[Cerpen] Bapakku Bukan Pencuri

[Cerpen] Bapakku Bukan Pencuri

Aroma bensin dan api masih menyengat dari sudut Gang Nakula. Pun dengan hawa panas, akumulasi emosi dari manusia yang bertindak seperti orang paling suci. Saksi bisu kejadian beberapa hari lalu ketika manusia berubah menjadi binatang buas. Akal dan tata krama dalam sekejap lenyap, kalah oleh bisikan setan, seolah mengatakan bahwa manusia adalah pengadil tertinggi.

Di sudut Gang Nakula, seorang pegawai laundry mati sia-sia. Abdul Zulkifli namanya, sering dipanggil Bang Kipli. Tubuhnya habis terbakar emosi manusia yang tak punya hati nurani. Otot, mulut, bensin dan sekotak korek api menjadi senjata ampuh. Setelah seorang yang hingga kini tak diketahui rimbanya meneriakinya maling, kerumunan manusia keji itu menghentikan laju sepeda tua Bang Kipli.

“Tidak tahu malu! Berani-beraninya kau mencuri pakaian mahal itu! Mau kau jual kemudian  kau belikan minuman keras, huh?” Teriak seorang pria berjaket coklat yang tampak mabuk. Matanya tak fokus.

“Dasar tak tahu diuntung! Cari rejeki dengan cara yang halal! Tahu saja kau kalau baju itu dijual, bisa dapat uang banyak,” sahut seorang pria tua berbaju koko putih. Dipundaknya disampirkan sarung dan sajadah. Sepertinya pria tua itu baru pulang dari masjid.

“Saya tidak mencuri, Pak. Saya mencari rejeki dengan halal. Saya ini tukang laundry. Sekarang habis mengambil baju yang….”

“Baju yang kau curi dan mau kau jual?” Seorang pria tinggi besar berwajah sangar memotong. Ia mendengus, muak dengan pembelaan dari Bang Kipli. “Lebih baik kita selesaikan di sini saja! Sekali pencuri, tetap pencuri! Mau sampai dunia kiamat kau tidak akan mengaku! Ayo kita selesaikan di sini. Dia harus segera diberi pelajaran agar paham!”

“Sekarang buka bajumu! Sudah tak punya malu kau mencuri. Tentu untuk telanjang bukan hal berarti!” Paksa pria tinggi besar berwajah sangar. Bang Kipli yang sempat membelalak dan menolak, kini tak kuasa melawan. Ditanggalkannya seluruh kain yang melekat padanya. Semua orang di sana tertawa menghina.

Setelah Bang Kipli telanjang bulat, satu pukulan dari pria berjaket coklat mendarat di perut Bang Kipli. Itu hanya permulaan. Selanjutnya tinju dari manusia biadab yang berkerumun di sana menyapa Bang Kipli satu persatu. Seluruh bagian tubuhnya tak lepas dari amukan mereka. Tulangnya patah, wajahnya membengkak, darah tak hentinya keluar dari hidung, mulut, dan telinganya.

Pria berbaju koko memberikan sebotol bensin pada pria tinggi besar berwajah sangar. Pria itu dengan kasar membuka penutup botol. Dituangkannya bensin itu hingga membasahi badan Bang Kipli yang berusaha melindungi kepalanya. Kerumunan orang itu sontak tertawa.

“Ini hukuman untuk pecuri sepertimu! Memangnya enak dipermalukan seperti ini?” pria berjaket coklat menyahut dengan semangat. Sejak tadi ia selalu menjadi pemimpin untuk menyoraki Bang Kipli yang berbaring menahan rasa kesal sekaligus malu.

Pembelaan dari Bang Kipli seakan tak berguna. Malah hanya dianggap sebagai alasan yang dibuat-buat. Ia sudah tampak lelah dan mulai menyerah. Tak berguna juga bila ia melawan. Ia tak akan menang. Ia akan mati dikeroyok oleh kerumunan pria dewasa yang ia perkirankan jumlahnya mencapai puluhan orang itu. Ia tak mau mati konyol. Mati karena kesalahpahaman.

Setan berbisik kembali pada kerumunan itu untuk segera memberikan nyala api pada Bang Kipli. Pria berbaju koko mengambil eksekusi. Diambilnya korek api dari saku celana, kemudian menyentuhkan nyala api pada ujung kaki Bang Kipli. Seketika api membakar tubuh pria malang yang sudah setengah sadar itu. Api membakar tubuhnya dengan cepat, mulai dari kaki hingga kepala. Rontaan dan teriakan minta tolong yang keluar dari mulut Bang Kipli tak digubris. Kerumunan itu malah tertawa, sangat menikmati ketidakberdayaan Bang Kipli.

Api itu membakar semua harapan Bang Kipli untuk keluarganya. Harapannya pulang lebih awal untuk membelikan anaknya yang masih TK tas baru, tinggal serpihan abu. Tawa istri dan lima anaknya tak akan dapat ia lihat lagi. Hal paling sedih adalah membuat anak dan istrinya harus berjuang sendiri, menghadapi kuasa emosi dan manusia yang bertindak sesuka hati. Ia menyesal tak dapat melindungi mereka lebih lama.

“Bapak!”

Jerit histeris anak perempuan Bang Kipli memecah kerumunan. Air matanya terus mengalir melihat api yang masih berkobar, membakar tubuh bapaknya yang tak seberapa besar. Ia berlari keluar kerumunan meminta seember air pada salah seorang yang rumahnya di sebrang Gang Nakula. Orang yang tadinya duduk santai menonton peristiwa itu seketika berdiri dan mengambilkan seember air.

Gadis remaja yang mengenakan seragam SMA itu menyiramkan air pada bapaknya yang masih diselimuti api. Setelah beberapa saat, api padam. Tubuh bapaknya berubah hitam dan kaku. Ia peluk erat bapak yang paling disayanginya itu. Ia terisak hingga nafasnya sesak.

“Tolong panggilkan ambulans! Saya mohon, tolong bawa bapak saya ke rumah sakit.”

Namun, tak seorang pun bereaksi. Beberapa orang masih setia menonton. Sedangkan yang lain, seperti pria berjaket cokelat, pria tinggi besar bermuka sangar, dan pria berbaju koko, mundur teratur, pergi selagi sempat. Mereka yakin polisi akan segera datang. Sebelum itu terjadi, melarikan diri adalah hal pertama yang harus dilakukan sebelum terlambat.

“Bapakmu itu pencuri! Dia mencuri baju mahal! Buat apa kami memanggilkan pertolongan hanya untuk pencuri sepertinya? Kau tidak waras?” Sahut seorang wanita yang sejak awal kejadian sudah menonton.

Isak tangis anak Bang Kipli semakin keras. Ia berteriak tak beraturan kemudian berdiri menarik kerah baju wanita itu. Ia guncang-guncangkan wanita itu yang malah membalas menjambak rambutnya.

“Tega sekali kau bilang begitu! Bapakku juga manusia, sama sepertimu. Kau tidak akan tega bilang seperti itu bila bapakmu ada di posisi bapakku. Bapak bukan pencuri! Kau hanya burung beo yang mengikuti dan mempercayai begitu saja apa yang dikatakan orang tanpa tahu kebenarannya. Lalu kau menyebar fitnah keji yang menyebabkan bapakku mati seperti ini! Kau jahat! Kalian jahat! Argh!” Gadis itu berteriak kencang di depan wajah wanita tadi.

Wanita itu pergi dengan langkah kasar setelah melepas paksa tangan gadis itu dari kerah bajunya. Satu per satu orang yang berada di kerumunan tadi juga mulai menyingkir. Mereka tak mau terlibat dengan kejadian yang baru saja terjadi. Lebih baik pergi sebelum polisi menghampiri. Mereka tidak mau dikenai pasal tindak pelanggaran kemanusiaan, hanya diam saat melihat ketidakadilan.

“Kenapa nasibmu sebegini malang, Pak. Bahkan mereka yang mencuri uang rakyat saja nasibnya lebih baik darimu. Kenapa?”

Gadis itu terus berteriak tentang hidup bapaknya yang berakhir di tangan orang tak bertanggung jawab. Ia bersumpah akan menuntut keadilan bagi bapaknya yang mati sia-sia. Meskipun ia sendiri tak yakin akan menang, karena ia tak memiliki banyak uang.

SELESAI

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: