereka tak dapat mendatangi kita, mengapa bukan kita yang jemput bola dengan rumah sakit bergerak?” (hal 3). Akhirnya, RSA pun terbentuk pada tahun 2013, kemudian berlayar dan beroperasi dari ujung barat hingga timur perairan Indonesia. RSA memberikan pelayanan kesehatan secara cuma-cuma bagi warga miskin yang kesulitan mendapatkan pelayanan medis.
Tak cukup dengan itu, Lie mulai memikirkan nasib orang-orang yang tinggal di daerah pegunungan dan sulit mendapatkan pelayanan medis. Ia berpikir untuk memiliki pesawat sendiri, agar mudah menjangkau mereka yang ada di pelosok. Sehingga terbentuklah Dokter Terbang.
Kegigihan Lie untuk memberikan pelayanan kesehatan pada masyarakat tidak terbentuk begitu saja. Sejak kecil, ia bersikeras ingin menjadi dokter. Kematian adiknya di pengungsian karena diare akut, yang dilanjutkan dengan meninggalnya sang ayah, menjadi alasan kuat baginya untuk menjadi dokter. Sayangnya, impian itu mendapatkan banyak cibiran dari orang-orang. Wajar, saat itu pergi ke dokter merupakan sesuatu yang sangat mewah. Karena itu, ia ingin menjadi dokter agar bisa membantu orang lain.
Namun, perjalanannya untuk menjadi dokter penuh liku-liku. Pada awalnya ia ditolak berbagai kampus di Jawa. Kemudian, ia diterima di Ureca. Sayangnya, karena terjadi kemelut, ia tak bisa meneruskan kuliahnya di sana.
Semangatnya untuk kuliah kedokteran di Jerman tetap membara. Ia mengirim surat lamaran ke berbagai universitas di Jerman, disela kegiatannya membantu sang kakak berjualan. Selang beberapa saat, ia mendapat kabar bila diterima di Freie University. Sebelum pergi, Ibunya memberi nasihat. “Kalau kamu menjadi seorang dokter, jangan mengambil duit banyak, jangan mengambil duit orang miskin. Mereka akan membayar, tapi di rumah menangis karena tidak ada uang untuk membeli beras” (hal 40).
Perjuangan Lie tidak berhenti sampai di sana. Kehidupannya di Jerman penuh dengan kerja keras. Ia harus bekerja dan berhemat untuk bertahan hidup. Pekerjaan yang dilakukannya pun beragam, mulai dari bekerja di panti jompo hingga kuli. Meskipun sulit, ia terus maju dengan penuh keyakinan. Setelah lulus, ia belajar empat spesialisasi sekaligus (hal 64).
Setelah dua dekade, kehidupannya di Jerman menjadi lebih baik. Namun, seluruh kesuksesan itu, tak membuatnya ingin menetap di sana selamanya. Ia ingin mengabdikan dirinya untuk Indonesia demi kemanusiaan (hal 76). Ia ingin mewujudkan cita-citanya saat kecil, yaitu membantu orang lain.
Di Indonesia, semua ide-ide gilanya muncul. Bermula dari ide bedah jantung terbuka gratis, hingga mendirikan Dokter Terbang. Seluruh aktivitas sosialnya itu terus berlanjut dan semakin berkembang. “Seseorang yang dihargai dan menjadi besar bukan dari berapa banyak yang dapat dikumpulkan, tetapi berapa banyak yang dapat diberikan” (hal 95).
Biografi ini begitu inspiratif. Kisah perjuangan Lie dapat menjadi pelajaran bahwa sukses tidak datang begitu saja. Dibutuhkan kerja keras dan sikap pantang menyerah untuk mencapainya. Buku ini menegaskan bahwa sukses bukan semata-mata tentang apa yang kita dapat, tapi seberapa banyak kita memberi.
Yang paling penting, Lie tidak pernah lupa dengan tanah airnya. Jiwa sosialnya yang tinggi membuat hatinya terketuk untuk mengabdi pada bangsanya. Baginya, iman dan nasionalisme adalah dua komponen yang tak terpisahkan. Mencintai Tuhan dan Indonesia harus nyata dan diwujudkan dengan melayani sesama (hal 225).
Judul : Dokter di Jalan Kemanusiaan
Penulis : Sylvie Tanaga dan Basilius Triharyanto
Cetakan : Pertama, April 2018
Tebal : 228 halaman
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia
ISBN : 978-602-424-837-6
Resensi ini dimuat di Koran Jakarta pada tanggal 14 Februari 2019
1 comment found