[Cerpen] Keliru
“Aku sedang buru-buru, Dek. Acaranya sudah mau mulai. Bisa nggak sih kamu serius sebentar?” Kina mulai kehilangan kesabaran saat menghadapi adik kelas di depannya. Satu hal yang membuat perempuan itu kesal adalah ekspresi adik kelasnya yang pura-pura tidak tahu. Tidak tahu saja dia kalau Kina sudah dikejar waktu.
“Aku beneran nggak tahu yang kamu mak….” sebelum lelaki itu menyelesaikan sanggahan, Kina memotong cepat.
“Gimana bisa nggak tahu? Jelas-jelas kemarin aku kasih stopmap itu ke kamu dan lihat dengan jelas kamu bawa ke sekretariat.”
“Aku emang nggak ta….”
“Sekarang kamu ingat-ingat ya, Dek. Ini acara udah mau mulai. Sertifikat di stopmap itu mau dikasih ke narasumber di akhir acara nanti. Sampai pontang panting aku cari tanda-tangannya!”
Kina semakin kalang kabut. Dia adalah koordinator seksi humas pada kepanitiaan ini. Apabila sampai saatnya tiba tapi sertifikat yang sudah ditanda tangani tak ditemukan juga, bisa digantung hidup-hidup dia oleh Putra, si ketua panitia.
Gadis itu sudah tak mau ingin tahu lagi. Menanyakannya pada Trian, adik tingkatnya itu juga tidak berguna. Padahal berani sumpah demi apa pun, ia kemarin melihat Trian membawa stopmap itu ke dalam sekretariat. Namun, hari ini tiba-tiba dia memasang wajah polos seolah tidak tahu apa-apa.
Dia membongkar lemari, mengintip di bawah meja, serta menyusuri sudut hingga sudut sekre. Namun, hasilnya nihil. Tak ia temukan apa pun di sana. Matanya mulai memerah, menolak rasa takut yang mulai menggerogotinya. Bagaimana jika stopmap itu hilang? Kertas-kertas dalam stopmap itu sangat penting. Ia tak mau direpotkan dengan tetek bengek mencari tanda tangan petinggi di fakultasnya. Ia harus bertanggung jawab atas semua itu. Otaknya seperti mau konslet saat memikirkannya.
“Stopmapnya warna apa?” cowok yang sejak tadi disebut Kina sebagai Trian akhirnya angkat bicara. Wajahnya yang masih menyiratkan rasa bingung, mencoba beradaptasi dengan situasi. Sekalipun ia sudah dimaki-maki, rasanya tak tega melihat perempuan itu sibuk sendiri.
“Cukup!” Kina berteriak kesal, “Kamu itu yang kemarin bawa stopmapnya, Trian. Bisa-bisanya sih kamu lupa?” gadis itu mulai melupakan panggilannya untuk si adik tingkat. Dadanya naik turun menahan rasa marah. Marah karena dipermainkan oleh situasi yang alurnya tak pernah ia duga akan seperti ini. Gadis itu menarik napas panjang, untuk mengontrol emosi, lalu menghembuskannya perlahan.
“Merah, ukuran folio,” lanjutnya.
Mereka berdua mulai mengobrak-abrik sekretariat untuk mencari stopmap keramat yang hilang. Tak ada orang lain di ruangan itu, karena yang lain sudah beranjak ke aula tempat acara dilaksanakan. Tetes air seukuran butiran jagung mulai nampak di dahi dan pelipis Kina. Sembari tangannya sibuk menyibak barang apa saja yang dilihat, benaknya tak berhenti berdoa agar benda keramat itu ditemukan dengan selamat tepat waktu.
Sekretariat sudah layak dikategorikan seperti kapal pecah. Kursi sudah tak berada di tempatnya, kertas-kertas berceceran di lantai, lemari sudah melompong karena isinya seluruhnya dikeluarkan. Namun, hal itu tak serta merta membawa kabar baik. Stopmap yang hilang itu tak bisa mereka temukan selama dua puluh menit membongkar ruangan itu.
“Kamu yakin meletakannya di ruangan ini?” Cowok itu memecah keheningan. Matanya menatap Kina yang sudah meneteskan air mata. Kulit wajahnya yang gelap terlihat kusam akibat berurusan dengan debu dan air mata yang sudah perlahan mulai meleleh di pipinya. Ia menangis tanpa suara, yang membuat cowok itu bingung, karena situasi ini justru lebih terasa mengerikan daripada tadi.
“Kok kamu malah nangis sih?”
“Ya ini gara-gara kamu! Kamu itu gimana sih? Kan kemarin aku sudah bilang, taruh stopmap itu di lemari biar nggak hilang. Tapi kamu, ahh,” katanya sambil menghapus air mata.
“Tapi aku benar-benar nggak ta….”
“Mau bilang nggak tahu lagi? Trian, kamu memang adik kelas dan ini adalah tahun pertama kamu ikut organisasi. Melakukan kesalahan adalah hal wajar, karena organisasi ini memang tempat belajar. Tapi, kenapa kesalahan yang kamu buat harus terjadi sekarang?”
“Apa? Adik kelas?” cowok itu tampak terkejut. Satu kesimpulan mulai semakin jelas tercetak dalam benaknya.
“Kenapa sih? Kamu nggak usah sok kaget begitu. Toh nyatanya memang begitu kan?” Kina mendengkus lelah, “kamu tetap di sini saja. Aku akan bilang ke teman-teman yang lain kalau sertifikat pembicaranya hilang. Nanti untuk dokumentasi biar pakai stopmap kosong dulu aja.”
“Arghh, habis ini Putra pasti akan menggorok leherku!”
Cewek itu menghapus air matanya, lalu beranjak keluar ruangan. Namun, ia tiba-tiba berhenti ketika muncul seorang laki-laki yang terengah-engah di depan pintu. Mata Kina terbelalak, lalu mengarahkan pandangannya pada cowok yang disebutnya Trian tadi.
“Mbak, kamu itu ngapain di sini? Acara sudah mulai! Kenapa kamu malah di sini bukannya mengarahkan kami?”
Kina terkesiap, tak mampu mengucapkan apa pun. Beragam asumsi berputar cepat di benaknya. Cowok di depannya adalah Trian. Lalu, yang sejak tadi ia marahi siapa? Kenapa dia ada di sekretariat?
“Kamu Trian?” Cowok itu tiba-tiba bertanya.
“Iya. Kenapa, Mas?”
Lelaki itu tergelak. Ia tertawa kencang sampai membungkuk memegang perutnya. Situasi ini sangat tidak diduganya. Apalagi ketika melihat reaksi Kina yang saat ini hanya dapat diam mematung. Rasa malu, bersalah, dan beragam perasaan lain bergumul dalam benaknya. Sedangkan Trian, hanya mengamati dua orang yang memberikan respon yang sangat berbeda itu.
“Sertifikatnya?” tanya Kina setelah berhasil mengendalikan dirinya lagi.
“Mbak Kina lupa ya? Kemarin sudah dikasih ke aku. Tadi sudah aku bawa ke aula.”
Kedua lutut gadis itu tiba-tiba lemas, seolah tulangnya menghilang disapu angin. Ia hampir ambruk, kalau saja cowok yang tadi dimarah-marahi tidak menahan kedua lengannya. Gadis itu sangat lega, mengingat tak jadi mati di tangan Putra. Ketika sadar dengan posisinya yang tidak enak dilihat ini, ia segera bangkit.
“Hmm, makasih,” cicit cewek itu.
“Dan… maaf tadi sudah marah-marah ke kamu. Aku salah mengenali orang,” lanjutnya dengan malu-malu. Siapa coba yang tidak malu setelah marah-marah tidak jelas pada orang yang sama sekali tidak terlibat?
“It’s okay. Nggak masalah kok,” jawab cowok itu sambil menahan tawa.
“Ayo, Mbak. Aku ke aula dulu. Segera nyusul ya.”
Kina mengangguk seiring dengan berlalunya Trian. Kini hanya tinggal dirinya dan orang yang tadi telah ia maki-maki. Ia bingung untuk memulai pembicaraan, tanpa harus mengungkit kesalahan beberapa saat yang lalu.
“Aku… juga mau ke aula. Maaf tadi sudah salah mengenali kamu.”
“Oke,”
Kina berjalan keluar dari sekretariat sambil menahan rasa malu. Kalau teman-temannya sampai tahu, bisa hancur reputasinya. Ia tak henti merutuki ketidaktelitiannya dalam mengenali orang. Bodoh, bodoh, bodoh. Kutuknya pada diri sendiri.
“Kina!”
Cewek itu berbalik menatap bingung cowok tadi. Bagaimana dia bisa tahu namanya? Seingatnya tadi, ia belum berkenalan dengannya.
“Aku dan Trian sepertinya nggak mirip sama sekali,” cowok itu tersenyum kecil, “aku jelas lebih ganteng.”
BOOOOM! Wajah perempuan itu sontak memerah. Satu kalimat itu menamparnya telak. Ya. Ia memang kurang pandai mengenali orang, hingga bisa salah mengenali dua orang yang sangat berbeda. Gadis itu membalikan badannya lalu berlari, menghindari situasi yang membuatnya malu ini.
Di tengah perjalanannya menuju aula Kina baru sadar bahwa belum mengucapkan kata maaf pada cowok itu karena melakukan itu tadi.
Selesai