Hobi jadi Pekerjaan Utama? Bisa?
Ada orang yang pernah berkata, “buatlah hobimu menjadi pekerjaan. Kamu nggak akan pernah capek, karena kamu melakukan sesuatu yang menurutmu menyenangkan. Dibayar lagi!”
Apakah kamu setuju dengan hal itu? Cobalah jawab pertanyaan itu dulu. Sudah punya jawabannya? Baik, kita beralih ke bahasan selanjutnya.
Lewat tulisan ini saya ingin membahas tentang hal tersebut. Apakah hobi menjadi pekerjaan utama akan membuat kepuasan dan rasa aktualisasi diri menjadi semakin tinggi atau justru sebaliknya?
Hobi itu (Bukan) Pekerjaan Utama
Saya ingin berbagi pendapat tentang hal itu. Menurut saya, ada baiknya hobi tidak dijadikan pekerjaan utama. Kenapa? Karena saya nggak ingin mengubah esensi sebuah hobi. Kalau saya pikir-pikir lagi, hobi adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengalihkan diri atau menghibur diri sejenak dari penatnya kehidupan. Ketika hobi tersebut dijadikan pekerjaan utama, tentu esensinya sebagai hiburan memudar.
Misalnya nih ya, saya hobi menulis. Saya menjadikan menulis sebagai pekerjaan utama. Kalau sudah begitu, pikiran saya akan begini, “mau tidak mau saya harus menulis. Kalau tidak menulis, maka saya tidak akan dapat uang untuk makan.” Pola pikir seperti itu, lama kelamaan akan mengubah perasaan ketika saya melakukan hobi tersebut.
Saya akan kehilangan kesenangan saat menulis, dan saya benci hal itu. Saya pernah merasakannya dan nggak mau lagi. Singkatnya, ketika kuliah saya menjadikan menulis sebagai salah satu sumber pemasukan saya. Saya biasanya menulis resensi di rubrik koran-koran lokal. Kamu tahu? Bayarannya cukup menggiurkan dan membuat saya ‘kecanduan’.
Orientasi Mulai Berubah
Ketika sudah beberapa lama, honor mulai masuk ke rekening, wesel pun menyapa, dan siapa sangka bahwa hal itu membuat orientasi saya terhadap menulis berubah haluan. Lalu, tercetus dalam benak, “saya harus menjadikan hobi sebagai pekerjaan utama! Ternyata hobi yang dibayar itu luar biasa rasanya! Wah, saya jadi semangat menulis!”
Saya mencoba menjalaninya, menulis satu demi satu tulisan. Namun, saya tercengang. Apa yang terjadi? Kenapa rasanya berbeda? Bahkan untuk menyelesaikan satu tulisan rasanya sulit sekali. Rasanya tidak mengalir seperti biasanya. Tulisan terpaksa saya rampungkan, diedit, kemudian dikirim.
Saya kaget lagi. Kenapa tulisan saya ditolak? Saat-saat seperti itu pernah saya rasakan. Bayangkan, ketika kamu pernah mengirim tulisan hari ini lalu besoknya dimuat, sedangkan kini email yang sebulan lalu sudah terkirim tak pernah berbalas. Rasanya sudah seperti lirik lagunya Brisia Jodie yang Kisahku, “sakit sekali… sakit sekali…”
Mulai Berbenah
Sejak itu saya introspeksi diri. Saya berhenti menulis dan melakukan kegiatan menyenangkan lain, juga melanjutkan skripsi saya yang sudah beberapa lama tertunda. Ah, mungkin ini juga alarm dari Allah agar saya ingat dengan tugas akhir yang terbengkalai. Skenario Allah sungguh tak dapat ditebak.
Saya berpikir, berpikir, berpikir lagi. Setelah merenung cukup lama, saya akhirnya menemukan ‘kesalahan’ itu. Yah, ternyata orientasi saya terhadap menulis mulai berubah. Saya yang dulu menulis karena suka, senang, dan menikmatinya, telah berubah menjadi satu benda berbahaya di dunia, yakni uang.
Uang mampu merubah segalanya. Yah, itu benar sekali. Bahkan kesenangan saya dalam menulis bisa direnggut oleh kenikmatan uang. Sejak itu, saya nggak mau lagi melakukan sesuatu karena uang. Uang itu menyesatkan. Lakukanlah semuanya karena kamu suka, kamu senang, dan nyaman menjalaninya.
Sejak itu juga saya menekankan pada diri bahwa, hobi selamanya akan menjadi hobi, tidak boleh menjadi pekerjaan utama. Meskipun saya mendapatkan bayaran dari hobi, ya… itu sebagai bonus saja, bukan sesuatu yang harus saya raih. Karena saya menulis bukan berorientasi pada uang, tetapi pada kesenangan batin.
Mungkin hal ini bisa berbeda antara saya atau kamu. Menurut yang saya pernah rasakan begitu. Bagaimana menurutmu tentang hal ini? Boleh sekali kamu bagikan di kolom komentar!
Terima kasih sudah membaca!
1 comment found