Tantangan Pembelajaran Daring pada Masa Pandemi
Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-COV-2) atau akrab disebut korona adalah virus yang sudah delapan bulan ini menjadi momok masyarakat. Virus tersebut pertama kali ditemukan di Wuhan, China pada akhir Desember 2019. Penularannya sangat cepat dan sudah menyebar ke banyak negara, termasuk Indonesia. Tak ayal bila tanggal 11 Maret 2020, WHO menetapkan wabah ini sebagai pandemi.
Penularan yang cepat dan masif membuat banyak orang menjadi waspada. Peningkatan kasus positif virus ini di Indonesia juga cukup tinggi, mencapai lebih dari 4.000 orang per hari. Hal tersebut ditambah dengan belum ditemukannya vaksin, sehingga membuat khalayak selalu diliputi perasaan was-was saat sedang beraktivitas di luar rumah.
Pada awal merebaknya virus ini di Indonesia, banyak instansi yang menerapkan work from home. Keselamatan dan kesehatan menjadi fokus utama. Pemerintah tak lupa mengampanyekan pada masyarakat untuk mematuhi protokol kesehatan, seperti memakai masker dan cuci tangan menggunakan sabun. Meskipun beberapa kali menjadi polemik, kini hal tersebut sudah menjadi sebuah kelaziman baru.
Belajar dari Rumah
Salah satu sektor yang terdampak cukup signifikan adalah pendidikan. Setelah kasus pertama Covid-19 terdeteksi, banyak sekolah mulai menerapkan pembelajaran jarak jauh atau yang lebih akrab disebut pembelajaran daring. Guru memberikan materi dan tugas melalui whatsapp, google classroom, atau zoom meeting, kemudian hasilnya dikumpulkan via daring.
Sistem tersebut tentu memiliki dampak positif dan negatif. Positifnya, muncul kolaborasi anatara orang tua dan guru, percepatan transformasi pendidikan yang sesuai dengan relovusi industri 4.0, serta menciptakan kedekatan antara anak dan orang tua.
Namun, dampak negatifnya, pembelajaran hanya berjalan satu arah. Beberapa guru, hanya memberikan materi dan tugas, kemudian siswa mengirimkan hasil kerjanya. Begitu terus tanpa ada feedback yang berarti dari guru. Akibatnya, siswa tidak memahami materi yang diberikan. Peran dan kedekatan emosional antara guru dan siswa juga tidak terbentuk.
Tantangan Pembelajaran Daring
Artikel di kompas.com terkait pengalaman siswa melakukan pembelajaran daring, menunjukan bahwa banyak siswa yang ingin segera kembali belajar di sekolah. Hal tersebut sesuai dengan survei Sahabat Keluarga Kemendikbud, UNICEF pada pada Mei dan Juni 2020 lalu. UNICEF menerima lebih dari 4.000 tanggapan dari siswa di 34 provinsi Indonesia.
Menurut survei tersebut, sebanyak 66 % dari 60 juta siswa dari berbagai jenjang pendidikan mengaku tidak nyaman belajar di rumah selama pandemi Covid-19. Dari jumlah tersebut, 87 % siswa ingin segera kembali belajar di sekolah. Â Keinginan tersebut, kemungkinan disebabkan oleh berbagai kendala yang dirasa cukup membebani mereka.
Beberapa kendala tersebut telah dijawab SMRC melalui survei yang dilakukan mengenai tantangan siswa ketika pembelajaran diselenggarakan di rumah. Dari 3.839 tanggapan, sebanyak 38% merasa kurang bimbingan dari guru. Tantangan lainnya adalah akses internet yang tidak lancar, tidak memiliki gawai yang memadai, tidak bisa mengakses aplikasi belajar online, dan kurang dampingan dari orang tua.
Berbagai hambatan tersebut hendaknya menjadi perhatian sekolah, pemerintah, dan orang tua. Bahwa pembelajaran daring tidak akan maksimal tanpa dukungan ketiga elemen tersebut. Guru hendaknya selalu mengevaluasi metode mengajar daring, sehingga menemukan cara yang tepat.
Pandemi ini tidak bisa diprediksi dengan pasti waktu berakhirnya. Karena itu, kita seharusnya segera berbenah dan bergerak mempersiapkan amunisi untuk kemungkinan terseburuk.
Dukungan Orang Tua
Melakukan pembelajaran daring erat kaitannya dengan dukungan orang tua, mulai dari pemberian fasilitas hingga semangat. Hal inilah yang kadang terlupakan, terlebih untuk anak sekolah dasar yang masih kesulitan memahami konsep. Pendampingan ayah dan ibu menjadi sangat penting. Karena, guru tidak bisa menjelaskan secara langsung.
Namun, tidak semua orang tua dapat mendampingi anaknya belajar dengan maksimal. Bisa jadi karena sibuk bekerja atau kurang paham menggunakan perangkat untuk pembelajaran daring. Salah duanya seperti tangkapan layar di bawah yang menunjukan emak-emak sudah angkat tangan mendampingi buah hatinya belajar.
Sebaiknya bapak atau emak meluangkan waktu untuk membimbing buah hati belajar sesibuk apa pun. Tak ada yang lebih indah dibanding mengetahui perkembangan anak dari yang lugu menjadi serba tahu. Manfaatkan masa emas anak dengan semaksimal mungkin.
Tak hanya sekolah dasar, siswa pada tingkatan di atas dan di bawahnya juga membutuhkan hal serupa. Mengingatkan jadwal pembelajaran daring, mengecek tagihan tugas, menanyakan kesulitan anak, atau sekadar memberikan segelas es cendol sebagai penawar rasa lelah.
Berbicara tentang cendol, orang tua juga dapat menjadikannya sebagai objek pembelajaran. Ibu dapat mengajak anak membuatnya. Libatkan mereka dalam proses menimbang, memasak, dan mencetaknya. Kemudian minta mereka untuk menyajikan segelas es cendol sesuai dengan kreasi sendiri.
Dari situ, buah hati dapat belajar mengukur berat, berkreasi, dan mengikuti prosedur pembuatan. Lebih dari itu, mereka juga dapat belajar untuk menghargai setiap makanan atau minuman, karena proses pembuatannya tidak instan.
Untuk yang siswa yang sudah SMP atau SMA, bisa diajak untuk berdiskusi perihal alternatif bahan, cara membuat, atau cara pemasaran. Ajak anak untuk berpikir kritis dan mencari jalan keluar dari suatu permasalahan.
Harapan
Pandemi lekas selesai dan semuanya kembali normal lagi. Itulah harapan setiap orang. Akan tetapi kita sama-sama tahu bahwa segalanya tidak akan pernah menjadi sama. Pandemi ini akan menorehkan sesuatu yang baru di masa depan. Semoga torehannya adalah sesuatu yang baik. Aamiin.
#ODOP
#OneDayOnePost
#ODOPBacth8
#TantanganPekan7