[Review] Reasons to Stay Alive – Matt Haig: Inspirasi Bangkit Melawan Depresi

[Review] Reasons to Stay Alive – Matt Haig: Inspirasi Bangkit Melawan Depresi

Akhir-akhir ini, depresi menjadi topik utama pembicaraan setelah meninggalnya Sulli, salah satu penyanyi asal Korea Selatan. Depresi menjadi salah satu penyakit mental yang semakin banyak diderita orang. Secara fisik, penyakit ini tidak terlihat, akan tetapi penderitanya merasakan sakit dan kepedihan yang luar biasa. Salah satu gejala umumnya adalah tidak melihat adanya harapan (hal 1). Pengidapnya merasa sendirian dan tidak ada seorang pun yang memahami perasaannya.

Buku ini menjelaskan gangguan kesehatan mental itu dari sudut pandang Matt Haig, seorang penyintas depresi yang pernah berniat untuk bunuh diri. Matt tidak hanya menderita depresi, tetapi juga gangguan kecemasan. Kadang-kadang kecemasan memicu depresi, atau sebaliknya, atau keduanya datang secara bersamaan. Pria itu menyadari ada yang aneh dengannya sejak umur 24 tahun. Ia selalu merasa ada banyak hal yang berkecamuk dalam pikiran, hingga membuatnya sangat takut. Berbagai kemungkinan buruk berkeliaran dalam benak dan merasa semua hal di sekitarnya adalah ancaman yang sewaktu-waktu dapat membunuh dirinya.

Cara Matt menceritakan perasaan ketika penyakit itu muncul, membuat pembaca yang awam dapat ikut merasakan dan membayangkan betapa sulitnya penderita melalui saat-saat itu. Ia menganalogikan depresi seperti ban bocor, sesuatu yang rusak dan tidak bisa bergerak. Pada titik terburuk, penderitanya akan putus asa dan mengharapkan kesakitan lain (hal 16). Oleh karena itu, banyak orang depresi yang melakukan bunuh diri.

Dewasa ini, bunuh diri merupakan penyebab kematian nomor satu, lebih besar daripada kanker. Laki-laki memiliki kecenderungan bunuh diri tiga kali lebih besar dibanding perempuan (hal 58). Orang-orang yang bunuh diri kebanyakan menderita depresi. Depresi adalah penyakit yang paling mematikan di planet ini, sebegitu parahnya hingga penderitanya menyebabkan kematian bagi diri mereka sendiri (hal 28).

Meskipun depresi merupakan penyakit serius, cukup sulit untuk mengenali gejala awalnya. Buku menguraikan banyak gejala awal, beberapa di antaranya adalah kelelahan tanpa alasan yang jelas, konsep diri yang buruk, mudah marah, seringkali menangis, dan kehilangan selera makan (hal 95). Berdasarkan gejala-gejala tersebut, Matt ternyata telah mengalaminya sejak kecil. Ia selalu memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada dirinya atau orang terdekat. Namun, ia baru menyadari bahwa itu merupakan gejala depresi dan gangguan kecemasan ketika sudah dewasa.

Buku ini terdiri dari lima bagian yang secara berurutan menceritakan ketika Matt mulai menyadari bahwa ia mengalami depresi berat, hingga upayanya untuk pulih. Setiap orang kemungkinan memiliki cara yang berbeda untuk bangkit dari penyakit ini. Hal yang harus dilakukan adalah mendengarkan diri sendiri. Obat tidak mempan untuk pria itu, karena takut akan mengubah keadaan pikirannya. Cara yang berhasil ia lakukan untuk pulih adalah dengan membaca, menulis, mengobrol, melakukan perjalanan, yoga, meditasi, dan lari (hal 164). Sekarang, pria kelahiran tahun 1975 itu menjadi penulis yang telah melahirkan banyak buku fiksi dan non fiksi.

Satu hal penting yang ditekankan dalam buku adalah dukungan orang terdekat pada penderita depresi. Penyakit mental itu tidak terlihat, akan tetapi dampak pada penderita luar biasa. Keluarga dan orang terdekat Matt selalu ada ketika penyakit itu muncul. Mereka selalu mendampingi, tak pernah membuat pria itu merasa sendiri, dan terus mengucapkan kata-kata positif. Dukungan seperti itulah yang dibutuhkan para penderita untuk melalui masa-masa sulitnya.

Buku juga menuliskan hal-hal yang membuat penderita depresi merasa lebih baik dan lebih buruk. Bangkit dan pulih dari depresi serta gangguan kecemasan memang membutuhkan usaha keras, tapi tidak mustahil dilakukan bila memiliki kemauan yang besar dari dalam diri. Triknya adalah berteman dengan depresi dan kecemasan, bersyukur untuk semuanya, karena dengan begitu, penderitanya akan bisa lebih mudah menangani kedua hal itu (hal 230).

Judul                           : Reasons to Stay Alive

Penulis                         : Matt Haig

Cetakan                       : Pertama, 2018

Penerbit                       : Gramedia Pustaka Utama

Halaman                      : 278 halaman

ISBN                           : 978-602-03-8660-7

Resensi ini sudah dimuat di Koran Jakarta pada hari Jumat, 25 Oktober 2019

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: