Menyelesaikan Skripsi atau Menekuni Hobi? Sebaiknya Mana Dulu?
“Skripsimu sekarang sampai mana, Dek?” tanya Ibu yang khawatir melihat Dian masih berkutat dengan desain pakaiannya. Gadis yang tadinya sibuk mencoret-coret di kertas itu menatap ibunya perlahan. Sirat cemas, takut, sekaligus enggan, terpancar dari matanya yang bulat. Ibu, aku sedang berusaha.
Bagi para mahasiswa yang sedang berada di ujung jalan, menyelesaikan skripsi adalah suatu tantangan. Ilmu selama empat tahun berjuang di bangku perkuliahan akan diuji dalam melalui proyek penelitian. Untuk menaklukannya perlu perjuangan melawan berbagai drama yang kemungkinan akan ditemukan.
Nyatanya, menyelesaikan skripsi memang tidak mudah, hambatan rasa-rasanya sudah menunggu di persimpangan jalan. Apalagi, bagi kamu yang memiliki kesenangan lain di luar sana. Kamu akan terdorong untuk terus mencari kesenangan sebagai pelarian atas kewajiban yang mesti dikerjakan. Pernahkah kamu merasakan saat-saat itu?
Memilih Menulis dibanding Skripsi
Melarikan diri dari kenyataan pernah saya lakukan saat tengah mengerjakan skripsi. Awalnya, saya merasa menyesal di akhir masa perkuliahan karena telah menyia-nyiakan masa studi selama empat tahun. Kenapa? Karena saya baru menemukan passion dan semangat untuk mewujudkannya pada saat-saat terakhir. Hal itu membuat saya ingin memanfaatkan status mahasiswa dengan maksimal.
Saat itu, saya tengah menekuni dunia blog. Masih segar dalam ingatan, dulu saya begitu semangat untuk mengeksplor kemampuan saya mengelola blog. Masih amatir, benar. Terlebih, saat melihat kakak tingkat saya di kampus bisa sukses menjadi seorang narablog, membuat semangat saya terpecut. Yah, semangat yang datangnya pada waktu yang salah.
Saya mengambil sks tugas akhir pada krs bulan Januari. Sialnya, justru pada bulan-bulan itu jiwa saya untuk berkembang begitu membara. Setelah melakukan bimbingan proposal pada awal Januari, selanjutnya tak pernah sentuh lagi kertas yang sudah dicoret-coret dosen itu. Diri ini justru sibuk menulis untuk postingan blog dan meresensi buku ke media massa.
Melupakan Tugas Akhir
“Menulis dan baca bukunya besok lagi. Sekarang dikerjakan dulu skripsinya, Nduk.”
-Ibu-
Nasihat itu seolah hanya mampir di telinga, tak benar-benar saya cerna. Waktu itu, saya masih begitu menggebu-gebu untuk berkembang. Saya membaca, menulis, dan menulis. Saking senangnya dengan dunia itu, saya jadi jarang ke kampus dan merasakan atmosfer perkuliahan. Saya lebih suka di rumah. Selain menghindari pertanyaan, “sudah sampai mana?”, saya merasa lebih tenang untuk tetap sendiri di rumah.
Tak terasa tiga bulan berlalu, dan saya belum bimbingan lagi. Sungguh luar biasa. Saya sudah cocok menjadi mahasiswa yang tidak niat menyelesaikan kuliah. Resolusi saya saat masih mahasiswa baru, yakni “lulus empat tahun cumlaude” hanya tinggal mimpi belaka. Bagaimana bisa lulus empat tahun? Lha wong skripsi aja tidak ada progres berarti!
Tiba-tiba saja, satu per satu kawan mulai sidang, yudisium, bahkan menanti masa wisuda. Saya ikut bahagia dengan keberhasilan mereka. Namun, di sisi lain saya merenungi nasib diri ini. Kenapa saya masih begini-begini saja? Rasa insecure mulai tumbuh dalam benak.
Titik Balik
Pada akhir bulan Maret, saya serasa mendapat rejeki nomplok. Usaha saya dalam menekuni hobi berbuah cukup banyak. Mulai dari penulisan resensi, hingga nge-blog. Bahagia? Tentu saja! Akan tetapi, lebih dari itu, saya merasa itu adalah teguran dari Tuhan. Tuhan seakan ingin berkata bahwa, “tuh, usaha kamu sudah ada hasilnya. Sekarang mulai selesaikan skripsimu!”
Benar saja. Saya mulai menghentikan kegiatan menulis untuk senang-senang. Saya berbalik untuk merevisi proposal skripsi, bimbingan dengan dosen, dan merancang desain media pembelajaran yang akan saya kembangkan. Saya mulai membuat time line pengerjaan skripsi. Saya mulai tancap gas. Meskipun titik permulaan saya tak secepat yang lain, setidaknya saya mulai sadar untuk mengejar ketertinggalan itu pada detik-detik terakhir.
Batu Sandungan
Karma! Saya pasti kena karma karena tidak segera menjalankan perintah nyonya besar untuk mengerjakan skripsi!
Saya punya target untuk wisuda pada bulan Agustus. Karena itu, saya harus bergerak cepat. Sering-sering bimbingan, pergi ke perpustakaan mencari referensi, dan usaha yang lainnya. Namun, di tengah jalan, tetiba saja langkah terjegal. Saya ditinggal cuti melahirkan oleh dosen validasi media!
Semua rencana saya seolah sia-sia. Bagaimana bisa sebulan tanpa progres apa pun? Padahal target wisuda bulan Agustus sudah menanti. Sedih sekali rasanya. Pesan tidak dibalas. Telfon tidak diangkat. Saya diabaikan!
Cobaan Usai
Melihat kendala itu, saya langsung teringat pada nasihat ibu yang sempat saya abaikan. Akhirnya, saya menerima getahnya! Namun, diam bukan solusi. Saya terus berusaha mengontak dosen tersebut dan mencoba menemukan solusinya. Saya yakin, bahwa Tuhan tahu betapa saya benar-benar berjuang agar segera merampungan semuanya.
Singkat cerita, satu per satu kerikil dalam perjalanan saya meraih gelar sarjana dapat terlewati. Drama yang membuat saya resah dan gelisah sudah terlampaui. Saya akhirnya bisa sidang, yudisium, dan akhirnya wisuda. Yey! Yah, walaupun jauh melebihi target yang saya inginkan, yakni wisuda pada bulan November. Tak apa!
Menekuni Hobi atau Menyelesaikan Skripsi?
Semua cerita perjalanan saya yang sedikit berliku dalam mengerjakan skripsi, berujung pada pertanyaan ini,
“Saya harus menekuni hobi selagi masih menjadi mahasiswa, atau menyelesaikan skripsi dan lulus cepat seperti yang lainnya?”
Setelah melewati jalan panjang di atas, saya bisa menjawab pertanyaan itu dengan tegas. Yah, kamu harus menyelesaikan skripsi dulu. Selesaikanlah kewajibanmu, jangan ditunda-tunda. Mengapa? Karena kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan mata.
Pada kasus saya, hambatannya adalah ditinggal cuti melahirkan. Rasanya sangat sederhana, dibandingkan dengan permasalahan teman seperjuangan saya yang lain. Kalau kamu, mungkin jegalannya bisa yang lain lagi. Apalagi pada pandemi seperti sekarang. Hambatannya ada-ada saja.
Selain alasan itu, kelulusanmu akan membuat bangga orang tua, karena bisa menyekolahkanmu sampai sarjana. Melihatmu memakai toga, wisuda, dan menerima ijazah, adalah sebuah kebahagiaan dan kebanggan tersendiri bagi mereka. Lalu, kalau sudah tahu itu, mengapa kamu masih menunda-nunda untuk menyelesaikannya?
Percayalah, bahwa semua orang memiliki jalan, waktu, dan kendalanya masing-masing. Namun, jangan membuat hal tersebut menjadi alasan, untuk menggampangkan proses menyelesaikan studi. Jangan menjadi seperti saya yang malah sibuk mengembangkan diri pada waktu yang salah, dan membuat semua rencana buyar seketika.
Memilih Jalan
Untuk kamu yang sedang ada di persimpangan, saya rasa tulisan ini akan membantu kamu dalam merenungi semuanya. Bahwa dunia tidak hanya berputar di dirimu saja. Ada orang lain yang berharap begitu besar padamu. Jangan pernah kecewakan mereka. Karena doa mereka akan melapangkan jalan untukmu.
Sepertinya sekian untuk postingan hari ini. Semoga kisah saya yang tidak begitu menarik itu, dapat memberikan sudut pandang baru bagi kamu dalam mempertimbangkan beberapa hal. Sampai jumpa di postingan saya selanjutnya!