Perpustakaan Kiwari di Luar Ekspektasi
Percaya atau tidak, pertama kali saya masuk ke perpustakaan adalah saat SMP. Padahal, minat baca saya cukup tinggi. Saya suka membaca berbagai cerita di buku pelajaran bahasa Indonesia lebih dari sepuluh kali. Pun meminjam majalah Bobo dari sepupu. Orang terdekat mengetahui, tetapi urung untuk memfasilitasi.
Ketika masih kecil, akses ke perpustakaan tidak mudah. Rumah saya berada di desa yang butuh waktu setengah jam untuk sampai di perpustakaan kota bila ditempuh dengan mengendarai motor. Jika naik kendaraan umum, harus berjalan kaki sekitar 10-15 menit sampai jalan raya, kemudian naik bus kurang lebih selama 30 menit. Karena dirasa cukup merepotkan, berkunjung ke perpustakaan urung dilakukan. Alhasil, hingga masuk SMP, saya hanya dapat membayangkan rupa perpustakaan itu seperti apa.
Saya sering mendengar bahwa perpustakaan itu membosankan dan selalu dipenuhi kutu buku. Saya coba membuktikannya di perpustakaan SMP. Awalnya, saya pikir sebagai seorang yang hobi membaca, melihat buku bertumpuk banyak adalah sesuatu yang menggembirakan. Nyatanya tidak.
Buku-buku itu justru membuat saya bosan setengah mati, karena hanya terdiri dari buku pelajaran. Ada pula buku cerita, tapi sedikit jumlahnya. Bukunya pun jenis lama yang warna kertasnya mulai menguning dan kecoklatan. Tak menarik sama sekali untuk dibaca. Ruangannya tidak terlalu terang, sehingga menyulitkan pemustaka untuk membaca. Wajar saja bila perpustakaan itu selalu sepi pengunjung. Ternyata perpustakaan memang semembosankan itu, ya? Saya sudah percaya!
Keadaan menjadi lebih baik ketika saya SMK. Perpustakaan di sana cukup layak. Variasi bukunya lebih banyak, sehingga saya juga semakin semangat untuk berkunjung. Selain buku pelajaran, ada juga novel, majalah, dan koran. Petugasnya sangat ramah, bahkan ketika saya terlambat mengembalikan buku. Hobi membaca saya sedikit demi sedikit kembali pulih seperti sedia kala.
Sayangnya, minat baca itu kembali menurun ketika awal masuk kuliah. Ada salah satu perpustakaan di kampus yang membuat saya tidak nyaman saat berkunjung ke sana. Ada banyak penyebabnya, mulai dari petugas yang kurang ramah, display buku tidak tertata rapi, hingga ruang baca yang kurang terang. Sungguh, setelah masuk ke sana, saya berpikir bahwa hobi membaca saya akan tidur lelap lagi
Label yang melekat pada perpustakaan zaman old adalah kaku dan membosankan. Bahkan saat saya kuliah pun masih ada perpustakaan yang kurang nyaman untuk dikunjungi. Banyak pula yang berpendapat bahwa tempat itu khusus diciptakan bagi para kutu buku dan orang pintar yang haus akan ilmu pengetahuan. Bila dipikir lagi, ternyata label perpustakaan sangat mengerikan ya, sehingga belum mampu menarik orang-orang untuk datang dan berkunjung.
Pendapat umum itu terbukti ketika saya mencoba bertanya pada beberapa kawan tentang pendapat mereka mengenai pemustaka. Bila disimpulkan, ternyata, banyak yang beranggapan bahwa pemustaka selalu mengerjakan hal yang serius saja. Sayang sekali, selain membosankan, ternyata banyak orang yang menganggap perpustakaan adalah tempat yang identik dengan kata serius.
Hal itu saya buktikan sendiri. Setiap kali saya mengatakan pada kawan-kawan bahwa ingin pergi ke perpustakaan, banyak yang menatap dengan pandangan ‘lain’ dari biasanya. Ketika saya jelaskan alasannya, ada yang menerima, tapi ada pula yang tak percaya dan justru memandang semakin aneh. Padahal, selama ini saya pergi ke sana karena ingin mencari hiburan, yaitu membaca novel.
Mungkin alasan saya ini terdengar aneh ya? Ketika orang lain mencari hiburan dengan piknik ke pantai, gunung, mall, atau tempat hiburan lain, saya malah ke perpustakaan. Banyak yang berpikir bahwa bukannya meredakan strees, saya malah tambah suntuk.
Saya paham kok. Karena memang label serius sudah disematkan pada perpustakaan. Jadi walaupun saya pergi ke sana dengan niat baca novel, orang-orang berpikirnya pasti lain. Dipikir saya ini sok pintar atau jenius yang mau belajar dan terus berkutat dengan literatur yang memusingkan kepala.
Perpustakaan kiwari perlahan mulai bertransformasi menjadi lebih kekinian dan menyenangkan. Mulai dari perpustakaan sekolah, hingga perpustakaan nasional, sama-sama berbenah. Bahkan kini juga hadir perpustakaan digital! Pemustaka bisa mengakses buku hanya bermodalkan smartphone atau tablet saja. Keren kan?
Berbagai fasilitas menarik ditawarkan pada pemustaka agar mereka betah untuk berlama-lama. Layanan yang disediakan di luar ekspektasi orang-orang. Saya yakin, label serius yang terlanjur disematkan akan lenyap seketika.
Saya mencoba mengambil sampel satu perpustakaan daerah di dekat rumah, yakni Grhatama Pustaka. Kamu pasti sudah tahu dan sering mendengar tentang ini kan? Perpustakaan inilah yang membuat saya giat kembali untuk membaca.
Grhatama Pustaka menawarkan layanan dan fasilitas yang berbeda. Apabila perpustakaan lain fokus pada fungsi perpustakaan sebagai sarana edukasi saja, maka Balai Yanpus DPAD DIY melakukannya lebih dari itu, yakni menjadikannya sarana rekreasi.
Fungsi rekreasi inilah yang dulu sempat tersingkir, sehingga belum banyak diketahui orang-orang. Sekarang ada banyak kegiatan yang diadakan, seperti kelas mendongeng, seminar, workshop, story telling, dan lainnya. Sudah pasti kegiatan yang diadakan tidak hanya menyenangkan, tetapi juga menambah wawasan.
Gambar di atas adalah layanan favorit saya yang disediakan oleh Grhatama Pustaka. Namun, itu baru seujung kukunya, loh. Masih banyak lagi hal-hal menarik dari perpustakaan kebanggaan warga Jogja ini. Kamu, jangan lupa mampir. Sekadar foto-foto pun tak apa. Lama-lama, kamu pasti akan tergoda untuk menjelajahi ruangan lainnya, termasuk ruang baca.
Banyak orang yang berpendapat bahwa pulau Jawa lebih maju dalam berbagai bidang bila dibandingkan dengan pulau lain di Indonesia. Pun dengan perpustakaan. Berbagai perpustakaan yang bagus, banyak ditemukan di Jawa, sebut saja Grhatama Pustaka, Perpustakaan Nasional, Perpustakaan UI, dan yang lainnya.
Asal kamu tahu saja, perpustakaan kekinian juga ada di luar Jawa, loh. Salah satunya adalah UPT Perpustakaan Unsyiah. Menurut saya, perpustakaan ini penuh kejutan. Tempat ini menawarkan berbagai fasilitas dan layanan yang menarik. Pastinya, memanjakan mahasiswa Unsyiah.
Perpustakaan yang terletak di jalan T. Nyak Arief, Kampus Unsyiah, Darussalam Banda Aceh ini sangat istimewa. Tempat ini tidak hanya dipenuhi mahasiswa akhir yang sibuk menyelesaikan skripsi, tetapi juga mahasiswa lain yang ingin mengembangkan potensinya.
Pada Senin sampai Jumat, buka mulai pukul 08.45-23.00 WIB, hari Sabtu pukul 08.45-18.30 WIB, serta hari Minggu pukul 14.00-18.30 WIB. Dengan jam buka yang lama, tentu mampu memuaskan para pemustaka untuk berkegiatan di sana.
Koleksi bukunya sangat banyak. Selain itu, terdapat pula koleksi lain, seperti jurnal, laporan akhir, skripsi, tesis, disertasi, serta majalah. Totalnya mencapai 75.114 judul atau 136.925 eksemplar. Bahkan ada juga yang bisa diakses secara online!
Dampaknya, jumlah kunjungan pun meningkat. Pemustaka tidak hanya mahasiswa Unsyiah saja, tetapi juga dari luar kampus. Jumlahnya cukup banyak, yakni hingga 26 orang tiap harinya. Tak ayal bila Perpustakaan Unsyiah diganjar akreditasi A dan sertifikat internasional (ISO 9001: 2008).
Setiap pemustaka wajib menitipkan tasnya di loker.
Imbauan itu pasti sering kamu dengar dan baca saat mengunjungi perpustakaan. Namun, perpustakaan Unsyiah menerapkan hal yang berbeda, loh. Pengunjung boleh membawa tasnya ke dalam ruang koleksi. Namun, dengan pemeriksaan petugas sebelumnya.
Sebenarnya, ini terjadi karena loker yang disediakan tidak cukup untuk pemustaka yang selalu banyak jumlahnya. Kebijakan ini terhitung sangat berani, karena buku perpustakaan tentu riskan hilang. Akan tetapi, dibalik risiko itu, kebijakan tersebut bisa menjadi pembentuk karakter jujur dari pemustaka.
Keunikan lainnya adalah memperbolehkan pengunjung untuk membawa makanan dan minuman ke ruang koleksi. Makanan yang dimaksud bukan makanan berat. Bawa saja camilan yang bisa membendung rasa lapar, beserta minumannya.
Peraturan itu tentu sangat diidamkan oleh pemustaka. Ketika tengah sibuk membaca buku, lalu tiba-tiba merasa haus atau lapar, tidak harus keluar untuk melegakan dahaga.
Hal menarik lainnya adalah Libri Cafe. Kamu pasti penasaran dengan kafe yang satu ini. Kafe ini adalah buah kerjasama Perpustakaan Unsyiah dengan Cofee Cho. Selain sebagai tempat untuk ngopi, tempat ini sering digunakan untuk berbagai event perpustakaan.
Salah satu kegiatan yang diadakan di Libri Cafe adalah Relax and Easy. Kegiatan ini menampilkan bakat mahasiswa, seperti menyanyi, sulap, tari, dan yang lainnya. Acara ini rutin digelar setiap hari Rabu pukul 14.00 WIB. Relax and easy sangat cocok untuk mengasah minat, bakat, serta kreatifitas.
UPT Perpustakaan Unsyiah juga menyelenggarakan berbagai ajang yang menumbuhkan jiwa kompetitif mahasiswa. Pertama adalah Library Unsyiah Award. Acara yang digelar dua kali selama setahun ini adalah penganugerahan bagi pemustaka aktif di Unsyiah.
Ada beberapa kategori yang dipilih, yakni dosen yang aktif dalam kelas literasi informasi, pemustaka paling aktif, dan peminjam buku terbanyak. Kegiatan ini merupakan apresiasi bagi pemustaka sekaligus sebagai motivasi agar aktif berkunjung di perpustakaan.
Kedua yakni Pemilihan Duta Baca Unsyiah. Acara yang satu ini memiliki rangkaian yang panjang. Mulai dari seleksi, kemudian tes tulis, wawancara, dan karantina, hingga masuk ke babak final. Persaingannya sangat ketat. Untuk tahun ini terpilih Nadya Tifani dan Furqon sebagai duta baca dan wakil duta baca Unsyiah.
Event ketiga yaitu Unsyiah Library Fiesta. Event ini selalu diadakan setiap tahunnya, dengan peserta umum. Tahun ini, Unsyiah Library Fiesta 2019 digelar dengan tema “Beyond Expectation”.
Acara ini berisi kegiatan dan lomba yang menarik. Tahun ini, panitia membuka empat cabang lomba, yakni lomba blog, baca puisi, akustik, serta debat. Beragam ya? Kamu bisa ikutan juga, karena terbuka untuk umum.
Seluruh kegiatan yang dilaksanakan UPT Perpustakaan Unsyiah dirangkum dalam majalah triwulanan, yakni Librisyiana. Dari majalah ini, kita bisa tahu perkembangan terkait literasi di sana.
Terobosan baru yang dilakukan Perpustakaan Unsyiah ini benar-benar menggugurkan pernyataan bahwa perpustakaan adalah tempat yang kaku, kuno, dan membosankan. Rasanya saya ingin terbang ke Aceh sekarang dan membuktikan sendiri betapa unik dan kerennya Perpustakaan Unsyiah ini.
Saya mengharapkan perpustakaan Unsyiah ini dapat menjadi contoh bagi perpustakaan lainnya. Bahwa perpustakaan tidak hanya berfungsi sebagai sarana edukasi, tetapi juga sebagai rekreasi, menyalurkan minat dan bakat, sekaligus menambah wawasan.
Kini, perpustakaan tidak hanya tempat bertumpuknya buku-buku saja loh. Perpustakaan mulai proaktif untuk mengadakan kegiatan edukatif. Selain untuk menarik perhatian pengunjung, juga sebagai ajang mengembangkan potensi pemustaka. Salah satunya adalah Unsyiah Library Fiesta2019 ini. Saya sangat senang dengan adanya lomba ini karena bisa menyalurkan minat saya dalam bidang tulis menulis.
Sebelum mengikuti lomba ini, saya sesekali ikut lomba yang diadakan oleh perpustakaan kampus. Alhamdulillah, saya berhasil menjadi salah satu pemenang pada event Libraryfipfestival yang digelar oleh Perpustakaan FIP UNY.
Selain itu, saya juga pernah menjadi pemenang dari kuis yang diselenggarakan oleh salah satu perpustakaan digital, yakni Ijakarta. Saat itu, peserta diminta menulis review novel yang berjudul Aku Tanpamu karya Rudi Efendy. Alhamdulillah, review yang saya tulis terpilih menjadi pemenang.
Bahagia sekali rasanya ketika bisa berpartisipasi dalam event yang digelar perpustakaan. Karena biasanya, lomba yang digelar sesuai dengan minat saya. Perihal menang atau kalah menjadi urusan nomor dua. Karena dengan ikut serta, artinya saya telah mengasah kemampuan juga.
Selain itu, perpustakaan juga memiliki andil dalam dunia kepenulisan yang sedikit demi sedikit saya tekuni. Awalnya, pada pertengahan tahun 2017, saya sering bolak balik perpustakaan untuk pinjam buku-buku baru. Kemudian saya belajar untuk membuat resensi.
Awalnya sih, resensi asal-asalan. Namun, lama kelamaan saya mencoba untuk lebih profesional, mulai dari ikut lomba resensi hingga mengirimkannya ke koran. Alhamdulillah, beberapa sudah berbuah manis. Sekarang, saya bisa mendapatkan penghasilan dari menulis resensi.
Untuk pencapaian saya yang satu ini, saya cukup puas. Karena saya bisa berprestasi dan menghasilkan sesuatu dari hobi. Asyik kan?
Itu tuh dampak perpustakaan untuk saya. Kalau untuk kamu, perpustakaan sudah berdampak apa saja?
Harapan agar perpustakaan di seluruh Indonesia terus berkembang tak pernah padam. Karena lewat tempat inilah ilmu itu dibagikan. Role model perpustakaan yang berani berlari mengejar zaman sudah ada, tinggal bagaimana niat untuk berkembang itu ada.
Harapan dari beberapa kawan saya di atas semoga bisa menjadi saran yang membangun. Semoga tidak ada lagi yang bilang bahwa perpustakaan hanya tempat bagi mereka para kutu buku. Tidak. Mind set itu harus diubah. Untuk mengubahnya, tentu harus diawali dari perpustakaan yang memberikan layanan yang melebihi harapan.
Sekian ulasan saya seputar perpustakaan kiwari yang ternyata sangat di luar ekspektasi. Semoga tulisan ini bermanfaat. Sampai bertemu di tulisan saya selanjutnya!
Sumber:
Majalah Librisyiana
https://www.instagram.com/grhatamapustaka/
https://www.instagram.com/libraryfipuny/
http://library.unsyiah.ac.id/data-pengunjung-luar-ke-perpustakaan-unsyiah-selama-seminggu-terakhir/
http://library.unsyiah.ac.id/jadwal-layanan-perpustakaan-unsyiah-mulai-normal-kembali/
2 comments found