Tentang Niki dan Hidup yang Penuh Misteri

Tentang Niki dan Hidup yang Penuh Misteri

Nama saya Wening Niki Yuntari, bisa dipanggil Wening, tapi lebih sering disapa Niki. Saya adalah perempuan mungil yang sering diledek kurang gizi oleh teman sepermainan. Meskipun bertubuh kecil, saya punya mimpi-mimpi dan berusaha untuk menggapainya suatu saat nanti.

Berbicara mengenai impian, rasa-rasanya tidak semudah itu didapatkan. Saya mulai akrab dengan kata gagal semenjak lulus SMK. Ada saja halangan dalam mencapai tujuan.

Berjumpa Kegagalan

Saya selalu teringat sebuah ungkapan, teruslah bermimpi, karena mimpi akan membuatmu hidup. Saya hidup bersama impian yang kebanyakan masih dalam angan dan sedikit di antaranya telah menemui kata gagal. Lelah seringkali menghampiri, tapi saya berusaha menghalaunya pergi.

Sejujurnya, saya memilih SMK agar bisa langsung kerja selepas sekolah. Sebagai sulung dari dua bersaudara, tentu ada beban tersendiri di pundak untuk segera membantu orang tua. Namun, entah mendapat ilham dari mana, pada semester terakhir sekolah, keinginan untuk kuliah sangat menggebu-gebu.

Karena keinginan itu mendadak muncul dan kurang persiapan, membuat saya gagal masuk ke PTN pada tahun pertama. Rasanya sedih sekali saat itu. Apalagi ketika melihat teman-teman sudah berhasil. Kesedihan itu membuat saya merasa sangat bodoh dan tidak berguna sebagai anak pertama. Bukankah sulung biasanya selalu membanggakan?

Saya berusaha bangkit dan bertekad untuk mencoba lagi tahun berikutnya. Selama menunggu pendaftaran dibuka, saya bekerja di sebuah kantor konsultan sebagai staf administrasi. Di sela kesibukan, saya sempatkan belajar, kadang sewaktu makan siang atau saat pekerjaan sudah longgar.

Setiap hari Minggu, saya sempatkan untuk melakukan try out. Saya sadar diri, untuk menggapai sesuatu dibutuhkan kerja keras. Apalagi saya berasal dari keluarga yang minim previlege. Effort yang harus dikeluarkan tentu jauh lebih besar.

Melihat teman-teman yang lebih dulu mencicipi bangku kuliah, kadang membuat saya rendah diri. Apalah saya dengan segala kekurangan dibandingkan mereka. Saya merasa bahwa akan sangat tertinggal. Satu tahun adalah waktu yang panjang. Saya takut akan melewatkan banyak hal dan menjadi orang terbelakang.

Berjalan di Jalur yang Salah

“Kayaknya kamu udah stres deh, Nik. Kok kamu malah milih PGSD sih? Apa juga ini? Kamu milih Sastra Indonesia? Apa hubungannya sama jurusan kita dulu waktu sekolah? Gila kamu!”

Setahun nyatanya lekas berlalu. Saya kembali berkumpul dengan teman sekolah yang masih berjuang. Pilihan jurusan, membuat mereka mengatai saya gila. Jurusan lain yang membuat mereka mengernyitkan dahi adalah PGSD dan Sastra Indonesia. Mereka mengira, saking stressnya menunggu, saya jadi asal memilih jurusan.

Nyatanya tidak. Selama setahun, saya banyak merenung dan mempertimbangkan berbagai hal, tentang apa yang saya sukai dan yang ingin saya lakukan. Tak melulu dari diri sendiri, pendapat orang tua juga ikut saya pertimbangkan. Saya menyadari bahwa pada tahun pertama, saya terlalu mendewakan ego. Jadi, tiga jurusan pilihan saya itu bukan muncul karena stres, tetapi setelah melalui proses pemikiran yang cukup panjang.

Kejutan! Ternyata saya diterima di jurusan PGSD. Sebuah jurusan yang sejak dulu tak pernah ada dalam bayangan. Jadi guru? Tak pernah sekalipun ada dalam daftar impian saya. Namun, saya percaya bahwa Allah lebih tahu yang terbaik untuk hambaNya.

Kegagalan yang saya alami setahun yang lalu, seolah menjadi tamparan agar saya sadar. Bahwa selama ini, saya sudah salah memilih jalan. Melalui kegagalan, Allah ingin meluruskan jalan saya yang sebelumnya sudah berbelok cukup banyak, agar kembali ke track yang benar.

Takdir menjadi Guru SD

“Siapa di kelas ini yang berasal dari SMK?”

Pertanyaan dosen itu mau tak mau membuat saya mengacungkan tangan, sendiri. Latar belakang saya dan teman-teman sekelas jauh berbeda. Bisa dibilang saat itu saya merasa minder. Mayoritas dari mereka memang sudah siap untuk melanjutkan kuliah. Saya? Kalau tidak mendapat ilham pada detik terakhir, tak akan saya jadi mahasiswa.

Namun, hal itu membuat saya harus berusaha dua kali lipat lebih banyak. Apalagi, saya tidak memiliki bakat untuk mengajar dan kemampuan komunikasi yang buruk. Tidak ada lagi waktu untuk bersantai dan menikmati waktu senggang seperti yang lain.

Akan tetapi, praktiknya saya justru lebih banyak bersantai. Saya merasa bahwa menjadi mahasiswa itu sangat menyenangkan, terlebih sebelumnya saya pernah bekerja, jadi merasakan betul perbedaannya. Saya manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya untuk rehat barang sejenak.

Kesadaran mulai menyelinap, saat sudah memasuki paruh akhir semester. Saya merasa tidak berkembang menjadi pribadi berbeda dari awal masuk hingga menjelang lulus.

Menjadi Penulis?

Saya coba cari, ke sana ke mari, mencari potongan yang hilang itu. Suatu hari, saya dipertemukan dengan seseorang yang ‘menarik’ saya kembali ke dunia yang telah cukup lama ditinggalkan, yakni membaca dan menulis.

Pada paruh akhir masa kuliah, saya justru baru memulai semuanya. Saya mulai belajar cara menulis yang baik, bloging, meresensi, menulis fiksi, puisi, dan yang lainnya. Bermodalkan materi yang ada di internet, saya coba semuanya.

Saat itu juga saya merasa Allah sangat baik pada hambaNya. Pada semester enam, saya membutuhkan biaya untuk tugas perkuliahan dan persiapan KKN serta PLT. Meminta pada bapak dan ibu sudah pasti menjadi opsi terakhir. Saya sempat kebingungan, tetapi Allah selalu memberikan jalan.

Saya mulai mencoba meresensi buku untuk dikirimkan ke koran. Sebelumnya, saya hanya menulis resensi untuk diposting di blog. Akan tetapi, hobi yang baru saya tekuni itu justru memberikan peluang.

Saya mulai mendalami dunia resensi kemudian memberanikan diri mengirimkannya di koran. Alhamdulillah, usaha itu berbuah manis. Bahkan, honor menulis itu bisa membantu mengurai problem yang tengah saya hadapi.

Menjadi Guru SD

“Saya ndak mau jadi guru, Ra. Gajinya kecil. Saya kayaknya mau fokus nulis aja deh. Inshaallah bisalah honornya buat bantu Bapak Ibu,” ucap saya pada Rara, teman saya pada awal Januari 2020, sebulan setelah wisuda.

Percaya atau tidak, selepas berkata seperti itu, saya kebingungan karena kehilangan mata pencaharian. Mau dibawa ke mana hidup saya? Mengapa ketika saya sudah menentukan langkah hidup, Allah tiba-tiba menutup jalan itu?

Bayangkan saja, saya sudah sarjana tapi sebulan setelah wisuda tak juga punya kerja. Tetangga dan sanak saudara tentu terus bertanya-tanya. Malam itu, saya sampai tidak bisa tidur memikirkannya.

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesunggunya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS Al Insyirah ayat 5-6)

Saya percaya bahwa Allah akan selalu memberikan jalan. Saya juga percaya bahwa jalan hidup setiap orang sudah tertulis di Lauhul Mahfudz. Kamu bisa meniru usaha orang lain, tapi tidak dengan rejekinya, karena semua sudah ditakar berbeda-beda oleh Allah.

Nyatanya, sore hari setelah kehilangan salah satu sumber pemasukan, tiba-tiba informasi lowongan guru SD mampir di hape. Lokasinya cukup dekat dari rumah. Pun saya sudah pernah mengantar teman saya untuk penelitian di sana.

Karena sudah kepepet dan tidak mau jadi pengangguran, saya masukan lamaran ke sana. Apakah kamu tahu? Saya langsung diterima, tanpa tes, dan langsung bisa bekerja esok hari. Saya merasa disadarkan lagi oleh Allah, bahwa kemarin hampir mengambil jalan yang salah.

Sepertinya Gusti Allah benar-benar ingin saya menjadi seorang guru. Berkali-kali saya menemui kegagalan setiap saya mencoba mengambil jalan lain. Ternyata jawaban dari kegagalan yang saya alami selama ini adalah itu. Wah, hidup ini memang penuh dengan misteri.

Menyebarkan Virus Literasi

Saya tidak mau hanya sekadar menjadi guru yang bertugas untuk mengajar dan mendidik muridnya. Akan tetapi, saya juga ingin menularkan virus literasi pada anak-anak dan menumbuhkan rasa senang membaca serta menulis pada mereka. Apalagi siswa sekolah dasar masih mudah untuk dibentuk kebiasaannya.

Lagi-lagi, Allah memberikan kejutan. Sekolah tempat saya mengajar tengah menggalakan gerakan literasi sekolah (GLS). Betapa hidup itu penuh kebetulan!

Postingan kali ini sepertinya lebih mirip ke curhatan ya, atau refleksi, hehehe. Eh, tapi kayaknya masuk lini artikel sih. Terima kasih ODOP, sudah membuat saya menuliskan ini semua.

“… boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi pula kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al Baqarah [2]: 216)

Kegagalan bukanlah kegagalan kalau kamu tetap berjalan maju. Jangan pernah putus asa dan berprasangka buruk pada Allah. Kegagalan yang dialami membuat saya merasa bahwa Allah tidak adil. Tapi nyatanya, melalui kegagalan itulah Allah menyelamatkan dan mengarahkan saya ke jalan yang benar. Tetaplah berprasangka baik pada Allah. Semangat semuanya! Sampai jumpa di postingan selanjutnya!

#OneDayOnePost

#ODOP

#ODOPChallenge3

6 comments found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: