Standar Cantik yang Menyesatkan

Standar Cantik yang Menyesatkan

Suatu hari, saya iseng melihat whatsapp story kontak yang begitu banyak karena jarang saya buka. Tiba-tiba, saya cukup tercengang melihat sebuah story dari teman saya. Namanya Rara, dia adalah guru di salah satu sekolah dasar di daerah Yogyakarta. Beginilah percakapannya via whatsapp dengan anak didiknya.

“Aku item, kalau Bu Rara putih. Jadi cantikan Bu Rara.”

Saya cukup sedih dengan ucapan si anak. Bagaimana bisa sejak kecil, standar kecantikan itu sudah mulai tumbuh dan mendarah daging? Bahwa cantik harus putih. Kalau kulitmu item, kamu jelek. Bisa jadi, si anak akan menjadi pribadi yang minder dengan kondisi fisiknya. Padahal memiliki warna kulit gelap bukanlah dosa yang harus membuatnya rendah diri.

Pikiran yang Sama saat Kecil

Saya juga memiliki pemikiran yang sama saat masih kecil. Melihat iklan produk kecantikan yang wara-wiri di televisi, membuat saya memiliki kesimpulan bahwa cantik adalah berkulit putih, wajah mulus nggak jerawatan, hidungnya mancung, matanya besar, tinggi, dan langsing. Saya yakin bahwa hal itu nggak hanya terjadi pada saya saja, tetapi juga jutaan perempuan di luar sana.

Menurut buku Timeless Beauty (Donafeby, 2018), tampilan model yang terlihat sempurna, sedikit banyak membuat mereka kurang puas dengan tubuh dan penampilan diri (hal 10). Wajar kalau klinik kecantikan laris manis. Pun dengan berbagai krim pemutih. Lha wong memang kita sejak kecil dicekoki dengan stereotip itu.

Indonesia adalah negara yang multikultural dan beragam. Ada yang kulitnya cerah, ada yang gelap, ada yang gemuk, ada yang kurus, ada yang tinggi dan pendek. Lalu bagaimana bisa kita diarahkan untuk menjadi sama dan sesuai dengan standar kecantikan yang kurang berdasar itu? Kadang, saya merasa bahwa iklan-iklan itu cukup kejam, bersama dengan tagline masing-masing produknya.

Diskriminasi

Pernah saya dengar sebuah ucapan bahwa, “apabila kamu cantik, separuh masalah hidupmu sudah teratasi.” Selain itu, sering pula saya dengar hal berikut, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat good looking.” Betapa ‘cantik’ itu sangat memengaruhi kesejahteraan dan kedamaian hidup. Padahal cantiknya orang itu berbeda-beda, tetapi diukur dengan sebuah standar yang sama.

Diskriminasi. Mungkin bagi orang yang terlahir cantik, jarang merasakan hal itu. Namun, jutaan perempuan di luar sana sepertinya sudah kenyang dengan hal itu. Mereka hanya bisa menerima hal itu dengan lapang dada. Toh, nggak ada yang bisa dilakukan. Protes? Ya ampun, dilayani dengan senyum ramah saja sudah alhamdulillah.

Saya pernah membuat cerpen berjudul “Aku Tidak Cantik” yang saya posting di blog lama. Ternyata traffic tulisan saya itu cukup tinggi.  Kata kunci yang menarik tulisan itu muncul seperti: aku tidak cantik, aku jelek, dan yang lainnya. Menyedihkan, bukan?

Masih banyak perempuan di luar sana yang insecure dengan keadaannya. Bahwa semua yang pernah dilakukan seakan tidak nampak, kalau kita nggak cantik. Lingkungan sosial cukup kejam, bukan? Bagaimana contohnya? Pernah baca berita dengan judul seperti ini?

detik.com

Coba kalau yang menjadi tukang tahu goreng itu nggak sesuai standar cantik, apakah akan mendapat tanggapan yang sama? Tentu saja orang-orang tak akan peduli, dilirik pun tidak. Malah, mungkin akan tercetus, mbaknya pantes banget ya jadi tukang tahu goreng. Menghayati banget! Kasar? Memang begitulah kenyataannya.

Pada akhirnya…

Untuk kamu yang belum memenuhi standar cantik tak tertulis itu, tetap semangat ya. Meskipun perjalanan lebih berat, yakinlah bahwa itu akan membuatmu semakin kuat dan mandiri. Jangan lupa juga agar terus merawat diri, bukan untuk berubah memenuhi ‘standar cantik’, tetapi berubahlah untuk dirimu sendiri.

Mungkin segitu dulu saja ya. Sebenarnya masih ada lagi sih yang ingin saya tuliskan. Biar nggak terlalu panjang, mungkin akan saya lanjutkan di postingan lainnya ya.

Akhir kata, cintailah dirimu dengan merawatnya dengan baik!

#ODOP

#ODOPBatch8

#ODOPDay3

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: