Review Si Anak Badai – Tere Liye
Review Si Anak Badai adalah judul postingan saya kali ini. Si Anak Badai merupakan novel terbaru dari salah satu penulis produktif di Indonesia, yakni Tere Liye. Novel yang terbit pada bulan Agustus 2019 ini merupakan novel keenam dari serial Anak Nusantara. Apabila serial sebelumnya menceritakan keluarga Bapak Syahdan dan Mamak Nurmas serta anak-anaknya (Eliana, Amelia, Pukat, dan Burlian), Si Anak Badai mengisahkan keluarga yang berbeda, lebih tepatnya tentang empat sekawan Anak Badai di kampung Monowa, yakni Zaenal (Za), Awang, Malim, dan Ode.
“Inilah kami, Si Anak Badai. Tekad kami sebesar badai. Tak pernah kenal kata menyerah.” (hal 312)
Pada buku ini, penulis kelahiran Lahat itu tidak menulis sendiri. Ia menggandeng sang kakak, Sarippudin sebagai co-author. Sebelumnya, si abang juga pernah menjadi co-author pada novel Pergi. Meskipun begitu, gaya bahasa yang digunakan dalam Si Anak Badai tetap khas Tere Liye. Pengalaman Sarippudin yang pernah tinggal di tepi laut sewaktu kuliah, justru menjadi amunisi dan pembaru dalam latar yang disuguhkan Tere dalam novel. Tak ayal bila novel ini memberikan nuansa yang berbeda dari serial sebelumnya.
Bagaimana kisah ini bermula?
“Oi, tidak baik menyesali apa yang telah diputuskan. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang. Lagi pula sudah kewajiban kita ikut membantu satu sama lain.” (hal 132)
Novel ini dibuka dengan mimpi Za yang dengan beraninya memasuki kapal seorang bajak laut bersama Fatah, si adik. Dalam mimpi itu, ia berulang kali bertanya tentang kapal mana yang terhebat. Alih-alih menjawab, sang bajak laut justru bertanya muara kedua anak itu. Setelah dijawab, keadaan berubah 180 derajat. Seluruh kru kapal tetiba bermunculan dan tertawa bersama si bajak laut.
“Sebentar lagi kapal ini akan melintas di sana. Bukan saja melintas, kapal ini akan bersandar, semua anak buahku akan turun, seluruh moncong meriam diarahkan ke Muara Monowa. Kami akan merampok rumah-rumah yang ada di sana, membawa harta benda kalian semua tanpa tersisa sedikit pun, kemudian membumihanguskan kampung kalian!” (hal 6)
Za terbangun dari mimpi buruknya. Ia menceritakan mimpi itu pada ketiga kawannya, Ode, Awang, dan Malim. Yang mereka tidak tahu, ternyata mimpi itu kelak akan menjadi nyata. Kampung Monowa akan “dibumihanguskan” dengan cara mengubahnya menjadi pelabuhan oleh “si bajak laut”.
Kampung mereka akan dibumihanguskan, rumah dan harta benda akan dihancurkan, membuat warganya terusir dari tanah mereka. Berbagai hal dilakukan agar rencana tersebut dibatalkan. Apakah rencana tersebut benar-benar dilakukan? Apakah kampung Monowa kelak hanya tinggal nama? Apakah yang akan dilakukan Si Anak Badai untuk menyelamatkan kampung halamannya? Jawabannya akan ditemukan dalam novel setebal 322 halaman ini.
“Menghormati bisa berarti tidak berbuat sesuatu yang menyusahkan hati tamu, apalagi kalau sampai membuatnya tersinggung.” (hal 136)
Sesaat setelah membaca buku ini, saya merasa dibawa ke sebuah kampung di atas air, dengan rutinitas kehidupan yang jauh berbeda dari yang saya lakoni biasanya. Apalagi saat membayangkan anak-anak terjun ke air dan menanti penumpang kapal melemparkan koin, itu mengingatkan pada sebuah acara televisi yang saya tonton sewaktu saya kecil.
Pun gambaran kampung Monowa yang berada di atas sungai beserta pasar terapung yang ada seminggu sekali, mengingatkan saya pada ikon salah satu televisi swasta zaman dahulu. Saya sangat mengapresiasi ketika ada novel yang menceritakan tentang hal itu dengan detail, beserta budaya yang ada di sana. Saya menemukan hal baru, karena tidak banyak novel yang mengangkat setting cerita seperti ini.
Apakah kamu penasaran dengan buku terbaru Tere Liye ini? Berikut ulasan saya. Semoga dapat membantu teman-teman yang masih mempertimbangkan membeli novel ini atau tidak.
Secara umum, novel ini memiliki tema besar persahabatan. Pondasi cerita ini adalah kisah persahabatan geng Si Anak Badai, yang dari mereka kemudian muncul konflik-konflik serta kisah seru yang menjadi klimaks cerita. Meskipun begitu, terdapat subtema yang digunakan untuk mendukung penyampaian makna utama cerita secara komprehensif.
Subtema pertama adalah keluarga, seperti serial anak nusantara sebelumnya. Kentara sekali penulis ingin menggambarkan tentang keluarga Zul atau ayah Za, kisah tentang kerja keras mamak Za, dan rasa sayang terhadap anak-anaknya. Kedua adalah subtema politik. Meskipun Tere Liye hanya menyinggung sedikit tema ini, justru membuat novel menjadi lebih menarik, karena permasalahan yang diangkat begitu relevan dengan kehidupan nyata.
“Kampung kami terletak persis di muara sungai besar yang menjadi perlintasan kapal-kapal berhuluan menuju desa atau kota-kota berikutnya.” (hal 8)
Latar tempat Si Anak Badai adalah sebuah kampung di muara sungai besar bernama Monowa. Kampung tersebut berada di atas air. Rumah-rumah dihubungkan oleh jembatan kecil dari kayu. Akan tetapi, Tere Liye tidak menyebutkan secara detail letak kampung itu, apakah di pulau Kalimantan, Sumatera, atau pulau lainnya. Pun dengan nama sungai besar tersebut, tidak dijelaskan dengan detail seperti halnya dalam novel Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah yang settingnya di pinggiran sungai Kapuas. Meskipun begitu, pembaca tetap dapat membayangkan latar cerita secara utuh, karena deskripsi yang diberikan cukup rinci.
Novel ini juga menggambarkan budaya masyarakat di sana yang sekarang ini mulai luntur, seperti shalat subuh berjamaah di masjid, budaya gotong royong, serta rutinitas mengaji bagi anak-anak setiap sore. Walaupun itu rutinitas harian, cara Tere Liye mengisahkannya tidak membosankan, justru semakin memperkuat budaya dalam cerita. Hal itu menjadi menarik karena selalu diselipkan kisah humor atau romansa khas anak-anak di dalamnya.
Tere Liye selalu berhasil membangun sebuah karakter menjadi menarik dan memiliki ciri khas, sehingga berbeda antara satu tokoh dengan tokoh lainnya. Penulis yang telah melahirkan 38 novel ini menggambarkan karakter dalam Si Anak Badai dengan menggabungkan teknik analitik dan dramatik, sehingga penggambarannya tidak membosankan dan menarik. Contoh penggunaan teknik analitik adalah ketika mengenalkan keempat sekawan anak badai.
“Ada Ode si tukang ngebos, ada Malim si tukang celoteh, ada Awang yang jago berenang dan sersan (serius tapi santai), dan aku sendiri.” (hal 8)
Sedangkan penggunaan teknik dramatik cukup banyak juga digunakan penulis. Salah satunya adalah kutipan dialog Za berikut.
