Lulusan Kampus Pendidikan Harus Jadi Guru?

Lulusan Kampus Pendidikan Harus Jadi Guru?

“Kamu besok mau kuliah di mana, Nik?”

“Kalau enggak UNY, UNS, ya UPI.”

“Hah? Kamu mau di sana emang mau jadi guru?”

“Lah, emang kalau lulusan kampus yang mayoritas jurusannya pendidikan, harus jadi guru juga gitu?”

Dua tahun yang lalu saya ingat pernah melihat video di Youtube tentang kehidupan mahasiswa di salah satu kampus pendidikan. Si vlogger bertanya, “sebagai mahasiswa kampus yang dulu lekat dengan sebutan IKIP atau sekolah guru, kelak ingin menjadi guru atau apa?” Kalian tahu jawabannya? Si mahasiswa itu menjawab dengan tegas kalau tidak ingin menjadi guru.

Eits, tenang dulu. Kenapa hal itu bisa terjadi?

Pertama, mahasiswa tersebut bukan berasal dari jurusan pendidikan. Ada jurusan juga yang namanya menyerempet pendidikan, tapi tujuan kuliahnya tidak menyiapkan mahasiswa untuk menjadi tenaga pendidik, melainkan tenaga kependidikan. Beda? Tentu saja. Tenaga pendidik adalah guru. Sedangkan tenaga kependidikan bisa jadi adalah staff tata usaha atau administrasi.      

Sebelumnya, saya mau bilang kalau kampus yang dulunya IKIP alias sekolah guru, jurusannya nggak hanya kependidikan saja loh. Ada juga jurusan non kependidikan. Kampus saya dulu juga namanya adalah IKIP, tetapi membuka jurusan ilmu murni juga kok. Contohnya adalah akuntansi, ilmu komunikasi, sastra, dan masih banyak lagi.

Karena itu, bukankah hal yang wajar bila ada mahasiswa ‘IKIP’ yang tidak memilih guru sebagai profesinya nanti?

Lulusan Prodi Keguruan Tidak Menjadi Guru?

Fenomena ini sudah banyak terjadi sejak zaman dulu. Ada beberapa tetangga saya yang lulusan jurusan kependidikan malah bekerja kantoran. Mereka bilang menjadi guru itu kurang sejahtera, gajinya sedikit. Apalagi untuk mereka yang masih fresh graduate dan belum menyandang status pegawai negeri sipil. Hidup harus prihatin.

Saya jadi ingat, dulu ketika saya masih SMK, ada seorang mahasiswa yang praktik mengajar di sekolah saya. Mahasiswa itu berasal dari jurusan Pendidikan Akuntansi. Ketika mengajar di kelas saya, terjadi percakapan yang sampai sekarang masih saya ingat betul.

Murid  : “Bu, besok kalau sudah lulus mau jadi guru ya?”

Mbak-Mbak PPL     : “Enggak. Memang kenapa?”

Murid  : “Lha kok bisa? Kan kuliahnya jadi guru kan, Mbak?”

Mbak-Mbak PPL     : “Nggak harus. Bukankah yang penting adalah mengaplikasikan ilmu yang telah didapat? Tidak harus lewat sekolah. Bisa lewat perusahaan juga. Bahkan sekarang saya sudah ditawari kerja oleh salah satu perusahaan di Kalimantan.”

Murid  : “Ohh.”

Penuturan Mbak-Mbak PPL itu diperkuat dengan teman sekelas saya di kampus yang sudah bertekad untuk menjadi teller bank selepas kuliah, alih-alih sebagai guru! Oh iya, saya sendiri kuliah jurusan pendidikan guru sekolah dasar. Sudah jelas dong, prospek ke depannya jadi apa?

Bukankah mengherankan? Untuk apa mendalami berbagai hal yang nggak akan kamu gunakan saat bekerja? Kenapa harus memaksakan belajar selama empat tahun pada jurusan yang kamu nggak minati? Bukankah akan lebih bermakna ketika kamu kuliah dan bekerja sesuai dengan passion kamu? Kenapa harus menyiksa diri seperti itu?

Takdir Ilahi

Saya pribadi tak pernah menjadikan profesi guru sebagai cita-cita saya sejak kecil. Namun, takdir seolah mempermainkan saya, dan membawa saya masuk ke dalam jurusan guru sekolah dasar. Saat kuliah itulah saya menemukan bahwa menjadi guru adalah hal yang menarik dan menyenangkan.

Tidak ada yang tahu masa depan akan bagaimana. Namun, bukankah bekerja sebagai guru adalah hal yang mulia? Mendidik anak-anak agar menjadi cerdas hingga bisa mencapai cita-citanya adalah hal terpuji. Surga dan dunia sudah pasti kamu dapat. Lalu, kenapa menyia-nyiakan ijazah gurumu?

Akan tetapi, kita tak berhak menjustifikasi. Masing-masing orang tentunya memiliki pertimbangan sendiri untuk memilih profesi impiannya nanti. Apalgi kalau terbentur keadaan ekonomi. Mau jurusanmu apa juga yang penting kerja dan menghasilkan uang dulu. Idealis boleh, tapi tetap harus realistis.

Konklusi

Lalu apa kesimpulan dari ocehan saya ini?

Lulusan kampus IKIP nggak mesti menjadi guru ya. Catat itu. Karena di kampus nggak hanya ada jurusan kependidikan saja. Ada pula ilmu murni. Walaupun hanya sedikit. Yang jurusan pendidikan saja ada yang enggan benar-benar menjadi guru kelak, apalagi yang non keguruan. Jadi jangan menyamaratakan mahasiswa mantan kampus IKIP ya.

Udah deh. Itu saja. Terima kasih sudah membaca ocehan saya. Sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: