[Review] Incognito – Windhy Puspitadewi (2009)

[Review] Incognito – Windhy Puspitadewi (2009)

“Waktu itu memiliki efek domino. Jika kamu mengubah sejarah hari ini, kamu akan mengubah sejarah hingga lebih dari dua ribu tahun ke depan.” (halaman 80) 

Incognito bercerita tentang petualangan Erik, Sisca, dan Carl melintasi berbagai dimensi waktu. Petualangan mereka bermula saat Erik dan Sisca pergi ke Kota Lama, Semarang untuk membuat tugas sekolah. Tanpa disangka, muncul Carl di depan mereka seperti hantu. Tentu saja Carl bukan hantu. Dia adalah seorang anak Belanda yang berpindah dimensi waktu.

Carl dapat berpindah-pindah dari satu dimensi waktu ke dimensi waktu yang lain dengan arlojinya. Ia dapat mengeset waktu yang dia ingin kunjungi. Seketika ia berpindah. Namun saat itu arlojinya rusak. Ia hanya dapat berpindah setiap pukul 00.00. Akhirnya ia membawa serta Erik dan Sisca ke setiap tempat yang dikunjunginya dan bertemu dengan tokoh terkenal di dunia.

“Manusia itu kadang terlalu sering mencari di luar jangkauannya, padahal biasanya apa yang dia cari justru selama ini selalu ada di dekatnya.” (halaman 187)

“Dia itu saking tidak bisa mengungkapkan perasaan dengan kata-kata tanpa diduga isi hatinya jadi lebih mudah dipahami.” (halaman 94)

Ini adalah novel Windhy Puspitadewi yang begitu membuat saya penasaran. Novel ini sepertinya sudah nggak dicetak lagi, sehingga waktu saya cari di Gramedia sudah nggak ada. Ya iyalah! Kemudian saya cari-cari di toko online. Saya akhirnya menemukan novel ini di gramedia.com. Waktu itu harganya murah banget, hanya Rp19.000,- kalau saya nggak salah ingat. Tapi karena dulu takut untuk belanja online, saya urungkan niat itu. Akhirnya kemarin waktu ada event harbolnas tahun 2017, kesampaian buat beli! Yey! Harganya diskon 50% jadi Rp35.000,-.

Gambar sampul novel ini cukup menarik dan mampu merepresentasikan isi cerita. Saya nggak akan banyak komentar tentang sampulnya, karena saya suka! Kalau dibandingkan gambar sampul barunya, entah kenapa saya juga lebih suka dengan yang ini. Lebih ngena aja.

Isi novel ini bercerita seputar perjalanan waktu yang dibumbui sedikit romansa remaja, khas penulis. Sejak awal diceritakan bahwa Erik dan Sisca saling tidak menyukai. Permulaan cerita ini sangat klise. Namun karena menjelang tengah buku hingga akhir penuh dengan kejutan, saya mengabaikan awal cerita yang klise itu.

Pembaca dibawa melompat dari dimensi waktu satu ke lainnya. Saya suka dengan ide cerita ini. Tak hanya sekadar berpindah waktu, pembaca juga diajak untuk kembali mengingat sejarah dan bertemu dengan banyak tokoh penting di dunia. Penggambaran lokasi cukup detail, sehingga saya bisa membayangkannya dengan cukup mudah.

“Manusia tidak bisa memilih tempat dia dilahirkan, ke dalam bangsa mana dia dilahirkan, siapa orangtuanya. Gimana bisa je membenci seseorang atas hal yang tidak bisa dia pilih sendiri? (halaman 176)

“Aku baru sadar, ternyata lebih baik mati daripada dilupakan.” (halaman 179)

Sekarang saya akan beralih pada gaya bahasa yang digunakan. Penggunaan bahasa dalam novel ini begitu bervariasi, disesuaikan dengan setting waktu dan tempatnya. Pada bagian tertentu digunakan bahasa Belanda, Latin, Jepang, Inggris, dan bahasa lainnya. Bahasa yang digunakan sesuai dengan latar cerita.

Namun saya merasa cerita ini setengah-setengah dalam penggunaan bahasanya. Mungkin saya sendiri yang agak aneh kali ya? Pada bagian mereka bertiga terdampar di Jepang, saya pikir tokoh akan bicara dalam bahasa Jepang dengan terjemahan di catatan kaki. Tapi ternyata tidak. Hanya ditulisi dengan tanda bintang bahwa percakapan yang dimaksud menggunakan bahasa Jepang. Tak hanya di satu bagian kalau saya nggak salah ingat. Padahal saya sudah optimis bahwa cerita ini akan bagus bila seluruh percakapan disesuaikan dengan latar cerita.

Begitu pun Carl. Cowok yang satu ini pada awalnya kesulitan berbahasa Indonesia. Kelihatan sekali bahwa dia tidak bisa berbahasa Indonesia. Kemudian penulis mengatakan bahwa Carl bisa sedikit-sedikit bahasa Melayu. Tapi di bagian tengah ke belakang, saya menemukan bahwa Carl lancar jaya menggunakan bahasa Indonesia. Hanya kata ‘saya’ yang diganti dengan ‘ik’. Bahasa yang dia pakai menurut saya juga bukan bahasa Indonesia yang ke-Melayu-an, tapi betul-betul bahasa Indonesia yang baku. Namun di luar ini semua, saya tetap suka kok.

Oh, iya. Dalam novel ini, saya masih menemukan beberapa salah ketik. Nggak fatal sih. Tapi tetap mengganggu.

“Amor tussisque non celatur. Cinta itu sama jelasnya dengan batuk.” (halaman 64)

“Tempat yang paling aman adalah tempat paling berbahaya.” (halaman 76)

Novel ini tetap saya rekomendasikan untuk kalian yang suka dengan cerita berbau petualangan. Tiga dari lima bintang untuk Incognito! Selamat membaca!

Judul                     : Incognito

Penulis                  : Windhy Puspitadewi

Ilustrasi Sampul : Yansen

Tahun Terbit        : 2009

Penerbit                : PT Gramedia Pustaka Utama

Halaman               : 208 halaman

*Review ini pernah diposting di blog lama saya pada tanggal 8 Februari 2018

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!
%d blogger menyukai ini: