Tentang Les dan Ekspektasi Orang Tua yang Tak Terpenuhi
“Asti ini sudah saya leskan, tetapi nilainya begitu-begitu saja. Nggak ada perubahan.”
Kali ini, saya akan bercerita mengenai les atau tambahan pelajaran yang biasanya dilakukan secara mandiri atas inisiatif orang tua. Les yang saya maksud adalah les akademik ya, bukan yang sudah minat khusus seperti renang, piano, dan lainnya. Les ini bisa bermacam-macam, ada yang klasikal dan privat.
Apakah kamu salah satu orang yang pernah menggunakan jasa tutor les? Kenapa sih kamu merasa harus les di luar sekolah?
Kenapa Harus Ikut Les?
Biasanya, anak-anak yang kurang bisa mengikuti pembelajaran di sekolah, dileskan secara mandiri. Namun, ada juga yang karena orang tua yang berharap putranya bisa ‘lebih’ dari yang lain. Harapan mereka adalah nilai anak naik, rasa percaya diri anak meningkat, sehingga kelak membuat orang tua bangga.
Les ini sifatnya tidak wajib, hanya diperuntukan bagi yang membutuhkan saja. Dulu, saya termasuk yang tidak mengikuti les di luar, karena merasa cukup dengan tambahan pelajaran yang didapatkan dari sekolah. Padahal, teman-teman saya mayoritas ikut les di tempat yang cukup mentereng. Saya hanya bisa melihat mereka, dan sesekali bertanya hasil dari lesnya.
Ekspektasi Orang Tua
Saat masih SD, saya mempunyai teman sekelas, sebut saja namanya Jeruk. Kedua orang tuanya adalah guru. Si Jeruk ini pada dasarnya sudah cerdas. Akan tetapi, orang tuanya menginginkan agar anaknya bisa lebih dari pada sekarang. Akhirnya, Jeruk dileskan di sebuah bimbingan belajar yang cukup bonafit di daerah kami.
Si Jeruk ini les setiap sore diantar oleh ibunya. Tak jarang saya melihatnya berangkat, ketika sedang asyik bermain badminton dengan teman di depan rumah. Saat melihatnya, saya membatin, “kasihan ya. Harusnya sekarang dia bisa main sama aku dan teman-teman yang lain.” Pemikiran itu khas bocah yang inginnya main terus, hehe.
Nyatanya, di akhir semester, rangking Jeruk turun cukup signifikan. Dia yang tadinya juara dua, keluar dari zona tiga besar, entah hinggap di peringkat berapa.
Orang tua pasti memiliki ekspektasi tinggi pada putra putrinya. Tentu keinginan agar anaknya jauh melebihi mereka, menggebu-gebu dalam jiwa. Tak ayal bila berbagai ikhtiar dilakukan, seperti memberikan makanan bergizi, memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani, hingga memberikan fasilitas yang mendukung perkembangan anaknya.
Namun, ada satu hal yang kadang dilupakan ayah ibu, yakni tentang keinginan anak. Saya bisa bicara seperti ini bukan karena sudah berpengalaman menjadi orang tua, tetapi karena sering berhadapan dengan murid yang beragam karakteristiknya. Minat anak tidak bisa dipaksakan.
Selama ini, saya mengajar les anak-anak sekolah dasar dengan berbagai macam latar belakang dan kemampuan. Hasilnya? Bervariasi. Ada yang mudah menangkap pelajaran, tetapi ada pula yang sampai sekarang masih terseok-seok. Terlebih dengan sistem pembelajaran jarak jauh seperti saat ini. Saya yakin bahwa materi dari guru hanya secuil yang sampai pada mereka.
Kecerdasan Anak Beragam
Menurut Gaardner ada sembilan tipe kecerdasan, yakni kecerdasan linguistik, logis-matematis, kinestetik, spasial, musikal, eksistensial, naturalis, interpersonal, dan intrapersonal. Masing-masing anak, tentu memiliki kecenderungan cerdas pada aspek tertentu. Sayangnya, pemikiran ini belum ada pada beberapa orang tua, sehingga mereka memaksakan kemampuan anak yang dampaknya bisa negatif nantinya.
Telebih, masih ada pola pikir konvensional yang mengatakan bahwa anak yang pintar matematika dan sains adalah anak yang cerdas, sedangkan yang tidak, dianggap bodoh. Akibatnya apa? Anak tidak bisa berkembang dengan maksimal karena mereka dipaksakan untuk sesuatu yang tidak mereka sukai. Mereka melabeli diri sendiri dengan bodoh, dungu, tolol, atau sebutan buruk lainnya yang ujungnya akan menurunkan semangat belajar dan mafhum kalau hasil belajar mereka jelek.
Saya berharap kisah Jeruk tidak akan terjadi lagi, walaupun nyatanya masih sering saya temui. Bahwa –menurut saya- lebih baik memaksimalkan yang anak suka dan punya, dibandingkan memaksakan sesuatu hanya untuk memenuhi standar sosial yang menyesatkan.
Ekspektasi yang Tak Terpenuhi
Masih menyambung kisah Jeruk tadi ya, ternyata memberikan les bagi anak tidak selalu berbuah manis. Yah, harapan orang tua kandas. Bukannya nilai anak tambah membaik, justru memburuk. Bisa jadi hal itu terjadi karena orang tua yang terlalu memasrahkan anak pada guru dan hanya peduli dengan hasil akhirnya.
Percaya atau tidak, saya pernah diminta untuk mengelesi anak yang cara menawarkannya seperti ini, “Mbak, bisa ngelesin Apel? Nilainya itu jelek banget, padahal sekarang sudah kelas enam. Tolong dibantu ya, Mbak, buat naikin nilainya Apel.”
Ketika mendengarnya, saya hanya bisa mengernyitkan dahi. Menaikan nilai? Yah, mungkin memang itu harapan dari lubuk hati terdalam setiap orang tua saat memfasilitasi anaknya. Akan tetapi, bukankah ada hal lain yang lebih penting daripada sekadar menaikkan nilai?
Saya tidak bisa menyalahkan pola pikir orang tua yang demikian, karena memang sistem pendidikan kita masih berpusat pada nilai akademis. Yah, alhamdulillah, sekarang sudah berganti kurikulum 2013 yang lebih menekankan proses daripada hasil akhir. Namun, apakah itu lantas membuat pemikiran ayah ibu berubah? Sedikit, tetapi belum menyeluruh.
Saatnya Membenahi Niat Awal
Niat awal untuk memberikan fasilitas tambahan belajar bagi anak hendaknya diperbaiki dulu. Bahwa anak les bukan agar nilainya meningkat, tetapi agar anak bisa dan paham. Ketika anak paham, nilainya tentu akan mengikuti.
Ketika niatnya sudah seperti itu, rasa kecewa karena ekspektasi berlebihan tidak akan terjadi. Saya juga yakin, para tutor di luar sana juga pasti kesulitan memenuhi harapan orang tua, karena keberhasilan sebuah pembelajaran tidak hanya ditentukan oleh pengajar saja, tetapi juga muridnya.
Nah, sebenarnya ini adalah poin yang sejak tadi ingin saya sampaikan. Ketika nilai anak tak kunjung meningkat (seperti harapan), bisa jadi ada dua penyebab. Satu, pengajar yang belum bisa menyampaikan materi dengan benar. Kedua, anak yang tidak memiliki semangat untuk belajar.
Kedua hal tersebut baiknya terpenuhi agar mendapatkan output yang diinginkan. Saya yakin, bahwa seorang tutor akan selalu belajar tentang cara mengajar yang baik dan menyesuaikannya dengan siswa. Apalagi mereka yang masih muda, akan lebih dinamis dan berpikiran untuk maju dan berkembang. Lantas, bagaimana kalau si pengajar sudah berbenah, motivasi sudah diberikan, tetapi tak jua ada perubahan? Bisa jadi permasalahannya ada pada si anak.
Ada empat tipe murid yang pernah saya ajar. Pertama, anak yang bisa dan mau belajar. Kedua, anak yang bisa tapi tidak mau belajar. Ketiga, anak yang tidak bisa tetapi mau belajar. Keempat, anak yang sudah tidak bisa dan tidak mau belajar. Rasanya saya sudah mencicipi mengajar tipe murid seperti itu.
Orang tua hendaknya menyadari kemampuan anak, sehingga dapat menempatkan dirinya. Kalau si anak masuk tipe ketiga atau keempat, tetapi orang tua hanya pasrah pada tutor atau guru dan tidak mau andil dalam prosesnya, ya mana bisa? Tentu pengajar juga kewalahan bila dituntut untuk sesuatu yang tidak bisa dia kontrol. Yah, tutor tidak bisa berjuang sendiri, karena membutuhkan kemauan siswa dan dukungan orang tua.
Akhirnya….
Sepertinya sekian tulisan saya mengenai les dan ekspektasi orang tua yang kadang mengada-ada. Saya tahu bahwa ayah ibu memiliki harapan yang besar untuk buah hatinya, agar kelak dapat membanggakan mereka. Akan tetapi, percayalah, bahwa jalan setiap anak itu berbeda. Bakat dan minat anak juga berbeda. Jangan memaksakan apa yang anak tidak suka dan tidak mau. Sebaiknya, pahamilah anak, dan kembangkan minatnya, kemudian fasilitasi sesuai dengan kapasitas anak.
Sampai jumpa di tulisan saya selanjutnya!
3 comments found