[Review] Kami (Bukan) Sarjana Kertas – J. S. Khairen: Menjadi Sarjana Berdaya Guna

[Review] Kami (Bukan) Sarjana Kertas – J. S. Khairen: Menjadi Sarjana Berdaya Guna

Pendidikan merupakan investasi masa depan. Tak ayal bila banyak orang yang berbondong-bondong untuk mengusahakan yang terbaik untuknya. Pemerintah pun mengamini dengan mengalokasikan sebanyak 20% dari APBN untuk menyokong pendidikan anak bangsa. Namun, apakah dengan dana sebanyak itu pendidikan Indonesia lantas menjadi lebih baik?

Melihat situasi saat ini, pemerintah hendaknya kembali mengevaluasi beberapa hal dalam tatanan pendidikan, khususnya pendidikan tinggi. Fenomena sarjana yang menjadi penyumbang angka pengangguran yang cukup signifikan, mengisyaratkan bahwa ada yang keliru dalam pendidikan tinggi Indonesia, sehingga diperlukan perubahan agar menghasilkan output sarjana yang berdaya guna.

Miniatur permasalahan pendidikan tinggi bangsa, dapat dijumpai lewat novel karya J. S. Khairen ini. Berbagai kasus mengenai permasalahan kampus disinggung dalam buku, mulai dari adanya gap antara tenaga pendidik junior dan senior, hingga program kuliah yang berjalan kurang maksimal.

Berbagai permasalahan tersebut dikisahkan lewat enam orang sekawan yang menuntut ilmu di kampus kurang bonafit bernama UDEL. Tersebutlah Ogi, Ranjau, Arko, Gala, Juwisa, dan Sania. Mereka lahir dari berbagai latar belakang, wajar jika alasan mengenyam bangku kuliah juga bermacam-macam. Ada yang karena ditolak perguruan tinggi negeri, finansialnya kurang mencukupi, tapi ada pula yang tidak memiliki alasan yang pasti.

Beragamnya motif itu membuat jalannya perkuliahan menjadi berwarna. Pada hari pertama pembelajaran, mereka bertemu dengan sosok dosen muda yang cantik, visioner, dan berpikiran terbuka. Cara mengajar yang unik membuat sang dosen dikagumi mahasiswanya. Materi yang dibawakan tidak melulu seputar materi kuliah saja, tetapi juga motivasi untuk meraih impian.

Penulis tak lupa menghadirkan sosok penyeimbang, yakni dosen tua, kolot, dan monoton yang melakukan sesuatu demi keuntungannya sendiri. Kehadiran kedua jenis pendidik ini menjadi pengingat kita, bahwa peningkatan dan pemerataan kualitas tenaga pendidik di dalam lingkungan kampus menjadi salah satu hal yang penting. “Jika menjadi pendidik membuatmu tak mau mempelajari cara-cara baru, maka percuma statusmu sebagai dosen dan guru. Buatlah kelasmu asyik, gunakan cara menarik” (hal. 41).

Problem lainnya tak kalah menarik untuk diikuti. Sebagai universitas yang dipandang sebelah mata, UDEL mulai berbenah diri semenjak dipimpin oleh rektor baru yang begitu bergairah untuk melakukan perubahan. Berbagai program baru yang dicanangkan mulai berjalan, salah satunya adalah konseling mahasiswa. Program itu bertujuan untuk membimbing mahasiswa agar dapat meraih mimpinya. Namun, jalannya kegiatan tersebut tak luput dari kritik para dosen kolot yang enggan ikut berubah seiring dengan perkembangan zaman.

Beberapa jalannya program kampus juga disinggung oleh penulis, salah satunya adalah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Program yang diharapkan dapat meningkatkan potensi daerah ini, dirasa kurang berdampak pada masyarakat, sehingga masyarakatnya juga tidak memasang ekspektasi yang tinggi. Narasi tersebut dapat menjadi sentilan untuk instansi pendidikan tinggi agar segera mengevaluasinya, sehingga kegiatan tahun selanjutnya dapat berjalan lebih baik.

Buku ini juga mengetis dahi para sarjana yang hanya sekadar lulus, tanpa memiliki bekal yang cukup. Dunia profesional menuntut begitu tinggi, tetapi kemampuan lulusan tidak begitu mumpuni. Banyak sarjana tak pandai ilmu hidup, hanya ilmu silabus saja. Sarjana kertas. Banyak orang tak sekolah tinggi tapi sukses. Banyak sarjana begitu bekerja ternyata tidak bisa apa-apa. Masuk kantor gagah, pulang-pulang gugup (hal 124).

Meskipun penyampaian cerita dirasa cukup cepat karena ada banyak tokoh yang harus diceritakan, premis novel ini tetap menarik untuk diselami. Pesan dan sentilan pada seluruh komponen pendidikan yang disajikan dengan ringan, penuh humor, dan menghibur, hendaknya dapat menjadi perhatian. Melalui kisah ini, penulis menekankan bahwa ijazah bukan jaminan apa-apa. Memang bisa bermanfaat, tapi tak selamanya selembar kertas itu menjadi penentu nasib baik seseorang (hal 233).

Judul                           : Kami (Bukan) Sarjana Kertas

Penulis                       : J.S. Khairen

Cetakan                      : Pertama, 2019

Penerbit                     : Bukune

Halaman                    : 362 halaman

ISBN                           : 978-602-220-304-9

Resensi ini telah dimuat di koran Kabar Madura pada hari Selasa, 12 Mei 2020

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: