[Review] Scars and Other Beautiful Things – Winna Efendi (2020)

[Review] Scars and Other Beautiful Things – Winna Efendi (2020)

“Penderita trauma tidak selamanya adalah korban. Mereka juga bisa menjadi orang-orang yang bangkit dan lebih kuat daripada sebelumnya.”(hal 35)

Tahun 2020 ini menjadi tahun yang penuh kejutan. Setiap bulannya selalu muncul berita baru yang mengagetkan khalayak. Salah satunya adalah kabar yang hadir pada bulan Mei dari Winna Efendi yang cukup membuat saya terkesiap. Penulis yang terakhir kali menerbitkan karyanya pada tahun 2017 itu mengumumkan bahwa buku terbarunya akan segera terbit. Tentu saja itu sangat menggembirakan!

Satu hal yang membuat saya begitu ingin membaca buku terbaru Winna ini adalah premisnya yang sangat relevan dengan isu masa kini. Tentu kita belum lupa bahwa pada bulan Januari, publik dihebohkan berita Reynhard Sinaga yang telah melakukan pelecehan seksual pada ratusan laki-laki di Inggris. Tak hanya itu, muncul pula kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh oknum mahasiswa di beberapa kampus ternama.

Winna menulis buku ini pun karena terinspirasi oleh kisah nyata, yakni kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh mahasiswa Universitas Stanford pada seorang perempuan mabuk. Kejadian itu membuatnya tergelitik untuk menulis novel dengan premis serupa. Sayang, naskahnya sempat mangkrak dan akhirnya selesai setelah ditulis ulang dengan tokoh baru mulai dari awal.

“Aku percaya kebencian yang dirasakan orang lain tidak akan bisa menyakiti kita sebesar kebencian kita terhadap diri sendiri.” (hal 112)

Scars and Other Beautiful Things bercerita tentang Harper Simmons, siswa Tommales High School yang berusaha mengalahkan trauma yang dideritanya akibat kasus pemerkosaan. Pembaca diberikan sudut pandang dari sisi korban, mengenai berbagai kesulitan yang dialaminya setelah kejadian itu. Sejak awal, pembaca disuguhi dengan jatuh bangunnya Harper untuk bertahan dan sembuh. Terkadang ia dipandang rendah, diberi tatapan iba, pun dianggap sebagai seseorang yang sangat rapuh hingga membuat orang di sekitarnya “berhati-hati” saat bersamanya.

Harper Simmons sebelum kejadian dan setelahnya menjadi dua pribadi yang sangat berbeda. Awalnya, perempuan berusia 17 tahun itu adalah seorang yang siswi dengan prestasi gemilang, ceria, aktif dalam klub debat, memenangkan banyak turnamen, memiliki banyak teman, keluarga yang selalu mendukungnya, dan juga pacar yang sangat menyayanginya. Namun, satu per satu hal itu menghilang, berganti dengan mimpi buruk yang setiap malam selalu menghantuinya.

Saat ini, ke mana pun ia pergi, trauma akan selalu bersamanya. Perempuan itu menjadi lebih waspada dan dipenuhi ketakutan bahwa Scott Gideon -si pemerkosa- berada di dekatnya dan akan memaksakan kehendak lagi padanya. Ia menjadi begitu paranoid dan terus memiliki prasangka buruk pada orang di dekatnya. Di matanya, wajah semua orang bisa berubah menjadi wajah Scott, yang membuatnya merasakan lagi ketakutan yang luar biasa.

Sesi konseling dengan Dokter Lewis juga belum memberikan hasil yang maksimal. Harper tak jua berani membuka lembaran hitam peristiwa traumatis itu. Ia masih terkungkung di dalamnya dan belum siap untuk mengecap kembali rasa pahitnya. Namun, setidaknya ia sudah berani kembali ke sekolah dan bersosialisasi seperti dulu lagi. Dukungan keluarga, sahabat, dan pacar menjadi penyemangatnya untuk segera sembuh dan menjadi Harper yang dulu lagi.

“Apa yang terjadi tidak akan berangsur-angsur hilang dengan menguburnya dalam-dalam. Satu-satunya cara untuk pulih adalah berdamai dengan trauma itu sendiri, juga berhenti mengasosiasikan aspek-aspek yang terlibat dengan perasaan negatif.” (hal 78)

Membaca buku yang memiliki alur maju dengan selipan beberapa adegan flashback ini, membuat saya jadi teringat novel Represi karya Fakhrisina Amalia. Premis dan nuansa kesedihan yang dibawa hampir sama. Bedanya kisah di Represi lebih pada healing akibat toxic relationship, sedangkan Scars healing akibat kasus pemerkosaan. Keduanya sama-sama berbicara mengenai proses penerimaan diri akibat sebuah kejadian yang membuat tokoh perempuan “tidak lagi sama”.

Winna berhasil membuat pembaca larut dalam kisah Harper yang begitu memilukan. Cara bercerita penulis masih sangat khas seperti novel sebelumnya, renyah, nyaman untuk diikuti, dan terasa seperti membaca novel terjemahan. Mungkin karena banyak novel Winna yang bersetting di luar negeri. Pun novel ini yang latarnya di Bodega Bay, Amerika.

“Bagian mana dari memerkosa seorang perempuan mabuk yang tidak berdaya yang bisa disebut berkelakuan baik?” (hal 206)

Melalui buku ini, penulis juga memberikan kritik mengenai kasus kekerasan seksual yang selama ini terjadi. Bahwa pelaku seringnya tak mendapat hukuman yang setimpal. Keadilan dalam kasus tersebut nyatanya tak nampak. Malah, kadang mengkriminalisasi korban yang harusnya dilindungi dan mendapatkan hak konseling yang layak.

Sorotan mengenai stereotip tentang kasus kekerasan seksual juga disinggung dalam novel. Selama ini, perempuan selalu disalahkan, dianggap berpakaian terbuka sehingga menyulut nafsu pria. Padahal, hal semacam itu tidak hanya terjadi pada mereka yang berbusana minim, tetapi juga yang berpakaian sopan dan tertutup. Kalau sudah seperti itu, apakah tepat bila kesalahan ditimpakan pada wanita? Bukankah kedua belah pihak sudah seharusnya saling menjaga?

Yang lebih miris lagi, cemooh semacam itu malah datang dari mulut sesama perempuan. Padahal, sesamanya itu adalah korban yang membutuhkan dukungan, bukan hinaan yang membuatnya menjadi semakin depresi dan tertekan.

“Aku ingin hidup untuk memberikan diriku kesempatan kedua, meski kadang bertahan hidup terasa sangat sulit.” (hal 173)

Saya sangat menikmati kisah ini dan turut larut di dalamnya. Namun, ada satu hal yang membuat saya agak mengganjal. Saya merasa bahwa kisah Harper ini kurang cocok bila dimasukan pada label metropop. Awalnya, saya pikir akan seperti Bad Boy milik AliaZalea. Setengah bagian buku menceritakan masa SMA, dan sisanya kental nuansa metropopnya.

Ternyata tidak. Sejak awal hingga akhir, saya tak juga menemukan nuansa metropop dalam novel ini. Mungkin novel ini akan lebih cocok masuk ke lini teenlit atau young adult daripada metropop. Walaupun bahasan seperti ini agaknya terlalu berat untuk ukuran novel teenlit. Jadi, mungkin bisa lebih ke young adult ya?

“Karena pada akhirnya, satu-satunya yang bisa kita lakukan untuk diri sendiri hanyalah berdamai dengan apa yang terjadi dan melanjutkan hidup.” (hal 218)

Novel terbaru Winna Efendi ini cukup memuaskan bagi saya yang merindukan karya beliau. Daya tariknya tak hanya terletak pada premis cerita yang menarik, tetapi juga gambar sampul yang sederhana tetapi sangat cantik dan cukup merepresentasikan isi buku.

Meskipun cukup kelam, kisahnya memberikan banyak pesan pada pembaca. Kemauan dan keteguhan hati Harper sebagai penyintas untuk sembuh dan berdamai dengan diri sendiri dapat menjadi inspirasi bagi perempuan di luar sana yang tengah menghadapi dan merasakan hal serupa.

Saya berikan 4 dari 5 bintang untuk novel ini! Selamat membaca!

Judul                            : Scars and Other Beautiful Things

Penulis                         : Winna Efendi

Cetakan                       : Pertama, 2020

Penerbit                      : Gramedia Pustaka Utama

Halaman                     : 296 halaman

ISBN                           : 978-602-064-205-5

2 comments found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: