[Review] The Architecture of Love – Ika Natassa (2016)
“People say that Paris is the city of love, but for Raia, New York deserves the little more. It’s impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to fall in love in the city.” (halaman 31)
The Architecture of Love menceritakan kisah seorang Raia, penulis yang sedang mengalami writer’s block. Dia pergi ke New York untuk liburan sekaligus mengatasi masalahnya tersebut. Namun, setelah beberapa saat tinggal di sana, ia tak jua dapat menuliskan kalimat pertama novel terbarunya yang terus-terusan ditagih editornya.
Di New York, ia bertemu dengan River, seorang arsitek yang sangat pelit bicara. Mereka bertemu tanpa sengaja saat pesta tahun baru di apartemen Aga, salah satu kawan Erin (sahabat Raia). Dibalik sifatnya yang begitu pendiam, ternyata ia menyimpan kisah menyedihkan yang membuatnya harus pergi dari Jakarta.
Pertemuan pertama mereka yang tidak terduga, berlanjut pada pertemuan kedua yang juga tak disengaja. Sejak itu mereka sering jalan bersama berkeliling New York mencari inspirasi. River berkutat dengan gambarannya, sedangkan Raia berkutat dengan laptop dan ide yang tak kunjung muncul juga. Kebersamaan mereka yang terlampau sering itu menumbuhkan perasaan baru. Sayangnya, perasaan itu berbenturan dengan masa lalu yang menorehkan luka di hati mereka.
“You know what is wrong about always searching for answers about something that happened in your past? It keeps you from looking forward. It distrscts you from what’s in front of you. Your future.” (halaman 250)
“Cinta memang terlalu penting untuk diserahkan pada takdir, tapi segigih apa pun kita memperjuangkannya, tidak ada yang bisa melawan takdir.” (halaman 270)
Novel ini adalah novel kedua Ika Natassa yang saya baca. Novel ini jauh lebih baik daripada Critical Eleven yang nggak begitu membekas di benak saya. Menceritakan tentang penulis yang tak kunjung menemukan ide menulis dan arsitek yang melarikan diri dari masa lalu, novel ini ditulis dengan rapi, sehingga membuat saya terus penasaran membaca halaman demi halaman. Saya juga lebih suka cara penulis mengolah konflik cerita dibanding Critical Eleven.
“Banyak lagi hal-hal kecil dari setiap bangunan yang kita lihat yang punya kisahnya sendiri. Saya ingin menunjukan padamu, bahwa benda mati seperti gedung saja punya cerita.” (halaman 93)
Dalam novel ini dikupas tuntas tentang berbagai tempat menarik di New York. Untuk kalian yang akan berpetualang di New York, novel ini dapat menjadi panduan. New York tidak hanya sekadar menjadi latar cerita, tapi juga kunci cerita itu sendiri, sehingga menjadi alur yang menyatu dengan sempurna. Novel ini menjadi semakin lengkap dengan ilustrasi gambar yang (ceritanya) dibuat oleh River.
“Patah hati tidak akan pernah jadi lebih gampang walau sudah dialami berkali-kali. Tidak akan pernah jadi berkurang sakitnya.” (halaman 225)
“Arsitektur bukan sekadar tentang matematika, seni, dan konstruksi. Arsitektur juga perkara perasaan.” (halaman 264)
Penokohan dibuat dengan sangat realistis oleh penulis. Pun dengan gaya bicara masing-masing tokoh. Saya merasa tokoh yang ada di novel ini benar-benar hidup. Segala unsur yang ada dalam novel ini, maksimal digunakan, seperti latar dan pekerjaan tokoh. Ika bisa membuat background itu menjadi nyawa, nggak hanya sekadar tempelan saja. Pekerjaan dari masing-masing tokoh, menimbulkan semacam karakteristik dalam bersosialisasi dan berpengaruh besar pada cerita novel ini. Dan River menjadi tokoh favorit saya!
Konflik dipaparkan sedikit demi sedikit. Awalnya, saya pikir Raia hanya memiliki masalah pada ide untuk novel terbarunya yang tersendat. Ternyata ada masalah lain yang menjadi kunci dari penulisan novelnya selama ini. River pun membuat saya bertanya-tanya sejak kemunculannya dan sifatnya yang begitu pendiam. Masalah yang ia miliki memang begitu membekas sehingga sulit dilupakan. Apalagi erat kaitannya dengan orang yang disayanginya.
The Architecture of Love ditutup dengan sangat manis oleh penulis. Namun, saya kurang sreg dengan akhir ceritanya. Kenapa manisnya sedikit banget? Saya pribadi lebih suka dibuatkan satu bab lagi, pendek nggak papa, yang menceritakan kelanjutan cerita kedua tokoh utama tersebut.
“Writing is one of the loneliest professions in the world.” (halaman 29)
“Ada banyak jenis ciuman di dunia ini. Tapi ada satu ciuman yang tidak pernah ingin dialami seorang perempuan. Ciuman yang harus diikuti oleh penjelasan.” (halaman 170-171)
“Every person has at least one secret that will break your heart.” (halaman 68)
Saya sangat merekomendasikan novel ini. Empat dari lima bintang untuk novel ini! Selamat membaca!
Judul : The Architecture of Love
Penulis : Ika Natassa
Penyunting : Rosi L. Simamora
Ilustrasi Sampul : Ika Natassa
Tahun Terbit : 2016
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Halaman : 304 halaman
*Resensi ini pernah diposting di blog lama saya pada tanggal 21 Januari 2018,
1 comment found