Cerpen – Koneksi
“Bagaimana wawancaranya? Sukses?” Agil duduk di sampingku lalu mencomot bakwan di hadapannya. Sore ini, aku mengajaknya bertemu di angkringan langganan kami semasa kuliah, sekadar untuk berkeluh kesah. Diriku sudah penat dengan segala tekanan beberapa bulan terakhir. Seorang sarjana, cumlaude, tetapi masih menganggur. Apalagi aku adalah laki-laki, yang digadang-gadang memiliki masa depan cerah sehingga bisa membantu mamak mencari nafkah.
Dengan wajah sekusut kemeja yang belum disetrika, jawaban sudah terpampang nyata di dahiku. Akan tetapi, dia malah bertanya dengan santai, seolah tak mengingat penolakan dari banyak perusahaan yang kulamar sebelumnya. Bahkan pahitnya belum hilang kurasakan.
“Gagal,” Agil tak terkejut dan tetap mengunyah bakwannya.
“Pram, dunia kerja itu tak sehangat pelukan mamakmu. Semua orang bersaing merebut posisi. Yang menang hanyalah mereka yang pintar, beruntung, dan… punya strategi,” Agil memulai lagi nasihatnya.
Meskipun kurang peka, Agil adalah sosok yang cerdik dan pintar melihat peluang. Dia yang baru sebulan lalu wisuda, kini sudah bekerja sebagai staff marketing di kantor konsultan arsitek terkemuka. Berbeda denganku yang walaupun sudah enam bulan lulus, tak ada yang menganggapku becus. Buktinya tak satu pun lamaranku berbalas.
“Bukan perkara becus atau tidak, Pram. Kamu hanya terlalu polos dan kaku,” katanya. Sejak dulu aku memang tak pernah main-main dengan hidup. Semua tepat pada porsinya. Tak ada yang berlebih atau kurang.
“Besok kukenalkan dengan saudaraku. Kebetulan dia sedang mencari staff keuangan,” melihatku yang bersiap membantah, ia melanjutkan, “biar kamu nggak nganggur terus! Toh ini nggak melanggar hukum, Pram!”
Aku terjepit. Tawaran itu rasanya menarik, tetapi sangat bertolakbelakang dengan nuraniku. Prinsip yang kupegang teguh untuk tetap jujur, kini harus bertarung dengan realita yang menyesakkan. Sepertinya idealisme harus disingkirkan dulu untuk bertahan hidup.
Agil berdecak, gemas melihatku yang masih bimbang. “Pram, pejabat di atas sana saja dengan santainya maling uang rakyat! Maling, Pram! Tindakan melanggar hukum! Sedangkan kamu hanya lulusan baru yang mencari kerja berbekal koneksi. Kamu bukannya curang. Anggap saja itu privilege yang tidak semua orang miliki.”
Temanku itu memang cocok menjadi staff marketing. Rayuannya berhasil membuatku tergoda. Walaupun masih mengganjal, barangkali memang langkah ini yang harus aku coba. Tak tega rasanya melihat mamak setiap hari berdagang di pasar pada pagi buta. Memikirkannya, membuatku seperti pria yang tak berdaya. Pekerjaan tak punya, kekasih tidak ada, apalagi uang yang seperti tak nampak wujudnya. Uang masuk hanya berasal dari menjual pulsa. Alih-alih untung, aku justru rugi, karena banyak pelanggan yang pura-pura lupa membayar.
Berbekal keberanian dan sedikit merubah mindset, kuserahkan lamaran pada saudara Agil. Ajaib! Tak sampai dua hari, lamaran itu berbalas panggilan wawancara. Memang luar biasa yang namanya koneksi!
Esoknya adalah sesi wawancara. Kata Agil itu hanya formalitas belaka, karena aku pasti diterima. Meskipun begitu, semuanya tetap kupersiapkan dengan baik.
Di lokasi wawancara ternyata sudah ada tiga orang lain. Sama sepertiku, mereka berpakaian rapi. Namun, salah satu dari mereka membuatku terkesiap. Dialah perempuan berjilbab hitam yang menjadi kawanku pontang-panting mencari beasiswa semasa kuliah. Latar belakangnya sama sepertiku. Tak berdaya karena datang dari kalangan biasa .
“Naya, kamu mau wawancara di sini juga?” tanyaku cepat, berharap jawabannya tidak. Namun, dia malah mengangguk sambil menampilkan senyum lebar yang sudah kuhapal.
Aku menelan ludah. Menjegal teman sendiri tidak pernah ada di dalam kamusku. Namun, dengan berat hati kini aku harus melakukannya, demi menghempas label sarjana pengangguran yang sudah lama melekat.
Berbah, Januari 2022
Wening Niki Yuntari, lahir di Sleman pada bulan Juni. Menulis cerpen, puisi, dan resensi. Tulisannya telah dimuat di media cetak dan daring.
Cerpen ini telah dimuat di Kedaulatan Rakyat pada hari Jumat, 11 Februari 2022