[Resensi] I Am Sarahza: Kisah Perjuangan Memperoleh Buah Hati
Di mana ada harapan, di situ ada kehidupan (hal 313).
Keturunan adalah satu hal yang paling dinantikan kehadirannya oleh pasangan suami istri. Kedatangannya dapat meramaikan mahligai pernikahan. Namun, bila tak juga hadir pada usia pernikahan yang terhitung lama, tentu akan menjadi tanda tanya.
Hal itu pula yang menjadi masalah Hanum dan Rangga. Setelah sepuluh tahun pernikahan, mereka tak kunjung dikaruniai buah hati. Awalnya mereka memang menunda memiliki momongan karena masih sibuk dengan karier. Akan tetapi, keinginan itu berubah setelah mereka tinggal di Wina, Austria.
Hanum jenuh karena tidak ada aktivitas selagi tinggal di Wina. Hal itu membuatnya berpikir untuk memiliki anak, agar ia tak terlalu kesepian di sana. Namun, usaha mereka tak juga berbuah manis. Karena itu, mereka memutuskan untuk melakukan inseminasi, pada tahun keempat pernikahan (hal 72).
Dimulai dari situ, kegagalan demi kegagalan terus mereka alami. Mereka sangat sedih dan terpukul. Namun, kesedihan itu dialihkan dengan berkarya lewat novel dan filmnya yang laris di pasaran. Hal itu sangat mereka syukuri. Tapi, dalam lubuk hati terdalam, harapan memiliki momongan tidak pernah pudar.
Berkali-kali melakukan inseminasi dan bayi tabung belum juga membuahkan hasil. Pada inseminasi keempat, Hanum berhasil hamil untuk kedua kalinya. Sayang, kehamilan itu terjadi di luar kandungan. Hal itu menimbulkan kesedihan yang begitu mendalam baginya. Namun, yang paling membuatnya terguncang adalah pengambilan jembatan kehamilan dari dalam dirinya (hal 238). Sejak itu, berbagai kekhawatiran muncul, hingga membuatnya depresi.
Secara umum, novel ini mengisahkan perjuangan Hanum dan Rangga untuk memperoleh Sarahza, buah hati yang mereka nantikan kehadirannya selama bertahun-tahun. Kisahnya sangat menyentuh. Mereka tidak pernah berhenti berdoa dan berusaha. Saling mendukung dan setia. Mereka saling menghibur ketika mendapati teman-teman hamil dan melahirkan. Pun sedih ketika melihat berita di televisi tentang pembuangan dan pembunuhan bayi.
Dalam I Am Sarahza pembaca dijelaskan mengenai berbagai program kehamilan dengan cukup detail, yaitu inseminasi dan bayi tabung. Uraiannya tidak rumit, dijelaskan dengan istilah yang mudah dicerna orang awam. Kadang juga menggunakan perbandingan yang membuat pembaca mudah membayangkannya.
Novel ini diceritakan dari tiga sudut pandang, yaitu Hanum, Rangga, dan Sarahza. Uniknya adalah Sarahza dikisahkan masih berada di Lauhul Mahfuzh. Ia menceritakan perjalanan ayah bunda dari sudut pandangnya. Ketika ayah ibunya masih memiliki harapan atasnya, maka ia akan berpendar. Namun ketika harapan itu sirna, cahaya itu ikut hilang. Pembaca juga diajak berimajinasi tentang bentuk dan rupa Lauhul Mahfuzh ini.
Gaya penceritaan novel ini sangat apik. I Am Sarahza nyaman untuk diikuti karena ditulis secara runtut. Konfliknya terus berlanjut, mulai dari konflik ketika Hanum menyelesaikan kuliah, kemudian beralih pada karier di bidang jurnalisme, hingga klimaks pada konflik rumah tangganya. Konflik yang seakan tidak habis-habis itu membuat pembaca selalu penasaran dengan hal yang akan terjadi pada tokoh. Penulis berhasil membolak-balikan emosi pembaca. Puncaknya adalah ketika ia mengalami depresi. Hal itu diuraikan dengan detail, hingga pembaca ikut merasakan betapa terpuruknya perempuan itu.
Tak melulu menceritakan tentang usaha untuk memiliki buah hati, novel ini juga menekankan tentang kesetiaan seorang suami pada istri. Rangga, meskipun ia begitu mendamba seorang anak, ia tak pernah menyerah pada istrinya. Ia menjalankan nasihat dari ayahnya bahwa ia harus memiliki satu hal paling mahal yang dimiliki seorang pria, yaitu kesetiaan (hal 211). Sesulit apa pun situasi rumah tangganya, ia tetap akan setia. Bahkan ketika istrinya itu menyuruhnya menikah lagi, ia tetap menolak.
Tak ayal bila novel ini diberi predikat Best Seller. Ceritanya yang begitu menyentuh dan terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari, dituliskan dengan begitu baik oleh penulis. Hal itu membuat pembaca mengabaikan beberapa kesalahan penulisan yang ada dalam I Am Sarahza.
Bagi pasutri yang belum memiliki buah hati setelah sekian tahun menikah, novel ini wajib untuk dibaca sebagai motivasi. Bahwa masih banyak pasangan lain yang serupa. Bahkan tak jarang mengalami situasi yang lebih pelik. Tak hanya pasutri, novel ini juga relevan untuk dibaca semua kalangan, sebagai motivasi sekaligus pengingat bahwa memiliki harapan dan bersyukur pada Tuhan adalah hal terpenting.
Resensi ini telah dimuat di Radar Sampit pada hari Minggu, 25 November 2018