[Review] Anak Rantau – A. Fuadi (2017)
“Alam terkembang jadikan guru.” (halaman 18)
Novel Anak Rantau berkisah tentang Hepi dan petualangannya. Kisah berawal dari rapot kosong yang diterima, Martiaz, ayah Hepi. Guru Hepi memberitahu Martiaz bahwa anaknya seringkali bolos, bahkan tidak mengikuti ujian. Martiaz berpikir bahwa ia tidak mampu maksimal dalam mendidik anaknya. Ia terlalu sibuk dengan bisnis percetakannya yang semakin hari, pesanannya semakin banyak.
Martiaz kemudian mengajak Hepi berkunjung ke kampung halamannya di Sumatera Barat. Hepi sangat bahagia saat ayah mengajak dirinya. Ia begitu bersemangat mengemas baju dan mainan yang akan dia bawa. Namun sesampainya di Tanjung Durian, ia malah mendapati hal yang membuatnya menimbun dendam pada ayahnya.
Selang beberapa hari, Martiaz pulang ke Jakarta tanpa mengajak Hepi. Ayahnya berkata bahwa bila Hepi ingin pulang ke Jakarta, ia harus beli tiketnya sendiri. Hepi menangis dan bertekad akan pergi ke Jakarta dengan uangnya sendiri. Ia akan menunjukan pada ayahnya bahwa ia mampu pulang ke Jakarta sendiri, tanpa uang dari ayahnya.
Hepi melakukan berbagai pekerjaan untuk mendapatkan uang. Mulai dari membantu di warung Mak Tua Ros, mengurus surau, hingga membantu Bang Lenon mengantar barang. Di sela usahanya mengumpulkan uang tersebut, ia mendapatkan pengalaman yang sangat menarik. Ia menjadi pahlawan kampung hingga ikut membantu membongkar kasus yang meresahkan warga kampungnya.
Review Novel Anak Rantau
“Jika mengenal diri, kau akan mengenal Tuhan.” (halaman 262)
“Adat Minang kita selamanya kekal, tidak lapuk oleh hujan, tidak lekang oleh panas, dicabut tidak layu, dipindah tidak mati.” (halaman 95)
“Aku heran kenapa negeri ini sekarang percaya kepada yang tidak layak dipercaya. Semakin beredar, kabar semakin bertambah bunga-bunganya.” (halaman 254)
Ini adalah novel pertama A. Fuadi yang saya baca. Saya tertarik membaca karena terpikat dengan cover-nya yang entah mengapa menggoda saya untuk membaca buku ini. Covernya bagus. Ternyata gambar sampul ini adalah ilustrasi Hepi, ketika di tinggalkan oleh ayahnya pulang ke Jakarta. Wah, ternyata sampul ini tak sekadar sampul biasa yang tiada makna. Dari gambar sampulnya saja sudah merepresentasikan isi cerita novel ini.
Saya agak terkecoh dengan judul novel ini. Anak Rantau. Saya pikir novel ini menceritakan lika-liku kehidupan sekorang perantau. Namun saya salah total. Novel ini justru menceritakan seorang anak rantau yang pulang ke kampungnya setelah sekian lama.
Prolog dibuka dengan kisah Hepi dan kedua kawannya, Attar dan Zen yang tengah tegang menanti akhir dari nasib mereka. Saya menyukai cara penulis membuka cerita. Pembaca dibuat deg-deg-an dengan nasib Hepi dan kawan-kawannya, hingga penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Tapi ternyata kisah ini adalah ‘gong’ yang kelanjutannya baru saya temukan menjelang akhir cerita.
Kisah ini diceritakan dengan alur maju yang dapat saya nikmati saat membacanya. Tidak cepat, tidak lambat juga. Seluruh cerita dikisahkan dengan sangat detail oleh penulis, kental sekali dengan budaya Minang. Saya juga mendapati kisah yang saya nggak duga sama sekali. Kisah perjuangan seorang pahlawan kemerdekaan dan usahanya untuk memaafkan. Padahal saya pikir, ini hanya tentang Hepi dan petualangannya.
Penuh Humor
“Resapkan ini: kita tak akan ditinggalkan Tuhan. Jangan takut sewaktu menjadi orang terbuang. Takutlah pada kita yang membuang waktu. Kita tidak dibuang, kita yang merasa dibuang. Kita tidak ditinggalkan. Kita yang merasa ditinggalkan. Ini hanya soal bagaimana kita memberi terjemah pada nasib kita.” (halaman 255-256)
“Aku menulis tentang lucunya dunia ini, tentang orang yang membela yang benar bisa digelari si gila dan boleh ditendang ke penjara. Sebaliknya, orang yang membela yang sesat tapi berkuasa pun bisa mendapat piala dan bahkan bisa jadi raja.” (halaman 259)
Di dalam novel ini pembaca tidak akan bosan. Karena penulis menyelipkan sedikit humor yang mampu membuat sebuah adegan serius menjadi agak santai. Tak hanya itu, diberikan pula pengetahuan yang selama ini telah salah kaprah dipahami oleh orang-orang. Saya termasuk orang yang kurang paham dengan itu. Saya hanya bisa ber-oh- ria saat mengetahui kebenarannya. Hayoo, pedang dari Jepang itu namanya apa?
Selain pengetahuan umum saya bertambah, kosa kata saya pun demikian. Saya harus bolak balik membuka KBBI, karena cukup banyak kosa kata yang saya baru dengar. Kosa kata bahasa Indonesia saya seketika meningkat, hahaha.
Namun sayang sekali, di dalam novel ini ada beberapa kata yang nggak berspasi. Memang nggak terlalu kelihatan. Tapi akan lebih baik bila hal-hal kecil seperti ini diperhatikan. Selebihnya, novel ini nggak ada masalah lain kok.
Merdekakan jiwa
Merdekakan pikiran
Dari penjajahan pribadi
Yang kita buat sendiri-sendiri
Dari amarah dan dendam
Maafkan, maafkan, maafkan
Lalu mungkin lupakan (halaman 263)
Banyak pesan moral yang dapat dipetik dari novel ini. Penyampaiannya pun nggak menggurui. Sejak awal, telah dituliskan bahwa “alam terkembang menjadi guru”. Dari alam, justru akan mendapatkan pelajaran berharga yang akan sangat berguna bagi kehidupan. Selain itu, kita juga diajarkan untuk memaafkan dan berdamai dengan masa lalu. Memaafkan dan lupakan. Itulah kuncinya.
Penutup
“Orangtua itu ibarat tonggak negeri. Kalau orangtua itu sendiri yang lemah dan goyah, apa yang mau diharapkan?” (halaman 168)
“Itulah hebatnya mereka, membunuh kepribadian orang dengan menciptakan cerita-cerita bohong. Fitnah yang direncanakan dan dikipasi terus sampai marak jadi api unggun. Itu sengaja diembuskan untuk memenjara jiwa aku, bahkan saat aku sudah di luar penjara.” (halaman 253)
Novel ini sangat saya rekomendasikan. Novel ini nggak sekadar kisah petualangan tiga sekawan, tapi lebih dari itu. Yaitu mengajarkan bagaimana hidup dengan lurus dan mencintai budaya sendiri dengan sepenuh hati.
Lima bintang untuk novel ini. Selamat membaca
Judul : Anak Rantau
Penulis : A. Fuadi
Penyunting : Edy Sembodo
Ilustrasi Sampul : Rio Sabda
Tahun Terbit : 2017
Penerbit : PT Falcon
Halaman : 382 halaman
*Review ini pernah diposting di blog lama saya pada 30 Desember 2017
Baca juga: Review Senandung Biru – Aguk Irawan