“Mamak menyuruh kita bertanggung jawab. Aku tidak mau pulang sebelum urusan ini selesai. Bisa panjang urusannya. Kita bisa dihukum tidur di teras rumah. Kalau kau tidak mau ikut, biar aku saja.” Tanpa menunggu reaksi Fatah, aku mengulurkan tangan, meminta buku tulis dan pensil yang ada padanya. (hal 43)
Tokoh yang digunakan dalam novel ini cukup banyak. Walaupun begitu, Tere dapat membuat cerita tetap fokus. Tokoh sentralnya adalah Za, Ode, Awang, dan Malim, geng Anak Badai yang masih duduk di kelas enam sekolah dasar. Karakternya sesuai dengan usia anak-anak yang polos, penuh semangat, mudah kehilangan fokus, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Meskipun begitu, masing-masing tokoh memiliki keunikan dan ciri khas, baik dalam dialog atau pun sikap, sehingga tampak begitu nyata dan berbeda.
Za, si cerdik, bertanggung jawab, dan ringan tangan. Ode, si tukang ngebos, usil, dan setia kawan. Awang, bocah yang ingin menjadi perenang dan menjuarai banyak perlombaan, serta Malim, si pandai bicara yang selalu beruntung dalam melakukan banyak hal dan bercita-cita menjadi saudagar besar.
Dalam setiap novel Tere, tokoh orang tua yang bijaksana selalu dimunculkan. Pun novel Si Anak Badai. Karakter tersebut dimunculkan dalam sosok Sakai bin Manaf, atau sering dipanggil Pak Kapten. Meskipun sudah tua, Pak Kapten diceritakan sebagai seorang yang pemberani, teguh pendiriannya, dan tangguh. Wajar bila anak-anak segan dan takut padanya, karena bila Pak Kapten marah akan mengutuk mereka menjadi kodok muara. Tokoh ini pula yang bersikeras menjegal langkah antagonis dalam menjalankan misinya.
Novel yang terdiri dari 25 bab dan satu epilog ini menggunakan alur maju. Rangkaian cerita bergerak maju, mulai dari pengenalan karakter, konflik, klimaks, antiklimaks, dan penutup. Cerita berjalan dengan mulus, dimulai dengan mimpi Za tentang bajak laut yang akan membumihanguskan kampung kelahirannya. Mimpi itu ternyata menjadi nyata, kampung Monowa akan diubah menjadi pelabuhan. Konflik itu diberikan sedikit demi sedikit oleh penulis, sehingga membuat saya agak gemas.
Penolakan demi penolakan dilakukan, akan tetapi tak menemukan jalan keluar. Memasuki pertengahan hingga akhir, novel berjalan cukup seru. Konflik mulai dimunculkan, antagonis mulai melakukan perannya. Penolakan dan pertentangan warga kampung Monowa mulai keras dilakukan. Kemudian klimaks, dan ditutup dengan cukup bijaksana.
Awalnya saya tidak menduga bahwa konflik yang akan dihadirkan penulis, sangat dekat dengan realitas di Indonesia. Apalagi dengan label ‘serial anak nusantara’ yang sejak awal sudah lekat, saya pikir permasalahan yang diangkat akan seputar anak-anak juga. Namun, Tere Liye mampu memadukan masalah yang cukup rumit itu dengan kehidupan anak-anak yang sederhana. Walaupun begitu, penulis tidak lupa juga untuk memberikan konflik-konflik kecil khas anak-anak.
Kisah dalam novel ini disampaikan dari sudut pandang orang pertama yakni Za, anggota Si Anak Badai.
Tere Liye tak pernah lupa memberikan pembelajaran lewat kisah-kisah yang ditulisnya. Pun dengan Si Anak Badai. Novel ini memberikan banyak pembelajaran tentang pentingnya melaksanakan tanggung jawab dengan amanah. “Mamak menyuruh kita bertanggung jawab. Aku tidak mau pulang sebelum urusan ini selesai” (hal 43). Selain itu, kita juga diajarkan untuk selalu menghargai dan menyayangi mamak, karena tugas yang dilakukannya tidak mudah. “Bahwa menjahit, memasak, dan mencuci itu sulit. Dan Mamak mengerjakannya sekaligus, masih sambil menjahit pula” (hal 128).
“Seorang teman tidak akan meninggalkan temannya sendirian.” (hal 191)
Pembaca juga diajak untuk pantang menyerah pada keadaan, seperti Pak Kapten yang terus bergerak untuk melakukan penolakan. Buku juga mengajarkan tentang kesetiakawanan. Keempat sekawan itu begitu setia satu sama lain, rela berkorban walaupun nyawa taruhannya.
Kisah ini juga memberikan bukti bahwa masalah dapat diselesaikan dengan cara cerdas tanpa kekerasan. “Tidak selalu api harus dilawan api. Kadang kala, cara terbaiknya justru dilawan dengan lemah lembut.” (hal 300)
Tak hanya itu, kisah keempat sekawan ini juga menekankan betapa pentingnya sekolah. Ada yang menganggap bahwa sekolah tidak menjamin kesuksesan seseorang, setelah melihat tetangga yang sudah sekolah tinggi, tetapi “tidak menjadi apa-apa”. Novel menjelaskan bahwa sekolah itu bukanlah tentang ijazah yang akan diperoleh, tetapi ilmu yang didapatkan dan akan berguna kelak di kehidupan.
Za menyadarkan bahwa sebaiknya kita berbaik sangka pada setiap orang, sejahat apa pun itu. Bocah itu diceritakan mampu berprasangka baik pada setiap orang, bahkan orang yang terlihat jahat sekalipun. “Tukang pukul itu juga, meskipun mereka galak, sejatinya mereka juga tetap orang yang baik.” (hal 295)
“Pak Kapten tidak mau. Dia berseru ketus, bilang tidak bersalah, tidak perlu dibela oleh siapa pun. Dia menolak mentah-mentah usul kami.” (hal 223)
Kita juga dapat mengambil pesan moral dari karakter dan sikap yang diambil oleh Pak Kapten. Ketika kita benar, tak perlu melakukan pembelaan. Dia begitu berani dalam melawan orang-orang yang mencoba menjegal jalannya membela kampung kelahirannya. Meskipun sudah tua, pemikirannya jauh ke depan. Ia begitu tangguh dan tak mudah menyerah.
Sepertinya saya sudah menuliskan kelebihan novel ini pada uraian panjang di atas. Mungkin pada bagian ini saya hanya ingin menambahkan hal yang belum saya sebutkan. Saya suka sekali dengan desain gambar sampulnya, sangat merepresentasikan isi cerita. Kapal, perairan, rumah di atas air, pun dengan tempat yang biasa digunakan Si Anak Badai untuk terjun menanti lemparan koin penumpang kapal.
Si Anak Badai merupakan novel yang tokoh utamanya anak-anak, tetapi memiliki konten yang tidak seluruhnya sederhana. Ada beberapa konflik yang kompleks, akan tetapi kisahnya tetap mudah dicerna, karena penulis melihat seluruh permasalahan dari sudut pandang Za.
Novel ini diselipi humor yang cukup membuat saya tertawa. Salah satunya adalah penulisan lirik lagu Perdamaian, yang selalu dihubungkan dengan kebingungan bocah-bocah tentang suatu hal. Misalnya ketika Ode menggerutu karena tidak diizinkan menonton ibu-ibu latihan rebana, Malim menanggapi gerutuan itu dengan bernyanyi, “bingung bingung kumemikirnya” (hal 109). Godaan orang-orang pada Za juga cukup menghibur. Kedekatannya dengan Rahma, cucu Pak Kapten, membuatnya selalu diolok-olok dan digoda oleh kawan-kawan, mamaknya, dan warga kampung lain.
Oh iya, kesalahan penulisan dalam novel ini terhitung sangat minim. Bisa dibayangkan dong betapa nyamannya saya saat membaca? Mantap sekali, Bang Tere! Lanjutkan!
Tidak ada gading yang tak retak, pun dengan novel ini. Menurut saya, novel terlalu lama dalam mengenalkan tokoh, latar, maupun situasi pada awal cerita, sehingga di awal agak membosankan. Mungkin karena saya terlalu penasaran dengan konflik yang akan terjadi. Meskipun begitu, rasanya itu terbayar dengan suguhan cerita yang begitu detail, sehingga pembaca dapat benar-benar masuk ke dalam cerita
Saya juga merasa bahwa gong cerita ini justru terasa begitu saja, karena ditutup terlalu cepat. Baru saja saya merasakan tegang dan penasaran dengan kisah seru yang dilakukan geng Anak Badai, tiba-tiba saja saya menemukan bab epilog di halaman selanjutnya. Saya merasa akhir novel ini seperti dipaksa untuk selesai dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Padahal, menurut saya lagi nih, lebih memuaskan bila dibuat satu bab lagi untuk menjelaskan proses penyelesaian konfliknya.
Eh, sudah sampai kesimpulan saja nih. Sebelumnya saya ingin menuliskan beberapa sindiran yang cukup menyentil. Saya suka sekali dengan cara penulis menyentil para petinggi di negeri ini tentang ketepatan waktu: “Namanya juga tamu penting, pasti terlambat. Kalau dia sudah datang sejak tadi, jadi tidak penting” (hal 80). Pun tentang kecerdasan orang-orang pemerintah yang justru disahalahgunakan dan pro pada kepentingan golongan dan pribadi hanya demi uang serta kekuasaan, bukannya kepentingan rakyat.
“Hanya uang yang bisa mengubah orang secepat itu.” (hal 265)
“Mereka bilang kebun sawit lebih menguntungkan daripada memelihara pohon ulin. Mungkin iya bagi mereka, jelas tidak bagi kita.” (hal 97)
“Mereka pintar-pintar, sekolah tinggi, semua buku telah dibaca, entah angin laut dari mana yang membuat hilang semua kepintaran itu. Lenyap tak berbekas.” (hal 96)
“Sekarang orang-orang pintar itu akan membuat pelabuhan di sini. Mereka tidak tahu apa dampaknya bagi kita. Lebih celakanya lagi, mereka tidak peduli dengan akibatnya bagi kita, Yang penting pelabuhan itu jadi, yang penting mereka mendapat uang banyak dari pembangunan pelabuhan.” (hal 98)
Tak hanya itu, sentilan kecil juga diperuntukan bagi pembaca yang alih-alih minta maaf, justru saling menyalahkan saat melakukan kesalahan. “Fatah, Zaenal, siapa pun yang salah, kalian berdua harus bertanggung jawab. Oi, bukannya menunduk malu dan minta maaf pada mamak, kalian justru saling menyalahkan.” (hal 40)
Si Anak Badai tidak hanya sekadar menghibur dengan kisah anak-anak yang diangkat. Novel ini ringan, tapi begitu berisi. Ringan dan mudah untuk diikuti, tetapi menyampaikan banyak sekali pelajaran hidup. Si Anak Badai cocok untuk dibaca semua umur, baik yang masih anak-anak, remaja, maupun dewasa, agar wawasan dan pandangan kita semakin terbuka terhadap hal-hal yang kemungkinan akan terjadi pada negara kita.
Saya pikir sekian review saya yang sangat panjang ini, hehe. Sampai jumpa di review saya selanjutnya!
Judul : Si Anak Badai
Penulis : Tere Liye
Co-author : Sarippudin
Editor : Ahmad Rivai
Cover : Resoluzy
Layout : Alfian
Cetakan : Pertama, Agustus 2019
Penerbit : Republika
Halaman : 322 halaman
ISBN : 978-602-5734-93-9
10 comments found