[Review] Ayat-Ayat Cinta 2 – Habiburrahman El Shirazy (2016)

[Review] Ayat-Ayat Cinta 2 – Habiburrahman El Shirazy (2016)

“Tiba-tiba ia teringat kisah Syaikh Muhammad Abduh yang menangisi kondisi umat Islam dan keluarlah kalimat yang sangat terkenal dari ulama terkemuka Mesir, “Al-Islamu mahjuubun bil muslimin”. Yang artinya, Islam tertutup oleh umat Islam.”

Ayat-Ayat Cinta 2 ini menceritakan Fahri yang sangat merindukan istrinya, Aisha yang tak diketahui keberadaannya. Aisha hilang setelah keberangkatannya ke Palestina bersama kawannya, Alicia. Selepas hilangnya Aisha, Fahri tinggal di kawasan kompleks Stoneyhill Grove, Edinburgh bersama Paman Hulusi. Edinburgh adalah kota favorit Aisha.

Di kompleks rumahnya itu ia sering mendengar suara biola pada tengah malam. Hal itu mengingatkannya pada Aisha, yang seringkali melakukan hal yang sama. Pemain biola itu adalah Keira, tetangganya yang sangat membenci dirinya. Gadis itu menunjukan kebenciannya pada Fahri dengan terang-terangan. Pun dengan adiknya, Jason. Mereka memancarkan aura permusuhan yang sangat kuat pada Fahri. Karena ia adalah seorang muslim.

Keira dan Jason memiliki masalah yang cukup rumit. Keira meminta ibunya untuk menyekolahkannya ke London Royal College of Music. Gadis itu ingin menjadi pemain biola profesional. Ia sangat ingin belajar di sana. Namun ibunya menolak. Keluarga mereka tidak memiliki cukup uang untuk membayarnya. Bahkan cicilan kredit rumah masih mencekik leher ibu Keira sebagai orang tua tunggal. Belum juga Jason yang ingin disekolahkan di sekolah sepak bola. Ia menyukai sepak bola, dan ia pikir bahwa ia memiliki bakat pada bidang itu.

Selain Keira, Jason, dan Brenda, tetangganya mempunyai kebiasaan yang kurang disukai Fahri. Brenda seringkali pulang dini hari dalam keadaan mabuk. Pernah, suatu saat ia mabuk berat dan tak sadarkan diri. Ia diantar pulang oleh sebuah taksi. Saat sampai di rumah Brenda, supir taksi itu menyeret tubuh perempuan itu ke teras rumahnya. Si supir lalu mengambil cincin Brenda sebagai ongkos taksi. Semua itu dilihat Fahri dari jendela rumahnya.

Lain ceritanya dengan Nenek Catarina. Nenek yang rumahnya tepat di sebelah rumah Fahri ini mengalami masalah yang pelik. Anak tirinya mengusirnya dari rumah yang sudah ditinggalinya berpuluh-puluh tahun itu. Tanpa hati si anak mengancamnya untuk segera meninggalkan rumah karena rumah itu akan dijual. Fahri yang melihatnya tak sampai hati. Apalagi Nenek Catarina mengingatkannya pada ibu dan neneknya.

Belum habis cerita tentang tetangganya, Fahri menampung seorang gelandangan. Perempuan itu sering mengemis di depan masjid tempat biasa Fahri shalat. Ia menemukan perempuan itu pingsan saat tengah shalat. Ternyata perempuan itu menderita gejala tifus. Karena tak tega, Fahri merawat wanita itu sampai sembuh dan memintanya untuk tinggal di basement rumahnya. Perempuan itu berwajah buruk dan bersuara serak. Namanya Sabrina.

“Hanya mereka yang bisa menjiwai mental para pahlawannya yang akan meraih prestasi-prestasi gemilang.”

Ayat-Ayat Cinta 2 menjadi novel paling tebal yang pernah saya baca tanpa skip. Saya tertarik membaca karena saya penasaran dengan kelanjutan kisah Fahri dan Aisha di Ayat-Ayat Cinta yang pertama. Saat membaca awal cerita, saya dibuat terkejut atas kehilangan Aisha di Palestina. Padahal saya pikir novel ini akan menceritakan lika-liku rumah tangga mereka. Kejutan di awal ini membuat saya semakin penasaran untuk membaca kelanjutannya.

Selanjutnya saya mendapati ada banyak tokoh baru bermunculan dengan berbagai karakter. Khususnya wanita. Banyak sekali wanita cantik yang ada di sekeliling Fahri. Ada yang terang-terangan mengatakan suka. Ada pula yang hanya mengagumi. Tapi di sini, Fahri tetap teguh dan setia pada Aisha. Kesetiaannya itu lho!

Tapi sejujurnya saya merasa karakternya Fahri ini terlalu sempurna. Saya pikir di dunia ini nggak ada yang sempurna. Tapi Fahri berbeda. Dia punya semuanya. Dia cerdas, dermawan, tidak sombong, sholeh, tampan, dan banyak lagi kelebihannya yang lain. Bahkan sampai saya selesai baca saja, saya belum menemukan kekurangannya lho! Di dunia nyata, pria seperti ini sulit dijumpai. Jadi kesannya karakter si Fahri ini nggak manusiawi.

Mengenai alur, saya merasa banyak yang bertele-tele. Banyak penjelasan yang menurut saya nggak perlu. Mungkin penulis ingin menceritakan novel ini dengan detail sekaligus digunakan sebagai media dakwah. Misalnya saat dia debat di Oxford. Menurut saya itu nggak perlu segamblang itu untuk menceritakan. Kesannya bukan detail lagi, tapi malah bertele-tele. Apalagi di sana penjelasan Fahri amat panjang lebar, berlembar-lembar. Padahal penjelasan dari lawan debatnya hanya satu paragraf.

Walaupun bertele-tele, saya tetap membaca kok. Karena di dalam bagian debat Oxford itu banyak argumentasi Fahri mengenai agama yang bisa mencerahkan kita semua. Argumentasinya seperti biasa, cerdas, sangat detail dan menyeluruh. Tapi tetap saja, saya masih bisa menemukan betapa penulis sangat berpihak pada Fahri. Argumen antara Fahri dan lawan debatnya tidak dibuat seimbang dalam penyampaiannya.

Clue untuk akhir cerita sudah dibuka sedikit demi sedikit oleh penulis. Awalnya saya nggak sadar. Tapi semakin ke belakang, clue itu semakin menjurus dan akhirnya saya bisa menebaknya. Novel ini ditutup dengan manis oleh penulis. Porsi ending yang saya harapkan ini menurut saya sangat pas. Tidak kurang dan tidak lebih. Emosi tokoh tersampaikan dengan baik dan sangat menyentuh.

Pesan moral Ayat-Ayat Cinta 2 ini sangat banyak. Dari Fahri, kita bisa belajar tentang kesabaran, kesetiaan, ketaatan pada Allah, pantang menyerah, rasa berbagi tanpa pandang bulu, dan perjuangan. Dalam novel ini saya pikir lebih ditekankan dalam tolong menolong pada orang di lingkungan terdekat, yaitu rumah. Menolong tanpa pamrih dan semua dilakukan karena Allah.

Novel ini saya beri 3,5 dari 5 bintang. Saya beri nilai segitu karena saya pikir novel ini bisa lebih dipangkas menjadi lebih tipis lagi dan karakterisasi tokoh bisa dibuat lebih manusiawi lagi.

Judul               : Ayat-Ayat Cinta 2

Penulis             : Habiburrahman El Shirazy

Editor              : Syahrudin El Fikri dan Triana Rahmawati

Ilustrator         : Putri Suzan Nurtania

Penerbit           : Republika

Tahun Terbit    : 2016 (cet 12)

Halaman          : 698

*Review ini pernah dipublikasikan di blog lama saya pada tanggal 8 Desember 2017

3 comments found

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: